Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Faktor eksternal yang kondusif menopang penguatan mata uang Merah Putih.
Pada Jumat (11/6/2021), US$ 1 dihargai Rp 14.200 kala pembukaan perdagangan pasar spot. Rupiah menguat 0,32% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. Jika penguatan rupiah menebal, bukan tidak mungkin bisa menembus ke bawah Rp 14.200/US$.
Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan apresiasi 0,04% terhadap dolar AS. Ini membuat rupiah tidak pernah melemah selama empat hari perdagangan beruntun.
Mata uang Tanah Air memang sedang dalam tren menguat. Sejak awal kuartal II-2021, rupiah terapresiasi hampir 2% di hadapan greenback.
Halaman Selanjutnya --> Inflasi AS Sentuh 5%
Dari sisi eksternal, situasi sedang kondusif. Sebenarnya agak aneh, karena Kementerian Ketenagakerjaan AS merilis data inflasi yang terlihat semakin tinggi.
Pada Mei 2021, laju inflasi Negeri Paman Sam tercatat 0,8% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Ini adala laju tercepat sejak Juni 2009.
Sementara secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi AS berada di 5%. Ini menjadi laju tercepat sejak Agustus 2008.
Percepatan laju inflasi adalah konsekuensi dari pemulihan ekonomi selepas dihantam keras oleh pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). AS adalah negara yang cepat bangkit karena vaksinasi anti-virus corona yang sangat masif.
Mengutip catatan Our World in Data, jumlah penduduk AS yang sudah mendapatkan vaksinasi penuh per 9 Juni 2021 adalah 140,98 juta orang. Dalam hal ini, AS menduduki peringkat satu dunia.
 Sumber: Our World in Data |
Vaksinasi yang cepat dan luas membuat pemerintah AS berani untuk membuka 'keran' aktivitas dan mobilitas masyarakat. Pusat perbelanjaan, restoran, bioskop, sampai sekolah sudah bisa dibuka kembali meski ada pembatasan di sana-sini.
"Inflasi April dan Mei yang tinggi bisa dipahami, karena merefleksikan ekonomi yang mulai kembali normal. Laporan ini memberi konfirmasi bahwa permintaan meningkat melebihi pasokan," kata Chris Low, Kepala Ekonom FHN Financial yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.
Halaman Selanjutnya --> Inflasi Tak Lagi Ngeri?
Beberapa waktu lalu, isu inflasi menjadi 'hantu' yang menyeramkan di pasar. Sebab, laju inflasi yang semakin cepat akan memaksa bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) untuk merespons dengan mulai mengetatkan kebijakan alias tapering off. Apakah itu mengurangi gelontoran likuiditas (quantitative easing) hingga menaikkan suku bunga.
Namun kali ini investor lebih tenang. Pasar sudah bisa menerima kenyataan bahwa inflasi yang terakselerasi adalah fenomena sesaat karena ekonomi masih menyesuaikan diri, beradaptasi dengan kondisi new normal. Ketika keseimbangan sudah terbentuk, maka permintaan dan pasokan akan lebih seimbang sehingga harga kembali normal, tidak melonjak seperti sekarang.
Oleh karena itu, pasar tidak lagi berani bertaruh bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan dalam waktu dekat. Mengutip CME FedWatch, kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 0,25-0,5% pada akhir tahun ini hanya 4%. Turun dibandingkan sepekan lalu yaitu 6% dan posisi sebulan sebelumnya yakni 10%.
 Sumber: CME FedWatch |
"Pasar percaya bahwa inflasi mencerminkan kondisi transisi. Tidak ada ketakutan seperti dulu," ujar Subadra Rajappa, Head of US Rates Strategy di Societe Generale yang berkedudukan di New York, sebagaimana diwartakan Reuters.
Dinamika ini membuat aset-aset berisiko melanjutkan reli, tidak ada flight to quality. Dini hari tadi waktu Indonesia, bursa saham New York ditutup di zona hijau di mana indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,06%, S%P 500 bertambah 0,47%, dan Nasdaq Composite terangkat 0,79%.
TIM RISET CNBC INDONESIA