Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Covid-19 yang membuat kinerja keuangan 'loyo' memaksa banyak perusahaan untuk memutar otak agar tetap bertahan, termasuk menambah lini usaha atau malah 'banting setir' dengan fokus ke usaha yang jauh berbeda dengan bisnis inti awal.
Di bawah ini Tim Riset CNBC Indonesia mencoba merangkum beberapa emiten yang melakukan diversifikasi dan perubahan usaha untuk merespons dampak pagebluk terhadap kinerja fundamental perusahaan.
1. PT Hero Supermarket Tbk (HERO)
Usai menutup seluruh gerai ritel Giant mulai Juli ini, emiten bidang ritel Hero Supermarket mulai ekspansi ke bisnis mebel.
Perseroan bersama dengan PT Rumah Mebel Nusantara (Rumah), perusahaan yang sahamnya 99,99% dimiliki perseroan, mendirikan anak perusahaan baru yang bergerak di bisnis mebel dengan nama PT Distribusi Mebel Nusantara (PT DMN). Nantinya, PT DMN akan melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan besar.
PT DMN didirikan dengan modal dasar senilai Rp 11 miliar yang terbagi atas 1.100.000 saham. Dari modal tersebut, HERO memiliki 1 lembar saham dengan nilai nominal Rp 10.000.
"Rumah melakukan penyetoran penuh sebanyak 1.099.999 saham atau senilai Rp 10.999.990.000 miliar," ungkap GM Corporate Secretary & Legal Strategy HERO, Iwan Nurdiansyah, dalam penjelasannya kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), dikutip Rabu (14/7/2021).
Iwan menjelaskan, pendirian anak perusahaan ini tidak akan berdampak negatif terhadap kegiatan operasional, hukum, kondisi keuangan maupun kelangsungan usaha HERO.
Seperti diketahui, sebelumnya Hero Supermarket mulai menutup semua gerai Giant di seluruh Indonesia pada Juli 2021. Perseroan akan mengubah hingga lima gerai Giant menjadi IKEA sebagai langkah strategis perusahaan.
Manajemen HERO mempertimbangkan mengubah sejumlah gerai Giant akan dikonversi menjadi gerai Hero Supermarket.
2. PT Globe Kita Terang Tbk (dulu bernama PT Global Teleshop Tbk/GLOB)
Serangan pagebluk virus Corona juga membuat kinerja keuangan anak usaha emiten peritel telepon seluler (ponsel) PT Trikomsel Oke Tbk (TRIO), GLOB, makin memburuk.
Bahkan, untuk terus bertahan, GLOB akhirnya melakukan diversifikasi bisnis dan produk, mulai dari menjual peralatan komputer hingga bisnis gaya hidup seperti seperti penjualan sneaker, mesin dan peralatan kopi, minuman herbal dan jual-beli tas bekas bermerek terkenal.
Hal tersebut dilakukan setelah pengelolaan toko offline diserahkan ke sister company alias anak usaha TRIO lainnya, PT Distribusi pada paruh pertama 2020 lalu.
Pendapatan GLOB sepanjang tahun lalu ambles 87,14% menjadi Rp 30,67 miliar. Adapun rugi bersih tercatat semakin dalam, yakni menjadi Rp 50,61 miliar, dari Rp 39,73 miliar pada akhir 2019.
Lebih rinci, pendapatan andalan dari segmen kartu perdana & voucher isi ulang dan telepon seluler anjlok drastis. Pada 2019, penjualan kartu perdana sebesar Rp 107,35 miliar, tetapi pada akhir 2020 ambles menjadi Rp 16,97 miliar.
Penjualan telepon seluler pun terjun bebas menjadi Rp 4,04 miliar, dari tahun sebelumnya Rp 128,94 miliar. Adapun penjualan komputer dan notebooks nihil sepanjang 2020.
Tapi ada ini yang menarik, pada tahun lalu ada pendapatan dari penjualan mesin dan peralatan kopi senilai Rp 9,38 miliar dan penjualan biji kopi sebesar Rp 167,35 juta. Sebelumnya, pendapatan ini tidak ada di laporan keuangan.
Sementara, sepanjang kuartal I-2021, GLOB hanya mampu memperoleh pendapatan sebesar Rp 8,84 miliar, turun 43% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Adapun penjualan mesin dan peralatan kopi menyumbang 57% dari total pendapatan perusahaan atau sebesar Rp 5 miliar.
Pada 3 bulan tahun ini masih tercatat rugi bersih sebesar Rp 828,21 juta dari semula mengalami laba bersih Rp 888,64 juta pada kuartal yang sama tahun sebelumnya.
Mengenai strategi bisnis tahun ini, GLOB akan terus fokus meningkatkan penjualan handphone dan aksesoris secara online, terutama di marketplace, sebagai tambahan dari penjualan offline.
Di samping itu, pada tahun ini GLOB juga akan terus mendongkrak penjualan di bisnis gaya hidup dan di bidang jasa perbaikan peralatan komputer, telekomunikasi dan sejenisnya.
Pada 2 Juli lalu, manajemen GLOB mengumumkan perubahan nama perusahaan yang semula bernama PT Global Teleshop Tbk (GLOB) menjadi PT Globe Kita Terang Tbk.
Tidak dijelaskan secara spesifik alasan pergantian nama perusahaan yang memutuskan menghilangkan 'Teleshop' dari nama perusahaan.
NEXT: Ada Trio Emiten Tekstil
3. PT Pan Brothers Tbk (PBRX)
Beberapa tahun belakangan milik industri tekstil dan produk tekstil (TPT) seiring dengan gempuran produk impor murah dan pandemi yang melemahkan daya beli. Sebagai gambaran, ekspor perusahaan pakaian Indonesia turun 17% tahun lalu karena pandemi.
Emiten tekstil dan garmen, Pan Brothers, contohnya, mengalami tekanan pada kinerja keuangan hingga membuat utang perusahaan menumpuk.
Tekanan akibat pagebluk Covid-19 membuat perusahaan memutuskan untuk menambah lini bisnis dengan terjun dalam produksi dan ekspor Alat Pelindung Diri (APD), seperti hazmat dan gaun perlindungan medis, dan masker kain.
Menurut keterbukaan informasi pada Selasa (14/7), seiring dengan rencana penambahan kegiatan usaha baru tersebut, perusahaan akan meminta restu para pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang bakal digelar pada 20 Agustus 2021.
Menurut laporan studi kelayakan yang dilakukan oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) Ihot Dollar & Raymond, dengan menimbang seluruh aspek terkait, rencana penambahan bisnis PBRX tersebut layak untuk dilaksanakan.
Manajemen PBRX menjelaskan, seiring dengan penambahan kegiatan usaha di atas, pada 2021 perusahaan diproyeksikan akan mendapatkan tambahan pendapatan US$ 19,5 juta. Sementara, pada 2022 PBRX akan meraup tambahan pendapatan sebesar US$ 10 juta.
Angka tersebut, kata pihak PBRX, mengasumsikan bahwa penjualan dari penambahan kegiatan bisnis diproyeksikan mengalami penurunan selama 2021-2022, seiring dengan adanya vaksinasi serta kemungkinan besar pandemi bisa segera diatasi.
Informasi saja, pada pertengahan Juni lalu, PBRX baru mendapatkan moratorium kewajiban terhadap kreditornya dari Pengadilan Tinggi Singapura pada 4 Juni 2021.
Adapun utang terbesar adalah kepada pemegang obligasi dan sindikasi lenders dengan nilai obligasi sebesar US$ 171,1 juta atau setara Rp 2,48 triliun (kurs rata-rata 14.500) dan limit sindikasi sebesar US$ 138,5 juta atau setara Rp 2 triliun.
Dari dalam negeri sendiri PBRX sebelumnya sudah digugat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh Maybank Indonesia. Terkait dengan PKPU Maybank, manajemen PBRX menyebutkan nilai pinjaman yang dimiliki dari Maybank Indonesia berupa fasilitas pinjaman bilateral senilai Rp 4,16 miliar dan US$ 4,05 juta (sekitar Rp 58,75 miliar, asumsi kurs Rp 14.500/US$), sehingga total Rp 62,91 miliar.
4. PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) alias Sritex
Selain PBRX, emiten tekstil milik Keluarga Lukminto, Sritex, juga sedang memikul utang yang segunung hingga nyaris default (gagal bayar). Kondisi keuangan tersebut membuat perusahaan mencoba peruntungan di lini bisnis tambahan.
Sebelum PBRX, manajemen Sritex juga memutuskan masuk ke lini bisnis baru dalam produksi pakaian APD dan masker kain.
Hal tersebut terungkap dalam keterbukaan informasi pada 11 Mei 2021, yang kemudian diperbarui pada 25 Mei lalu.
Untuk mengembangkan lini bisnis baru ini, disebutkan setidaknya perusahaan memerlukan investasi senilai Rp 280,5 miliar yang akan didanai dari internal perusahaan.
Adapun rencana ini sudah mendapat persetujuan pemegang saham di RUPS Tahunan perusahaan pada 28 Mei 2021.
Sementara, menurut KJPP FAST yang mendapatkan penugasan studi kelayakan mengenai penambahan lini bisnis perusahaan, rencana proyek ini layak untuk dilaksanakan.
Asal tahu saja, SRIL menyatakan saat ini perseroan sedang dalam proses PKPU di tiga negara, antara lain Indonesia, Singapura, dan Amerika Serikat (AS).
Proses PKPU di Indonesia, misalnya, Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang telah memutuskan untuk mengabulkan permintaan perusahaan untuk memperpanjang proses PKPU hingga 90 hari ke depan.
Sementara itu, perusahaan baru-baru ini mengalami penurunan rating Jangka Panjang Issuer Default Rating (IDR) menjadi RD (Restricted Default) dari sebelumnya C yang dilakukan oleh lembaga pemeringkat global Fitch Ratings.
Ini terjadi seiring Sritex tidak memenuhi pembayaran bunga jatuh tempo sekitar US$ 850.000 atau setara dengan Rp 11,9 miliar (kurs US$ 1 = Rp 14.000) atas pinjaman sindikasi senilai US$ 350 juta atau Rp 4,9 triliun, yang jatuh tempo 23 April 2021.
5. PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY)
Pada tahun lalu, diversifikasi ke produksi APD dan masker juga dilakukan emiten tekstil lainnya, yakni POLY, yang berfokus pada industri kimia, serat sintetis, dan tekstil. Perusahaan sudah mendapatkan pesanan untuk memproduksi APD dan selimut untuk tenaga medis dan paramedis. Izin produksi dan izin edar pun sudah dikantongi, meskipun total nilai pesanan tersebut masih belum bisa menutup biaya operasional.
"Namun sedikit bisa meringankan beban perusahaan," kata Presiden Direktur POLY V. Ravi Shankar, dalam keterbukaan informasi di BEI, Selasa (5/5/2020).
Dampak pandemi membuat POLY terpaksa akhirnya menutup operasional pabrik perusahaan di Karawang (Jawa Barat) dan Kaliwungu (Kendal, Jawa Tengah) beberapa bulan sejak 5 Mei 2020.
Selama pabrik dalam masa shutdown, kata Ravi, seluruh karyawan akan dirumahkan sementara waktu (dengan memberikan kompensasi selama dirumahkan) kecuali karyawan bagian maintenance yang ditunjuk untuk masuk sesuai jadwal yang telah ditetapkan dan dibantu beberapa kontraktor dari luar untuk melakukan perbaikan dan perawatan mesin-mesin produksi agar tetap dalam kondisi baik.
TIM RISET CNBC INDONESIA