Analisis

Harga CPO Jatuh 25%, Apa Ini yang Bikin Rupiah Tak Bergairah?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
22 June 2021 17:00
Ilustrasi Kelapa Sawit (CNBC Indonesia/Rivi Satrianegara)
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah perkasa pada perdagangan Selasa (22/6/2021), menguat 0,17% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.400/US$. Rupiah bahkan menguat sendirian di Asia, setidaknya hingga pukul 15:11 WIB, melansir data Refinitiv.

Meski demikian, sebelumnya rupiah sudah membukukan pelemahan 6 hari beruntun dengan total 1,7%. Pelemahan tajam tersebut menjadi salah satu yang membantu rupiah menguat hari ini, selain juga dolar AS yang sedang terkoreksi.

Di saat yang sama, harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang merupakan komoditas ekspor utama Indonesia merosot tajam.

Sepanjang pekan lalu, CPO ambrol lebih dari 6%. Sementara dalam lima pekan terakhir, ditambah dengan dua hari perdagangan minggu ini, harga CPO ambrol nyaris 25%.

Melansir data Refinitiv, CPO kontrak September di bursa Derivatif Malaysia diperdagangkan di kisaran 3.391 ringgit (RM) per ton. Posisi tersebut tidak jauh dari level terendah sejak awal Februari lalu.

Adakah hubungannya rupiah dengan CPO?

CPO berada di urutan teratas komoditas non-migas yang diekspor Indonesia, sehingga menyumbang pendapatan yang besar bagi negara.

Melansir data dari Badan Pusat Statistik (BPS) CPO termasuk dalam ekspor lemak dan minyak hewan/nabati, yang berkontribusi sebesar 15,04% dari total ekspor periode Januari-Mei tahun ini. Nilainya mencapai US$ 11,95 miliar, mengalami kenaikan 59% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Meski sedang jeblok, tetapi harga CPO sebenarnya masih cukup tinggi. Posisi hari ini yang di kisaran RM 3.390/ton masih lebih tinggi ketimbang rata-rata harga tahun lalu RM 2700/ton.

Bahkan jauh lebih tinggi ketimbang rata-rata tahun 2019, ketika belum terjadi pandemi, yakni di RM 2.248/ton.

Sementara jika melihat rata-rata harga sepanjang tahun ini berada di RM 3.737/ton, dibandingkan rata-rata periode yang sama tahun lalu sebesar RM 2.440/ton dan 2021 RM 2.140/ton, juga jauh lebih tinggi.

Artinya, meski harga CPO nyungsep dalam beberapa pekan terakhir, tetapi sumbangan devisa dari minyak nabati ini masih lebih besar ketimbang dua tahun terakhir.

Apalagi, pajak dan pungutan ekspor sedang tinggi-tingginya. Pungutan ekspor sendiri mencapai batas atas maksimal US$ 255 per ton, sebab harga CPO berada di atas US$ 995/ton atau di atas RM 4.000/ton.

Sementara pajak ekspor untuk minyak sawit mentah di bulan Mei yakni US$ 144 per ton.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ini Yang Membuat Rupiah Tertekan

Sebelum pekan lalu, rupiah sebenarnya dalam tren bagus, menguat sejak pertengahan Mei. Tetapi, semua berubah setelah bank sentral AS (The Fed) mengumumkan kebijakan moneter.

Wajar saja arah angina berubah, The Fed di bawah pimpinan Jerome Powell memberikan proyeksi terbarunya mengenai suku bunga di AS, yang tertuang dalam Fed Dot Plot.

Fed Dot Plot menunjukkan 13 dari 18 anggota melihat suku bunga akan dinaikkan pada tahun 2023. 11 diantaranya memproyeksikan dua kali kenaikan masing-masing 25 basis poin menjadi 0,75%.

Proyeksi tersebut menjadi kejutan bagi pasar finansial, sebab pada bulan Maret lalu The Fed memproyeksikan suku bunga baru akan dinaikkan pada 2024.

idrFoto: Refinitiv

Selain itu, ada 7 anggota yang memproyeksikan suku bunga bisa naik pada tahun 2022.

Dolar AS langsung melesat pascapengumuman tersebut. Sepanjang pekan lalu indeks dolar AS melesat 1,8% ke 92,346, level terkuat sejak awal April, dan rupiah pun tertekan.

Penguatan dolar AS tertahan pada Senin kemarin, sebab pelaku pasar menanti kejelasan terkait tapering atau pengurangan program pembelian aset (quantitative easing/QE) dari testimoni ketua The Fed, Jerome Powell, tengah malam nanti.

Pada pekan lalu, The Fed tidak menyebutkan mengenai masalah tapering, tetapi menyiratkan sudah mendiskusikan hal tersebut.

Tetapi, jika suku bunga akan dinaikkan lebih cepat dari sebelumnya, artinya tapering juga kemungkinan besar akan lebih cepat, terjadi di semester II tahun ini.

"Jika The Fed menaikkan suku bunga sebanyak 2 kali di tahun 2023, mereka harus mulai melakukan tapering lebih cepat untuk mencapai target tersebut," kata Kathy Jones, kepala fixed income di Charlers Schwab, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (17/6/2021).

"Tapering dalam laju yang moderat kemungkinan akan memerlukan waktu selama 10 bulan, sehingga perlu dilakukan di tahun ini, dan jika perekonomian menjadi sedikit panas, maka suku bunga bisa dinaikkan lebih cepat lagi," katanya lagi.

Seandainya Powell menyiratkan tapering akan dilakukan di semester II tahun ini, tentunya lebih cepat daru spekulasi pasar sebelumnya di awal tahun depan, maka tren penguatan dolar AS berpeluang berlanjut, dan rupiah berisiko terpukul.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Duh! Rupiah Terburuk di Asia Hari Ini, Ada Apa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular