Pada Senin (31/5/2021), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.292. Rupiah menguat 0,13% dibandingkan posisi akhir pekan lalu.
Sementara di pasar spot, rupiah mampu finis di jalur hijau. Kala penutupan pasar, rupiah berada di Rp 14.275/US$, terapresiasi 0,04%.
Saat 'lapak' dibuka, rupiah stagnan di Rp 14.280/US$. Selepas itu, rupiah menjalani sebagian besar hari di zona merah, bahkan sempat melemah ke Rp 14.300/US$.
Akan tetapi beberapa menit jelang pasar tutup, rupiah berhasil memperbaiki nasib. Depresiasi rupiah terus tergerus, akhirnya habis dan rupiah mampu berbalik menguat saat penutupan pasar.
Rupiah tidak sendiri. Berbagai mata uang utama Asia juga tidak mampu menguat di hadapan dolar AS, hanya rupee India dan peso Filipina yang masih melemah.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning di perdagangan pasar spot pada pukul 15:04 WIB:
Apa yang membuat rupiah 'terengah-engah' dan baru mampu menghijau jelang penutupan pasar?
Well, Faktor domestik dan eksternal kurang kondusif buat mata uang Tanah Air. Dari dalam negeri, rupiah tengah menjalani tren penguatan di hadapan mata uang Negeri Paman Sam. Sejak pekan keempat April 2021, rupiah terus menguat hingga pekan kedua Mei 2021.
Artinya, mata uang Merah Putih terapresiasi selama empat pekan beruntun. Selama empat pekan itu, penguatan rupiah mencapai 2,51%.
Ini menggambarkan bahwa rupiah menguat sangat tajam. Apresiasi lebih dari 2,5% bisa membuat pelaku pasar tergiur untuk mencairkan keuntungan.
Apalagi besok pasar keuangan Indonesia tutup memperingati Hari Kelahiran Pancasila. Jadi hari ini adalah momentum yang tepat untuk 'menyerok' cuan.
Kemudian, kebutuhan valas korporasi saat akhir bulan seperti sekarang masih tinggi. Ada keperluan pembayaran utang jatuh tempo, impor, dan sebagainya. Ini membuat rupiah rentan terpapar tekanan jual.
Halaman Selanjutnya ---> Investor Mulai Kurangi Porsi Aset Berisiko
Sementara dari sisi eksternal, dolar AS sedang 'balas dendam'. Pada pukul 13:13 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,2%.
Berkebalikan dengan rupiah, dolar AS sedang menjalani masa prihatin. Dalam sebulan terakhir, Dollar Index sudah terkoreksi 1,34%. Ini membuat dolar AS sudah 'murah' sehingga kembali menarik minat investor.
Setelah 'beringas' memburu aset-aset berisiko, pelaku pasar kini mulai menahan diri. Berdasarkan survei Reuters terhadap 35 fund managers di AS, Eropa, dan Jepang pada 10-27 Mei 2021, terlihat bahwa porsi saham dalam portofolio mereka mulai berurang.
Dalam survei tersebut, rata-rata porsi saham berada di 48,7%. Lebih rendah dibandingkan survei serupa bulan sebelumnya yang mencapai 49,8%, tertinggi dalam tiga tahun terakhir.
"Kita menghadapi lingkungan yang lebih berisiko. Volatilitas meningkat dan instrumen lain seperti obligasi mulai positif. Oleh karena itu, menjadi penting untuk tetap waspada dan mulai mencairkan keuntungan di aset-aset berisiko," sebut Pascal Blanque, Group Chief Investment Officer di Amundi yang berbasis di Paris (Prancis), seperti dikutip dari Reuters.
"Kami masih yakin bahwa keuntungan dari pasar saham tetap ada dalam jangka waktu setahun ke depan. Namun saat siklus ini sudah mapan, valuasi sudah tinggi, maka keuntungan itu akan mulai tergerus," tambah Craig Hoyda, Senior Quantitative Analyst di Aberdeen Standard Investments, juga dikutip dari Reuters.
Halaman Selanjutnya ---> Inflasi AS Kian Meninggi
Investor semakin memikirkan soal ekonomi AS yang terus membaik. Pada pekan yang berakhir 22 Mei 2021, jumlah klaim tunjangan pengangguran turun 38.000 menjadi 406.000. Ini adalah jumlah klaim terendah sejak Maret tahun lalu. Perlahan tetapi pasti, pasar tenaga kerja AS bangkit menuju normal sebelum terhantam pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).
Kemudian ada data pemesanan barang modal non-pertahanan kecuali pesawat terbang. Ini disebut pemesanan barang modal inti (core-capital goods) yang memberi gambaran soal rencana bisnis korporasi.
Pada April 2021, pemesanan barang modal inti naik 2,3% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Lebih tinggi ketimbang pertumbuhan Maret 2021 yaitu 1,6% mtm dan menjadi yang terbaik sejak Juli 2020.
Akhir pekan lalu, US Bureau of Economic Analysis merilis data Personal Consumption Expenditure (PCE). Ini adalah data yang dijadikan acuan infasi oleh bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed).
Pada April 2021, PCE berada di 3,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy), tertinggi sejak September 2008. Kemudian PCE inti adalah 3,1% yoy, tertinggi setdaknya sejak 2004.
Ketika laju inflasi semakin cepat karena pemulihan ekonomi, The Fed diperkirakan bakal mengambil langkah. Kebijakan moneter yang sekarang ultra-longgar bisa saja mulai diketatkan.
Beberapa pejabat teras The Fed mulai membuka wacana soal pengetatan. Randal Quarles, Kepala Dewan Stabilitas Keuangan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed), mengungkapkan bukan tidak mungkin wacana pengetatan mulai dibuka dalam beberapa bulan ke depan.
"Kita perlu bersabar. Jika perkiraan saya bahwa seputar pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan inflasi mulai terbukti, bahkan semakin kuat, maka menjadi penting bagi kami untuk mulai mendiskusikan tentang penyesuaian besaran pembelian aset dalam rapat-rapat selanjutnya," papar Quarles, sebagaimana diwartakan Reuters.
Saat ini, The Fed memborong obligasi pemerintah Negeri Paman Sam sekira US$ 120 miliar setiap bulannya. Ini akan terus dilakukan sepanjang inflasi belum terlihat berada di kisaran 2% secara konsisten dan penciptaan lapangan kerja yang maksimal (maximum employment).
Tidak hanya Quarles, Wakil Ketua The Fed Richard Clarida pun menegaskan bahwa pihaknya siap untuk mengatasi risiko percepatan laju inflasi. Clarida memastikan The Fed akan membuat transisi ekonomi semulus mungkin (soft landing).
"Saat aktivitas ekonomi lebih dibuka lagi, maka tekanan harga akan mereda dengan sendirinya. Namun apabila tekanan harga ternyata lebih persisten dan mengancam mandat kami, maka kami akan melakukan sesuatu," sebut Richard Clarida, Wakil Ketua The Fed, dalam wawancara dengan Yahoo Finance.
Ketika The Fed mengurangi gelontoran quantitative easing, maka likuiditas dolar AS menjadi berkurang. Setiap negara bakal berebut dolar AS, permintaannya meningkat sehingga nilai tukarnya menguat.
Belum lagi bicara kalau The Fed sampai menaikkan suku bunga acuan. Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerak imbal hasil (yield) obligasi sehingga menjadi lebih menarik. Apalagi obligasi yang dimaksud adalah surat utang pemerintah AS. Sudah super duper aman, cuan pula.
Perkembangan ini membuat dolar AS berada di atas angin. Jadi, wajar saja rupiah agak sulit berbuat banyak.
TIM RISET CNBC INDONESIA