
Kecemasan Jokowi dan Sri Mulyani Ini Makin Hari Makin Nyata!

Seperti yang disinggung sebelumnya, bank sentral melakukan kebijakan ekspansi untuk menghadapi pandemi dan merangsang ekonomi. Kini setelah pandemi mulai terkendali dan ekonomi bersemi kembali, mulai ada omongan kebijakan yang ultra-longgar akan diketatkan.
Termasuk di bank sentral AS. Beberapa pejabat teras The Fed mulai membuka wacana soal pengetatan. Randal Quarles, Kepala Dewan Stabilitas Keuangan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed), mengungkapkan bukan tidak mungkin wacana pengetatan mulai dibuka dalam beberapa bulan ke depan.
"Kita perlu bersabar. Jika perkiraan saya bahwa seputar pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan inflasi mulai terbukti, bahkan semakin kuat, maka menjadi penting bagi kami untuk mulai mendiskusikan tentang penyesuaian besaran pembelian aset dalam rapat-rapat selanjutnya," papar Quarles, sebagaimana diwartakan Reuters.
Patrick Harker, Presiden The Fed Philadelphia, menyatakan bahwa suku bunga acuan mungkin masih akan bertahan rendah dalam waktu yang cukup lama. Namun soal penggelontoran likuiditas atau quantitative easing, mungkin sudah saatnya mulai dikurangi.
"Kami berencana untuk mempertahankan Federal Funds Rate tetap rendah untuk jangka waktu lama. Namun mungkin sudah saatnya untuk setidaknya berpikir mengenai pengurangan pembelian surat berharga yang sekarang bernilai US$ 120 miliar per bulan," ungkap Harker, juga dikutip dari Reuters.
Pandemi belum sepenuhnya usai, dan dalam waktu tidak lama lagi mungkin masalah baru bakal hadir. Namanya adalah taper tantrum. Pengetatan kebijakan moneter di AS yang kemudian mempengaruhi seluruh dunia.
Taper tantrum kali terakhir terjadi pada 2013-2015. Saat itu, ekonomi AS yang mulai pulih dari krisis akibat sub-prime mortgage membuat The Fed membuka wacana untuk mulai melakukan pengetatan (tapering off).
Baru sebatas wacana saja dunia sudah kalang-kabut. Arus modal berbondong-bondong menyerbu pasar keuangan AS, karena ada harapan cuan dari kenaikan suku bunga. Akibatnya, dolar AS menguat luar biasa dan mata uang dunia anjlok.
Dollar Index, yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia, melesat 13,57% secara point-to-point pada awal 2013 hingga akhir 2015. Akibatnya, rupiah melemah 47,37% dalam periode tersebut. Rupiah yang awalnya masih di bawah Rp 10.000/US$ terdepresiasi hingga ke atas Rp 14.000/US$.
![]() |
Besarnya dampak taper tantrum ke Indonesia membuat para pengambil kebijakan mulai waspada. Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, hingga Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mulai bicara soal ancaman taper tantrum.
"Tahun depan, kami memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan bahwa The Fed akan mulai mengubah kebijakan moneternya. Mulai mengurangi intervensi likuiditas bahkan melakukan lakukan pengetatan dan kenaikan suku bunga," kata Perry.
"Inflasi di akan jadi penentu stance monetary policy tahun ini dan tahun depan," tambah Sri Mulyani.
Kalau melihat data ekonomi AS yang kinclong dan para pejabat The Fed yang mulai membuka wacana soal pengetatan, maka kecemasan Perry dan Sri Mulyani itu adalah ancaman yang sangat nyata. Indonesia tidak boleh lengah, harus selalu waspada.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
