Isu Taper Tantrum Bikin Rupiah Gagal Menguat Hari Ini?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 June 2021 15:30
Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Namun di pasar spot, rupiah harus puas finis dengan stagnasi.

Pada Rabu (2/6/2021), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.276. Rupiah menguat 0,11% dibandingkan posisi sebelum libur Hari Kelahiran Pancasila.

Sementara di perdagangan pasar spot, mata uang Tanah Air tidak melemah atau menguat. Kala penutupan pasar, US$ 1 setara dengan Rp 14.275, stagnan alias tidak berubah dari posisi penutupan sebelumnya.

Kala pembukaan pasar, rupiah berada di Rp 14.230/US$, menguat 0,32%. Seiring perjalanan pasar, penguatan rupiah terus tergerus sampai habis.

Posisi terkuat rupiah adalah Rp 14.230/US$ yaitu saat 'lapak' dibuka. Sementara posisi terlemahnya adalah Rp 14.285/US$.

Hari ini, hampir seluruh mata uang utama Benua Kuning 'melempem' di hadapan dolar AS. Hanya baht Thailand yang menguat, itu pun tipis saja. Oleh karena itu, sebenarnya rupiah tidak jelek-jelek amat karena masih menjadi runner-up Asia.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia di perdagangan pasar spot pada pukul 15:05 WIB:

Halaman Selanjutnya --> Risiko Taper Tantrum Kian Nyata?

Apa mau dikata, dolar AS memang sedang perkasa. Tidak cuma di Asia, tetapi di level dunia. Pada pukul 13:22 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,14%.

Keperkasaan dolar AS disebabkan oleh rilis data ekonomi terbaru di Negeri Paman Sam.IHS Markit melaporkan, aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers' Index (PMI) pada Mei 2021 berada di 62,1. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 60,5 dan menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah pencatatan yang dimulai 14 tahun lalu.

Data ini menambah panjang daftar indikator yang membuktikan ekonomi Negeri Stars and Stripes pulih dengan cepat setelah terhantam oleh pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Saat ekonomi pulih, maka laju inflasi AS akan terakselerasi seiring tarikan permintaan yang begitu kuat (demand pull inflation).

Ketika laju inflasi semakin cepat karena pemulihan ekonomi, bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) tentu bakal mengambil langkah. Kebijakan moneter yang sekarang ultra-longgar bisa saja mulai diketatkan.


Beberapa pejabat teras The Fed mulai membuka wacana soal pengetatan. Randal Quarles, Kepala Dewan Stabilitas Keuangan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed), mengungkapkan bukan tidak mungkin wacana pengetatan mulai dibuka dalam beberapa bulan ke depan.

"Kita perlu bersabar. Jika perkiraan saya bahwa seputar pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan inflasi mulai terbukti, bahkan semakin kuat, maka menjadi penting bagi kami untuk mulai mendiskusikan tentang penyesuaian besaran pembelian aset dalam rapat-rapat selanjutnya," papar Quarles, sebagaimana diwartakan Reuters.

Saat ini, The Fed memborong obligasi pemerintah Negeri Adidaya sekira US$ 120 miliar setiap bulannya. Ini akan terus dilakukan sepanjang inflasi belum terlihat berada di kisaran 2% secara konsisten dan penciptaan lapangan kerja yang maksimal (maximum employment).

Tidak hanya Quarles, Wakil Ketua The Fed Richard Clarida pun menegaskan bahwa pihaknya siap untuk mengatasi risiko percepatan laju inflasi. Clarida memastikan The Fed akan membuat transisi ekonomi semulus mungkin (soft landing).

"Saat aktivitas ekonomi lebih dibuka lagi, maka tekanan harga akan mereda dengan sendirinya. Namun apabila tekanan harga ternyata lebih persisten dan mengancam mandat kami, maka kami akan melakukan sesuatu," sebut Richard Clarida, Wakil Ketua The Fed, dalam wawancara dengan Yahoo Finance.

Ketika The Fed mengurangi gelontoran quantitative easing, maka likuiditas dolar AS menjadi berkurang. Setiap negara bakal berebut dolar AS, permintaannya meningkat sehingga nilai tukarnya menguat.

Belum lagi bicara kalau The Fed sampai menaikkan suku bunga acuan. Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerak imbal hasil (yield) obligasi sehingga menjadi lebih menarik. Apalagi obligasi yang dimaksud adalah surat utang pemerintah AS. Sudah super duper aman, cuan pula.

Inilah yang disebut dengan tapering atau pengetatan. Taper tantrum yang menjadi 'monster' di perekonomian dunia pada 2013-2015, sepertinya akan datang kembali tidak lama lagi.

Perkembangan ini membuat investor memilih bermain aman dan menghindari aset-aset bersiiko. Jadi, wajar saja rupiah agak sulit berbuat banyak.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular