Tambahan pasien kasus positif Covid-19 di tanah air kembali menyentuh 10.000 orang setiap harinya. Hal tersebut akhirnya membuat pemerintah untuk kembali memberlakukan pembatasan aktivitas dan mobilitas masyarakat. Padahal mobilitas manusia adalah kunci pertumbuhan ekonomi.
Hal ini juga yang membuat kekhawatiran Menteri Keuangan Sri Mulyani dan perlu diwaspadai. Dia mulai meragukan proyeksi pertumbuhan ekonomi Kuartal II-2021 yang ditargetkan bisa menyentuh 7,1% - 8,3% bisa tercapai.
"Pertumbuhan ekonomi kita kuartal II antara 7,1 - 8,3%. Ini seiring kenaikan Covid harus hati-hati terutama proyeksi upper bound di 8,3%," ujarnya saat rapat bersama Komisi XI DPR, beberapa waktu lalu.
"Kuartal II kita berharap terjadi pemulihan kuat, namun Covid-19 pada minggu kedua Juni akan mempengaruhi koreksi ini. Kalau Covid-19 bisa menurun, masih bisa berharap. Kalau menurunkan Covid-19 harus melakukan pembatasan, maka proyeksi ekonomi akan terkoreksi. Ini trade off yang akan dihadapi pada bulan-bulan ini," terang Sri Mulyani.
Isu tapering terus mempengaruhi pasar keuangan global, terutama setelah AS merislis data tenaga kerja dan inflasinya. Dua data tersebut menjadi kunci bagi bank sentral AS (The Fed) untuk melakukan tapering.
Tapering merupakan kebijakan The Fed mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) yang saat ini senilai US$ 120 miliar per bulan.
Bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve System (Fed) secara signifikan meningkatkan ekspektasi inflasi tahun 2021. Bahkan The Fed mengajukan kerangka waktu, kapan akan menaikkan suku bunga.
Dalam rapat Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC), The Fed mengubah sikapnya dengan mempercepat rencana kenaikan suku bunga acuan. Setelah sebelumnya menyatakan tidak berencana melakukan itu sebelum 2023 terlewati, kini Jerome Paul mengindikasikan adanya kenaikan di 2023 hingga dua kali.
Sebagai informasi, pengumuman tapering yang terjadi di pertengahan 2013 lalu memicu taper tantrum yakni yield obligasi (Treasury) melesat naik, aliran modal kembali ke Negeri Paman Sam, dolar AS menjadi sangat perkasa. Alhasil, terjadi gejolak di pasar finansial global.
Oleh karenanya, saat ini The Fed di bawah pimpinan Jerome Powell akan berusaha menghindari taper tantrum. Salah satu pemicu taper tantrum pada 2013 adalah pengumuman tapering yang mengejutkan pasar. Artinya pasar belum mengantisipasi hal tersebut.
Kali ini, The Fed akan berusaha terus memberikan update mengenai kebijakan moneter yang akan diambil, sehingga pasar lebih siap menghadapi tapering.
Di dalam negeri, Bank Indonesia (BI) akn mempertahankan suku bunga rendah hingga ada tanda-tanda kenaikan inflasi yang kemungkinan baru terjadi di tahun depan. Namun, langkah antisipasi tetap dilakukan. Saat ini suku bunga acuan seven day repo rate (BI7DRR) berada pada level 3.5%.
Berdasarkan dari statement rapat FOMC, BI menilai bahwa kebijakan The Fed masih akan akomodatif dalam kebijakan moneternya, dan masih terlalu dini untuk mengurangi stimulus moneter atau tapering off.
"Bahkan The Fed masih melanjutkan pembelian surat berharga sampai dengan terdapat perkembangan yang substansial tentang inflasi dan tenaga kerja," jelas Perry.
"Kami akan pantau dari waktu ke waktu kalau ada indikator-indikator baru yang membuat perubahan. Tapi, sampai dengan yang kami pahami, tapering The Fed baru akan dilakukan tahun depan," kata Perry menegaskan.
Ancaman dari global lainnya adalah bubble properti di China. Harga aset properti di China yang terus merangkak naik menimbulkan kekhawatiran bahwa real estate bubble bakal meletus dan memicu krisis. Sebagai perekonomian terbesar kedua di dunia tentu saja dampak krisis di China jika terjadi akan dirasakan oleh negara-negara lain termasuk Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi China boleh saja mentereng. Namun sekali lagi ini menjadi bukti bahwa pertumbuhan tidak selalu disertai dengan stabilitas. Economic boom di China justru membuat spekulasi di sektor properti berkembang.
Harga rumah di Negeri Panda konsisten tumbuh terus dan tak pernah turun terutama sejak tahun 2015. Rasio harga rumah terhadap pendapatan masyarakat di China mencapai 133 kali. Bayangkan betapa mahalnya harga sepetak rumah di China.
Kenaikan harga properti cenderung membuat kredit yang disalurkan ke sektor ini pun meningkat. Para pengembang pun agresif melakukan ekspansi dengan menerbitkan surat utang. Masalahnya, laju gagal bayar surat utang di China terus tumbuh. Pada kuartal pertama tahun ini tercatat sebanyak 27% dari total hampir US$ 15 miliar gagal bayar (default) surat utang disumbang oleh surat utang pengembang properti.
Memang fenomena bubble tidak harus langsung diikuti dengan burst dalam waktu singkat. Namun yang pasti pada suatu titik harga sudah tidak bisa naik lagi karena permintaan akan turun ketika harga sudah kemahalan. Di saat itulah gelembung tadi pecah dan menimbulkan krisis. Jepang pada tahun 1990-an dan AS pada 2008 silam sudah mengalaminya. Kini ancaman tersebut mulai mengintai China.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) berencana mengintervensi sektor-sektor yang sulit bangkit di masa pandemi Covid-19.
Sri Mulyani menjelaskan, kelompok slow starter mengalami kontraksi penjualan paling dalam, jauh di bawah industri. Kelompok ini mengalami dampak terdalam akibat Covid-19 dan sangat bergantung pada pulihnya aktivitas masyarakat.
Kelompok slow starter yang dimaksud adalah perdagangan, konstruksi, transportasi, dan jasa-jasa.
"Ini kelompok mengalami knock down effect yang sangat dalam karena covid, korelasinya negatif. Ketika covid naik mereka turun, ketika covid turun mereka pulih tapi slow. Nah ini jadinya tidak simetris," jelas Sri Mulyani, saat rapat kerja dengan Komisi XI, Senin (14/6/2021).
Sementara sektor ekonomi yang menjadi growth driver, kata Sri Mulyani, berasal dari sektor manufaktur. Meskipun terpukul, tapi sektor tersebut saat ini sudah mulai tumbuh. Return of asset-nya pun sudah mulai pulih, tercermin pada kuartal IV-2021 sudah mulai menyentuh 3,67%.
Kendati demikian, profitabilitas baik kelompok slow starter dan growth driver masih sangat rendah.
"Kemampuan membayar kelompok resilience berada di atas threshold 1,5 sementara kelompok slow starter dan growth driver di bawah threshold atau rendah," jelas Sri Mulyani.
Hal itu, lanjut Sri Mulyani, akan membuat interest coverage ratio (ICR) atau kemampuan membayar, baik itu bagi kelompok slow starter dan growth driver perlu diintervensi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"ICR atau kemampuan untuk membayar pinjaman. Ini persoalan di OJK, untuk memberikan pinjaman. Untuk sektor yang semakin terpukul makin tidak mau (bayar), ini kita perlu intervensi," tuturnya.
"Kalau yang terpukul pulih dan langsung dapat kredit baru. Tapi yang terpukul dan tidak pulih, bank akan menghindari untuk meminjamkan di sektor ini. Ini tantangan pemulihan ekonomi dan akan terus membahasnya di KSSK," kata Sri Mulyani melanjutkan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun meminta agar perbankan untuk mulai menambah pencadangan secara gradual.
"Perbankan tolong mulai mencadangkan, secara gradual," ungkap Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso.
"Kita tidak tahu apa yang terjadi sehingga apabila ada nasabah yang tidak bisa recover, kita sudah punya cadangan yang cukup. Sehingga perbankan dan lembaga keuangan agar secara gradual membuat cadangan lebih preemptive," jelasnya.