
Ekonomi RI Bisa Seburuk Itu Gara-gara The Fed? Mungkin Lebih!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah, Bank Indonesia (BI) serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus berhati-hati menanggapi kondisi perekonomian global, khususnya dari Amerika Serikat (AS). Bila tidak, ya mungkin dampaknya ke Indonesia lebih buruk dari yang dibayangkan.
Perkembangan di AS hanya satu dari sekian ancaman terhadap perekonomian Indonesia. Ancaman utama tetap lonjakan kasus covid-19 yang sepertinya tengah ditangani oleh pemerintah saat ini.
Dalam Rapat Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC), The Fed mengubah sikapnya dengan mempercepat rencana penaikan suku bunga acuan. Suku bunga acuan diperkirakan mulai naik pada 2023 mendatang sebanyak dua kali.
Jerome Powell dalam pernyataannya mengakui bahwa inflasi bisa melesat lebih cepat dari ekspektasi bank sentral sebelumnya. Target inflasi pun dinaikkan menjadi 3,4% pada 2021, naik 100 persen poin dari proyeksi Maret meski masih menilai tekanan inflasi tersebut bersifat "sesaat".
"Tentu dalam hal ini regulator harus waspada akan kemungkinan datangnya lebih cepat," ungkap Ekonom Bank Permata Josua Pardede dalam wawancara dengan CNBC Indonesia TV, Kamis (17/6/2021)
Kebijakan the Fed, kata Josua tentu bisa mendorong aliran dana keluar atau capital outflow dari negara berkembang, seperti Indonesia. Dampaknya yield surat utang akan meningkat dan nilai tukar rupiah akan melemah terhadap dolar AS seperti yang terjadi pada 2013 atau dikenal dengan taper tantrum.
Regulator diharapkan sudah belajar dari periode tersebut sehingga bisa melahirkan kebijakan yang justru mampu menahan capital outflow. Tentunya dengan tetap menjaga pemulihan ekonomi nasional tetap berjalan.
"Regulator perlu menjaga agar ini tidak mendorong capital outflow yang signifikan seperti 2013," terangnya.
Akan tetapi, bila pengetatan moneter di AS datang lebih cepat dan capital outflow tidak terjaga maka Bank Indonesia (BI) bisa saja mengubah kebijakan ke arah yang sama. Saat ini BI menurut Josua sudah tepat mempertahankan suku bunga acuan di level 3,5%.
"Opsi pengetatan moneter ada. Apabila capital flight yang signifikan tentu pengetatan moneter menjadi opsi sesuai assessment dari waktu ke waktu dilakukan BI," kata Josua.
Cerita selanjutnya tentu akan menjadi tidak menyenangkan. Bunga kredit perbankan juga akan ikut naik tanpa permisi. Harapan banyak pihak bunga kredit turun lebih jauh tidak akan pernah terwujud. Hal ini yang mengganggu ekonomi bangun dari mimpi buruk.
"Kalau ekonomi kita belum pulih, suku bunga AS naik dan direspons suku bunga BI pasti akan menghambat pemulihan ekonomi," ujarnya.
Josua menyarankan agar pemerintah fokus pada penanganan covid yang sebenarnya berperan penting dalam pemulihan ekonomi. Secara paralel penguatan fundamental dilakukan dengan koordinasi yang lebih erat dengan stakeholder lainnya. Di sisi lain juga perlu dilakukan pendalaman pasar keuangan.
Dengan demikian pemulihan ekonomi bisa lebih cepat dan arah kebijakan moneter ke depannya lebih mudah untuk menyesuaikan.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Data Ekonomi AS Oke Terus, Yakin Tak akan Ada Taper Tantrum?