Penuh Lika-Liku, Rupiah Masih Cukup Oke di Kuartal I-2022

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
01 April 2022 12:45
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi penyakit virus corona (Covid-19), perang Rusia dengan Ukraina hingga normalisasi kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) membuat perjalan rupiah penuh dengan lika-liku kuartal I-2022.

Meski tercatat melemah, tetapi kinerja rupiah bisa dikatakan cukup oke jika melihat tekanan dari eksternal yang begitu besar.

Melansir data dari Refinitiv, sepanjang kuartal I-2022 rupiah tercatat melemah 0,83% ke Rp 14.468/US$. Jika dibandingkan dengan mata uang utama Asia lainnya, rupiah berada di papan tengah. Yuan China menjadi mata uang terbaik di Asia, sekaligus menjadi satu-satunya yang mencatat penguatan sebesar 0,2%.

Sementara itu yen Jepang menjadi yang terburuk setelah merosot sebesar 5,7%.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia sepanjang kuartal I-2022.

Dalam 3 bulan pertama tahun ini, Indonesia sempat mengalami lonjakan kasus Covid-19 yang membuat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) kembali diketatkan pada bulan Februari lagi.

Untungnya, pengetatan tersebut tidak lama. Pemerintah sekali lagi sukses meredam penyebaran virus corona varian Omicron.
Ketika dalam negeri kondusif, eksternal yang bergejolak. Perang Rusia dengan Ukaraina yang dimulai sejak Kamis (24/2/2022) membuat pasar finansial global sedikit mengalami syok.

Blessing in disguise, perang tersebut justru menjadi salah satu yang membuat nilai tukar rupiah stabil. Sebab, aliran modal terbang dari Eropa, dan salah satunya menuju pasar saham Indonesia.

Data dari Emerging Portfolio Fund Research (EPFR) yang dikumpulkan Bank of America (BofA) menunjukkan dalam sepekan yang berakhir 2 Maret, terjadi net outflow di pasar saham Eropa senilai US$ 6,7 miliar atau sekitar Rp 95,8 triliun. Duit yang terbang keluar dalam sepekan tersebut menjadi yang terbesar dalam lima tahun terakhir.

Duit yang terbang dari Barat tersebut tentunya mencari tempat 'berkembang biak' yang baru, dan negara di Timur, yang jauh dari konflik dan minim eksposur ke Rusia menjadi salah satu pilihannya.

Data pasar mencatat, sepanjang kuartal I-2020, terjadi capital inflow di pasar saham Indonesia lebih dari Rp 27 triliun.

Selain itu, perang Rusia dengan Ukraina membuat harga komoditas melambung tinggi yang membuat neraca perdagangan Indonesia mencetak surplus 21 bulan beruntun. Ini membantu transaksi berjalan (current account) membukukan surplus sebesar US$ 1,4 miliar atau 0,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal IV-2021, dan masih bisa berlanjut di kuartal I-2022.

Transaksi berjalan berperan penting terhadap stabilitas rupiah, sebab menunjukkan aliran devisa yang bertahan lama di dalam negeri.

Selain itu, Bank Indonesia (BI) juga memiliki cadangan devisa yang cukup besar. Per akhir Februari 2022, Indonesia memiliki cadangan devisa sebesar US$ 141,4 miliar. Sebagai perbandingan, saat terjadi taper tantrum 2013, cadangan devisa Indonesia berada di kisaran US$ 105 miliar.

Alhasil nilai tukar rupiah masih stabil meski bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga dengan agresif di tahun ini.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> The Fed Super Agresif, Rupiah Tetap Kalem

The Fed sesuai dengan prediksi pasar menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 0,25% - 0,5% pada pertengahan Maret lalu.

Tidak hanya itu, The Fed di bawah pimpinan Jerome Powell mengindikasikan akan menaikkan suku bunga 6 kali lagi di tahun ini, artinya di setiap pertemuan akan selalu terjadi kenaikan sebesar 25 basis poin, sehingga di akhir 2022 menjadi 1,75% - 2%.

Tetapi setelahnya, banyak pejabat elit The Fed yang angkat suara tentang kemungkinan kenaikan suku bunga lebih agresif lagi guna meredam kenaikan inflasi.

Presiden The Fed San Francisco Mary Daly dan Presiden The Fed Cleveland Loretta Mester membuka ruang kenaikan suku bunga sebesar 50 basis poin di bulan Mei.

Presiden The Fed St. Louis, James Bullard menjadi yang paling bullish. Bullard pada pekan lalu sebenarnya memilih kenaikan sebesar 50 basis poin, dan menginginkan di akhir tahun nanti suku bunga mencapai 3%.

Pamungkas, Jerome Powell juga menyatakan kesiapannya untuk bertindak lebih agresif.

"Kami akan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan stabilitas harga. Secara khusus, jika kami menyimpulkan kenaikan suku bunga lebih dari 25 basis poin tepat dilakukan, kami akan melakukannya. Dan jika kami memutuskan perlu melakukan pengetatan di luar dari kebiasaan yang normal, kami juga akan melakukannya," kata Powell sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (22/3/2022).

Agresivitas tersebut membuat yield obligasi (Treasury AS) naik, yang akhirnya memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko (DJPPR) aliran modal keluar dari pasar obligasi sekunder nyaris Rp 39 triliun sepanjang kuartal I-2022.

Hal tersebut membuat rupiah tertekan, tetapi masih mampu diimbangi inflow di pasar saham dan beberapa faktor positif lainnya yang membuatnya cukup stabil di 3 bulan pertama tahun ini. Hal ini tentunya menjadi modal bagus mengarungi tahun 2022.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular