
Baru Bisa Menguat Jelang Tutup Lapak, Ada Apa dengan Rupiah?

Investor semakin memikirkan soal ekonomi AS yang terus membaik. Pada pekan yang berakhir 22 Mei 2021, jumlah klaim tunjangan pengangguran turun 38.000 menjadi 406.000. Ini adalah jumlah klaim terendah sejak Maret tahun lalu. Perlahan tetapi pasti, pasar tenaga kerja AS bangkit menuju normal sebelum terhantam pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).
Kemudian ada data pemesanan barang modal non-pertahanan kecuali pesawat terbang. Ini disebut pemesanan barang modal inti (core-capital goods) yang memberi gambaran soal rencana bisnis korporasi.
Pada April 2021, pemesanan barang modal inti naik 2,3% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Lebih tinggi ketimbang pertumbuhan Maret 2021 yaitu 1,6% mtm dan menjadi yang terbaik sejak Juli 2020.
Akhir pekan lalu, US Bureau of Economic Analysis merilis data Personal Consumption Expenditure (PCE). Ini adalah data yang dijadikan acuan infasi oleh bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed).
Pada April 2021, PCE berada di 3,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy), tertinggi sejak September 2008. Kemudian PCE inti adalah 3,1% yoy, tertinggi setdaknya sejak 2004.
Ketika laju inflasi semakin cepat karena pemulihan ekonomi, The Fed diperkirakan bakal mengambil langkah. Kebijakan moneter yang sekarang ultra-longgar bisa saja mulai diketatkan.
Beberapa pejabat teras The Fed mulai membuka wacana soal pengetatan. Randal Quarles, Kepala Dewan Stabilitas Keuangan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed), mengungkapkan bukan tidak mungkin wacana pengetatan mulai dibuka dalam beberapa bulan ke depan.
"Kita perlu bersabar. Jika perkiraan saya bahwa seputar pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan inflasi mulai terbukti, bahkan semakin kuat, maka menjadi penting bagi kami untuk mulai mendiskusikan tentang penyesuaian besaran pembelian aset dalam rapat-rapat selanjutnya," papar Quarles, sebagaimana diwartakan Reuters.
Saat ini, The Fed memborong obligasi pemerintah Negeri Paman Sam sekira US$ 120 miliar setiap bulannya. Ini akan terus dilakukan sepanjang inflasi belum terlihat berada di kisaran 2% secara konsisten dan penciptaan lapangan kerja yang maksimal (maximum employment).
Tidak hanya Quarles, Wakil Ketua The Fed Richard Clarida pun menegaskan bahwa pihaknya siap untuk mengatasi risiko percepatan laju inflasi. Clarida memastikan The Fed akan membuat transisi ekonomi semulus mungkin (soft landing).
"Saat aktivitas ekonomi lebih dibuka lagi, maka tekanan harga akan mereda dengan sendirinya. Namun apabila tekanan harga ternyata lebih persisten dan mengancam mandat kami, maka kami akan melakukan sesuatu," sebut Richard Clarida, Wakil Ketua The Fed, dalam wawancara dengan Yahoo Finance.
Ketika The Fed mengurangi gelontoran quantitative easing, maka likuiditas dolar AS menjadi berkurang. Setiap negara bakal berebut dolar AS, permintaannya meningkat sehingga nilai tukarnya menguat.
Belum lagi bicara kalau The Fed sampai menaikkan suku bunga acuan. Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerak imbal hasil (yield) obligasi sehingga menjadi lebih menarik. Apalagi obligasi yang dimaksud adalah surat utang pemerintah AS. Sudah super duper aman, cuan pula.
Perkembangan ini membuat dolar AS berada di atas angin. Jadi, wajar saja rupiah agak sulit berbuat banyak.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
