Berinvestasi dengan Anti Mainstream

Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
29 June 2021 20:38
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia- Dalam berinvestasi masih banyak investor yang memilih instrumen investasi yang tidak sesuai tujuan keuangan atau profil risiko dirinya. Pemilihan yang kurang sesuai ini biasanya disebabkan oleh keterbatasan minat untuk mempelajari bisnis, keuangan, dan metode berinvestasi yang tepat.

Untuk tipe investor seperti ini biasanya disarankan untuk memilih produk reksan dana karena berbagai kemudahan yang ditawarkan. Investor reksa dana saham misalnya tidak perlu menganalisis saham-saham apa saja yang memiliki prospek bagus, karena pekerjaan itu telah dilakukan oleh manajer investasinya.

Para manajer investasi mencoba mengumpulkan beberapa saham yang menurut mereka akan memiliki kinerja yang lebih bagus dari kinerja pasar (IHSG) di satu reksa dana saham bersama dengan kombinasi jenis efek lainnya. Dengan begitu, biasanya biaya manajemen (management fee) yang dikenakan untuk reksa dana tersebut relatif tinggi. Namun pilihan investasi tidak hanya terbatas pada reksa dana saham atau konvensional lainnya.

Salah satu praktisi senior pasar modal Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan ekonom ternama, Burton Malkiel, dalam buku best sellernya, A Random Walk Down Wallstreet pada tahun 1974 menunjukkan bahwa manajer investasi di AS ternyata sangat sulit untuk mengalahkan kinerja pasar, yang diwakili oleh indeks S&P 500, secara konsisten.

Hal tersebut lah yang mendasari lahirnya reksa dana indeks (index fund), yang dikelola secara berbeda dengan reksa dana saham pada umumnya. Reksa dana saham menggunakan active management seperti yang disebutkan di atas, lain halnya dengan reksa dana indeks yang melakukan pendekatan menggunakan passive management (manajemen pasif), yang artinya manajer investasi menggunakan seluruh saham yang ada di indeks acuan yang digunakan.

Dengan begitu tidak membutuhkan analisis mendalam untuk menentukan saham-saham dalam portofolio reksa dana tersebut karena kinerjanya akan sangat mirip dengan kinerja indeks acuannya. Akibatnya, management feenya juga tentunya jauh lebih rendah dibandingkan reksa dana saham.

Reksa dana indeks pertama kali diluncurkan oleh Vanguard pada 31 Desember 1975 dengan nama First Index Investment Trust yang menggunakan S&P 500 sebagai indeks acuannya. Dan meskipun sudah berumur lebih dari 40 tahun, reksa dana tersebut yang namanya kini telah berubah menjadi Vanguard S&P 500 Index Fund, ternyata masih dapat mengungguli kinerja rata-rata reksa dana saham yang ada di AS.

Hal ini membuat produk pasif seperti index fund dan Exchange Traded Fund (ETF) kini menjadi populer, tidak hanya di kalangan investor ritel maupun institusional, namun juga di kalangan manajer investasi global.

Pada akhir 2020 total dana kelolaan (Asset Under Management/AUM) produk manajemen pasif di seluruh dunia sudah mencapai lebih dari US$15 triliun, di mana baik index fund maupun ETF menyumbang masing-masing sebesar US$7,76 triliun dan US$7,71 triliun.

Dari buy side, manajer investasi cukup melakukan analisis terhadap indeks potensial yang dapat digunakan sebagai acuan dan rebalancing yang dilakukan pun menyesuaikan dengan rebalancing yang dilakukan oleh bursa efek atau index provider. Sedangkan dari sell side, investor, khususnya investor pemula cukup memilih reksa dana indeks atau ETF yang sesuai dengan karakteristik, preferensi, maupun tujuan keuangan mereka di beberapa perusahaan sekuritas yang ada.

Head of Market Development Indo Premier Sekuritas, Banyu Adiputra, menjelaskan bahwa ETF merupakan instrument alternatif yang cocok untuk investor pemula.

"Karakteristik ETF yang memudahkan untuk kedua belah pihak dan begitu pesatnya perkembangannya dalam puluhan tahun di pasar modal global, khususnya 5 tahun terakhir ini, memang seharusnya sudah diketahui oleh investor maupun calon investor di Indonesia agar mereka tidak terjebak di instrumen investasi maupun cara berinvestasi yang salah. Itulah alasan kami memperkenalkan dan konsisten mengembangkan ETF di pasar modal Indonesia, khususnya kepada investor ritel, sejak tahun 2007 hingga saat ini," ujar Banyu.


(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Demi Keuangan Sehat, Ini Dia Protokol 3M Saat Investasi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular