Mata Uang "Underdog" Jadi Juara di Kuartal I-2022

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
01 April 2022 18:10
Dolar Australia
Foto: Dolar Australia (REUTERS/Thomas White)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kuartal I-2022 sudah berakhir, secara keseluruhan dolar Amerika Serikat (AS) masih mendominasi pasar mata uang. Hal ini tercermin dari indeks dolar AS yang menguat nyaris 2,5% pada periode Januari - Maret.

Tetapi jika di break down, beberapa mata uang masih mampu menguat melawan dolar AS. Bahkan mata uang yang termasuk "underdog", malah menjadi salah satu yang terbaik di antara mata uang negara-negara G20.

Saat bank sentral utama dunia mulai menormalisasi kebijakan moneternya, bank sentral Australia (Reserve bank of Australia/RBA) malah menutup peluang kenaikan di tahun ini.

Alhasil, dolar Australia di awal tahun ini jeblok lebih dari 4% melawan dolar AS ke bawah 70 sen, atau AU$ 1 setara US$ 0,6966 yang merupakan level terendah sejak Juli 2020.

Melawan rupiah, dolar Australia sempat merosot 3,2% dan nyaris menembus ke bawah Rp 10.000/AU$.

Tetapi arah angin berubah, dolar Australia mulai merangkak naik di bulan Februari dan melesat di Maret.

Melansir data Refinitiv, sepanjang kuartal I-2022, dolar Australia tercatat menguat lebih dari 3% melawan dolar AS ke US$ 0,7480. Dengan penguatan tersebut, dolar Australia menjadi mata uang terbaik kedua di antara negara G20, hanya kalah dari real Brasil yang melesat nyaris 15%.

Tetapi real Brasil bukan mata uang "underdog", sebab bank sentralnya sudah agresif menaikkan suku bunga sejak tahun lalu.

Melawan rupiah, dolar Australia juga berbalik arah dan mampu melesat 3,8% dalam 3 bulan pertama tahun ini di Rp 10.747/AU$. Bahkan sebelumnya sempat menembus ke atas Rp 10.800/AU$.

Berbalik arahnya dolar Australia tidak lepas dari ekspektasi kenaikan suku bunga di Negeri Kanguru. RBA yang pada Januari lalu masih menutup rapat peluang kenaikan suku bunga di tahun ini, berubah sikap hanya dalam tempo satu bulan saja.

Gubernur RBA Philip Lowe, membuka peluang kenaikan suku bunga lebih cepat. Sebabnya, inflasi yang sudah mencapai target sebesar 2% sampai 3%.

Pada akhir Januari lalu, Biro Statistik Australia melaporkan inflasi di kuartal IV-2021 tumbuh 1,3% dari kuartal sebelumnya. Sehingga inflasi selama setahun penuh menjadi 3,5% di 2021.

Kemudian inflasi inti tumbuh 1% di kuartal IV-2021 dari kuartal sebelumnya. Sepanjang 2021, inflasi inti tumbuh sebesar 2,6% yang merupakan level tertinggi sejak 2014.

Kemudian pada bulan lalu tingkat pengangguran di bulan Februari dilaporkan turun menjadi 4%, yang merupakan level terendah dalam lebih dari 13 tahun terakhir.

Alhasil, pelaku pasar kini memprediksi RBA akan menaikkan suku bunga paling cepat di bulan Juni. Dolar Australia pun terus menanjak.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Harga Komoditas Meroket, Dolar Australia Jadi Undervalue

Selain ekspektasi suku bunga, tingginya harga komoditas juga mendongkrak kinerja dolar Australia.

Sejak awal tahun 2000an, perekonomian Australia ditopang oleh "commodity boom" yakni kenaikan tajam harga komoditas. Investasi di sektor pertambangan pun semakin masif, sebelum akhirnya meredup sejak tahun 2014.

Sejak tahun lalu, "commodity boom" kembali terjadi, harga batu bara misalnya terus meroket memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa.

Sebagai eksportir terbesar kedua setelah Indonesia, lonjakan harga batu bara tersebut tentunya akan meningkatkan pendapatan negara.

Sehingga commodity boom yang terjadi lagi berpotensi membuat perekonomian Australia berputar lebih kencang lagi di tahun ini.

Tingginya harga komoditas di tahun ini membuat analis dari Commonwealth Bank of Australia (CBA), Kim Mundy menyebut kurs dolar Australia saat ini masih sangat undervalue dibandingkan dolar AS.

Analis dari Commonwealth Bank of Australia (CBA), Kim Mundy menyebut tingginya harga komoditas membuat dolar Australia sangat undervalue.

Pada awal Februari lalu Mundy mengatakan berdasarkan kalkulasi dari indeks harga komoditas RBA dan perbedaan suku bunga relatif di Australia dan Amerika Serikat. Mundy menyebut fair value AU$ 1 setara dengan US$ 0,86 (86 sen).

"Estimasi kami fair value dolar Australia berada di kisaran 86 sen AS," kata Mundy sebagaimana dilansir The Guardian, Jumat (4/2).

Melihat posisi dolar Australia per 30 Maret di kisaran US$ 0,75, dengan demikian, dolar Australia seharusnya bisa menguat sekitar 15% lagi. CBA sendiri memprediksi dolar Australia akan berada di kisaran US$ 0,80 (80 sen) di akhir tahun ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular