
"Setan" Tapering Mengintai, Rupiah Bakal Tembus Rp 15.000/US$

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah membukukan pelemahan di semester I-2021 cukup signifikan melawan dolar Amerika Serikat (AS). Padahal, rupiah sebenarnya mengawali tahun ini dengan cukup impresif, berada di bawah Rp 14.000/US$.
Level terkuat rupiah Rp 13.855/US$ yang dicapai pada 4 Januari lalu. Tetapi sayangnya rupiah malah berbalik melemah bahkan sempat ke atas Rp 14.600/US$.
Di akhir semester I-2021, rupiah berada di Rp 14.495/US$, dan mencatat pelemahan 3,24%.
Tekanan bagi rupiah masih belum akan berakhir di paruh kedua tahun ini, bahkan lebih berat lagi. Sebab ada kemungkinan bank sentral AS (The Fed) akan melakukan tapering atau pengurangan nilai stimulus moneter (quantitative easing/QE).
Perubahan kebijakan moneter tersebut menjadi penekan utama rupiah di semester I, dan "setan" tapering akan semakin kuat membayangi yang membuat rupiah sulit menguat.
Sebab, berkaca dari pengalaman di tahun 2013, saat The Fed melakukan tapering yield obligasi (Treasury) di AS melesat naik, yang memicu capital outflow di negara-negara berkembang, kembali menuju ke AS.
Hal tersebut memicu gejolak di pasar finansial global yang disebut taper tantrum. Dolar AS menjadi begitu perkasa, dan rupiah menjadi salah satu korbannya.
Pemulihan ekonomi di AS memicu inflasi yang tinggi, hal tersebut menjadi salah satu alasan The Fed mengubah kebijakannya.
Meski, pendapat para anggota The Fed berbeda-beda mengenai inflasi yang tinggi hanya sementara atau bisa berkelanjutan, tetapi secara umum suku bunga kini diproyeksikan naik pada tahun 2023, lebih cepat dari sebelumnya tahun 2024.
Bahkan, beberapa pejabat The Fed melihat kemungkinan suku bunga dinaikkan pada tahun depan. Sebelum suku bunga dinaikkan, The Fed tentunya akan melakukan tapering QE yang saat ini senilai US$ 120 per bulan.
Tapering tersebut dilakukan dengan mengurangi nilainya, misalnya US$ 10 miliar per bulan, sehingga menjadi US$ 110 miliar, kemudian di bulan selanjutnya US$ 100 miliar, begitu seterusnya sampai habis.
Artinya, perlu waktu cukup panjang untuk menghentikan QE, sehingga spekulasi pemangkasan akan mulai dilakukan di tahun ini menjadi semakin kuat.
Ada 2 indikator yang dijadikan acuan The Fed dalam merubah kebijakan moneternya, yakni inflasi serta pasar tenaga kerja AS.
Data terbaru yang dirilis Jumat pekan lalu Departemen Tenaga Kerja AS pada Jumat (25/6/2021) melaporkan inflasi inti berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) di bulan Mei tumbuh 3,4% year-on-year (YoY). Pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 1992.
Inflasi PCE tersebut merupakan salah satu acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter.
Sementara data tenaga kerja akan dirilis malam ini. Hasil polling Reuters terhadap para ekonom menunjukkan sepanjang bulan Juni penambahan pekerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll) diprediksi sebanyak 700.000 orang, lebih banyak dibandingkan penambahan bulan Mei 559.000 orang. Sementara tingkat pengangguran diprediksi turun menjadi 5,7% dari sebelumnya 5,8%.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pendapat Pejabat The Fed Terbelah
Ketua The Fed, Jerome Powell berulang kali menegaskan inflasi yang tinggi hanya sementara, akibat perekonomian yang kembali dibuka, dengan permintaan yang tinggi tetapi masih belum mampu diimbangi dengan supply.
Selain itu, Powell juga mengatakan tidak akan terburu-buru untuk menaikkan suku bunga.
"Kami tidak akan menaikkan suku bunga hanya karena kekhawatiran kemungkinan percepatan laju inflasi. Kami akan menunggu lebih banyak bukti mengenai inflasi. Percepatan laju inflasi saat ini belum mencerminkan ekonomi secara keseluruhan, tetapi adalah efek langsung dari reopening," jelas Powell.
Powell juga mengomentari Fed Dot Plot yang menunjukkan proyeksi kenaikan suku bunga.
Pada rapat kebijakan moneter bulan Juni, Fed Dot Plot menunjukkan 13 dari 18 anggota melihat suku bunga akan dinaikkan pada tahun 2023. 11 diantaranya memproyeksikan dua kali kenaikan.
Proyeksi kenaikan suku bunga tersebut lebih cepat ketimbang perkiraan yang diberikan bulan Maret lalu, dimana mayoritas melihat suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2024.
![]() |
Selain itu, dalam Fed Dot Plot terbaru, ada 7 anggota yang memproyeksikan suku bunga bisa naik pada tahun 2022.
Powell mensinyalkan kepada pasar agar tidak menganggap Dot Plot tersebut sesuatu yang pasti terjadi.
"Dot Plot bukan alat yang bagus untuk memprediksi kenaikan suku bunga" kata Powell saat konferensi pers pasca pengumuman The Fed.
Namun, dua pejabat teras bank sentral AS (The Fed), Raphael Bostic (Presiden The Fed Atlanta) dan Michelle Bowman (Anggota Dewan Gubernur The Fed), menyatakan tekanan inflasi boleh saja cuma sementara. Namun dampaknya akan terasa dalam waktu lebih lama dari perkiraan sebelumnya.
"Berbagai data terbaru membuat saya memajukan proyeksi (perkiraan kenaikan suku bunga acuan). Saya memperkirakan suku bunga sudah perlu naik pada akhir 2022. Meski temporer, tekanan inflasi akan terjadi dalam waktu yang lebih lama dari perkiraan. Bukan hanya 2-3 bulan tetapi bisa 6-9 bulan," ungkap Bostic, sebagaimana diwartakan Reuters.
"Saya setuju bahwa tekanan inflasi disebabkan oleh keterbatasan pasokan dan peningkatan permintaan akibat pembukaan kembali aktivitas masyarakat (reopening). Jika situasi sudah lebih stabil, lebih seimbang, tekanan ini memang akan berkurang. Namun saya sulit memperkirakan kapan itu terjadi, yang jelas akan memakan waktu," tambah Bowman, juga dikutip dari Reuters.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Virus Corona Jadi Ancaman Lagi
Memasuki tahun 2021, harapan akan segera berakhirnya pandemi penyakit virus corona (Covid-19) sebenarnya sudah muncul setelah vaksinasi mulai dilakukan di berbagai negara termasuk Indonesia.
Pada akhir Januari lalu, kasus Covid-19 di Indonesia meroket, mencatat rekor penambahan lebih dari 14.000 kasus per hari saat itu. Meski demikian, rupiah masih bisa mempertahankan penguatan hingga pertengahan Februari.
Ketika kurva penambahan kasus melandai di bulan Maret dan April, di kisaran 4.000 kasus per hari. Tanda-tanda pemulihan ekonomi pun mulai muncul dan bisa terlepas dari resesi di kuartal II-2021.
Sektor manufaktur kembali menunjukkan kenaikan di bulan Mei naik ke 55,3 yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa.
Terus meningkatnya ekspansi sektor manufaktur tentunya menjadi kabar bagus bagi Indonesia, dan memperkuat optimisme akan lepas dari resesi di kuartal II-2021. Sektor manufaktur sendiri berkontribusi sekitar 20% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Data lain menunjukkan konsumen semakin percaya diri melihat perekonomian saat ini dan beberapa bulan ke depan. Ini terlihat dari kenaikan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK).
Bank Indonesia (BI) melaporkan IKK periode Mei 2021 sebesar 104,4. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 101,5.
Konsumen yang semakin pede, menjadi indikasi peningkatan konsumsi, yang semakin menguatkan ekspektasi Indonesia lepas dari resesi di kuartal ini. Apalagi BI juga melaporkan penjualan ritel akhirnya mengalami pertumbuhan untuk pertama kalinya setelah mengalami kontraksi selama 16 bulan beruntun.
BI melaporkan penjualan ritel yang dicerminkan oleh Indeks Penjualan Riil (IPR) pada April 2021 berada di 220,4. Naik 17,3% MtM dan 15,6% YoY.
April merupakan awal kuartal II-2021, sehingga ekspektasi Indonesia lepas dari resesi semakin kuat.
Namun, laju pemulihan ekonomi Indonesia kini terancam terhambat akibat ledakan kasus Covid-19 di Indonesia dalam beberapa pekan terakhir, bahkan mencetak rekor tertinggi lebih dari 24.836 orang kasus per hari kemarin.
Guna meredam penyebaran Covid-19, pemerintah memutuskan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro Darurat pada 3 hingga 20 Juli. Pengetatan kembali dilakukan dibandingkan PPKM sebelumnya, pusat perbelanjaan/mal misalnya yang dilarang beroperasi.
PPKM Mikro Darurat yang dilakukan lebih dari dua pekan ke depan diharapkan mampu menurunkan kasus positif ke bawah 10.000 orang per hari. Namun, dampak lainnya adalah terhambatnya pemulihan ekonomi yang tentunya bisa membebani rupiah.
Tidak hanya di Indonesia, Covid-19 dikhawatirkan akan "meledak" lagi di Eropa. Vaksinasi yang berjalan cepat membuat negara-negara Eropa mulai melonggarkan pembatasan sosial. Bahkan saat Euro 2020 berlangsung, beberapa stadion penuh dengan supporter sepak bola.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meminta semua pihak terkait melakukan pemantauan ketat terhadap pertandingan sepak bola Euro 2020. Ajang olahraga ini rupanya membuat kasus infeksi Covid-19 meningkat di Eropa, dengan menyebarnya corona varian Delta.
"Akan ada gelombang baru di kawasan Eropa WHO kecuali kita tetap disiplin," tegas Direktur badan PBB Eropa Hans Kluge pada Kamis (1/7/2021), dikutip dari AFP. "Saya harap tidak... tapi ini tidak bisa dikecualikan."
Ratusan kasus infeksi telah terdeteksi di antara penonton yang menghadiri pertandingan Euro 2020 di seluruh benua itu.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Analisis Teknikal
Rupiah belakangan ini memang sedang tertekan terutama setelah bergerak di atas 3 rerata pergerakan (Moving Average/MA), yakni MA 50 hari, MA 100 hari dan MA 200 hari.
Meski demikian jika melihat ke belakang, dalam satu tahun terakhir rupiah sebenarnya bergerak ranging di kisaran Rp 13.800/US$ sampai US$ Rp 15.000/US$.
![]() Foto: Refinitiv |
Artinya, selama rupiah tidak menembus batas atas Rp 15.000/US$, maka tidak akan terjadi pelemahan tajam, dan rupiah bisa bangkit lagi. Meski tetap berada dalam batas tersebut di sisa tahun ini. Apalagi ada resisten kuat di kisaran Rp 15.090 - Rp 15.100/US$ yang merupakan Fibonacci Retracement 50%.
Fibonnaci Retracement tersebut ditarik dari level bawah 24 Januari 2020 (Rp 13.565/US$), hingga ke posisi tertinggi intraday 23 Maret 2020 (Rp 16.620/US$).
Sebelum melemah menuju Rp 15.000/US$, rupiah terlebih dahulu akan ditahan resisten di kisaran Rp 14.720 - Rp 14.740/US$ yang merupakan Fibonacci Retracement 61,8%.
Selama tertahan di bawah Fib. Retracement 61,8%, rupiah berpeluang rebound, dengan target ke Rp 14.210 - Rp 14.230/US$ yang merupakan Fib. Retracement 78,8%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Masih Tertekan, Rupiah Bisa Sentuh Rp 14.800/USD di Q2-2021