
Ada Euforia & Mimpi Buruk Kalau Go To Masuk Bursa, Kok Bisa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana GoTo, perusahaan hasil merger Gojek dan Tokopedia untuk melangsungkan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI) terus bergulir dan cukup mendapat respons positif dari para pelaku pasar.
Chief Executive Officer (CEO) PT Elkoranvidi Indonesia Investama, Fendi Susiyanto mengatakan, jika IPO ini terealisir menjadi jawaban penawaran umum perdana saham dengan jumlah emisi jumbo setelah PT Adaro Energy Tbk (ADRO) yang menghimpun dana IPO sebesar Rp 12 triliun pada 2008 lalu, terbesar di BEI saat ini.
"GoTo IPO tentu saja akan menarik sekali para investor, investor sudah kehausan IPO gede, tidak banyak yang besar-besar IPO, ini fenomena," kata Fendi, dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, dikutip Selasa (25/5/2021).
Fendi menilai, opsi pencatatan saham dual listing (dua bursa sekaligus) di Indonesia dan bursa saham Amerika Serikat bisa menjadi opsi agar serapan IPO tersebut lebih maksimal. Hal ini juga dilakukan perusahaan teknologi besar yang melangsungkan IPO di dua bursa sekaligus.
"Yang tepat memang dual listing, misalnya Alibaba dua dua listing, karena gak cukup terserap dengan satu bursa, sama halnya dengan yang lain, ini menjadi suatu hal yang sangat fenomenal. GoTo akan menjadi IPO terbesar setelah Adaro," kata Fendi menambahkan.
Dia menilai, nilai penggabungan Gojek dan Tokopedia ditaksir akan mencapai Rp 200 triliun, maka jika GoTo melakukan IPO dan melepas 10% saja, maka target dana yang dihimpun bisa mencapai Rp 20 triliun. Ia menilai, hal ini akan memberi daya tarik bagi investor.
"Mekanisme IPO ini akan meningkatkan kredibilitas bursa kita, daya tarik investor domestik dan internasional. Kita melihat appetite cukup besar," ujarnya.
Mantan Head of Research & Strategic Supporting Services BNI Sekuritas ini juga menilai, bukan tak mungkin sejumlah modal ventura yang menjadi investor GoTo selama ini juga akan ikut menyerap IPO saham GoTo lewat pembelian ekuitas atau saham publik. Hal ini mengingat proyeksi pertumbuhan bisnis ekonomi digital di Indonesia masih berpeluang tumbuh ke depannya.
"Mereka tampaknya akan siap juga masuk ke ekuitas lewat IPO publik ini dan ini akan memudakan IPO dan menarik institusi lainnya juga melihat ini perusahaan baru yang punya ekosostem digital besar, payment digital, e-commerce, mereka calon investor tentu akan concern melakukan investasi," imbuh Fendi.
NEXT: Ada Mimpi Buruk Sektor Ini
Gelombang kekhawatiran pun mulai bermunculan. Rencana IPO yang akan dilakukan oleh raksasa startup GoTo ini dinilai berpotensi berdampak negatif ke beberapa sektor industri. Hal ini sudah terjadi di Amerika Serikat dan China, dan kemungkinan akan terjadi di pasar saham domestik.
Pengamat startup Yuswohady mengatakan perkembangan industri digital di Indonesia diperkirakan tidak akan berbeda jauh dengan AS dan China. Pasar saham berpotensi dikuasai saham-saham dari sektor teknologi dari berbagai macam startup.
"Dengan merger Gojek-Tokopedia, kini mulai tergambar jelas bagaimana wajah pasar digital Indonesia. Kira-kira tak beda jauh dari di AS di mana kue pasar dikuasai 'The Big Four' yakni Google, Amazon, Facebook, Apple. Atau di China yang dikuasai 'The Big Five' yakni Alibaba, Tencent, Baidu, ByteDance, JD," tulis Yuswohady dalam ulasannya kepada CNBC Indonesia.
Dia menyebut, munculnya raksasa macam ini juga akan munculnya perusahaan teknologi raksasa yang dinilai akan 'mengebiri' startup-startup lain dengan cara mencaploknya dan memasukkannya dalam ekosistem bisnisnya.
Jika menolak, maka para raksasa ini akan melakukan kloning startup tersebut sehingga lama-lama mematikannya.
Tujuannya dilakukan kegiatan seperti ini adalah untuk memperbesar kapitalisasi pasar (market cap) perusahaan dan memperbesar bisnisnya. Dalam industri venture capital fenomena ini dikenal sebagai kill zone dengan melakukan predatory tactics.
Pakar pemasaran ini mencontohkan seperti yang terjadi pada Facebook yang mencaplok WhatsApp serta Instagram. Snapchat malah menolak untuk dicaplok sehingga Facebook mengkloning fitur dari aplikasi ini di dua startup lain yang dicaploknya dan kemudian perlahan mematikan Snapchat.
Lainnya seperti yang dilakukan oleh Google terhadap Picasa, yang kemudian mengganti namanya menjadi Google Photo.
"Gampang ditebak, predatory tactics 'eat and kill' inilah yang bakal dijalankan GoTo untuk menggurita dan mengerek market cap," tulis mantan Sekretaris Jenderal Indonesia Marketing Association (IMA) ini.
"Praktek ini akan menjadi mimpi buruk bagi tumbuh dan berkembangnya startup di Indonesia. Ia akan mengebiri perkembangan startup."
"Ia akan menciptakan kill zone yaitu zona or area bisnis yang tak mungkin dimasuki startup baru karena pasti terkena praktek predatory mereka. Semakin menggurita, maka kill zone kian luas sehingga tak ada ruang bagi startup untuk hidup dan berkembang," tandasnya
Valuasi Mahal
Kritikan juga datang dari investor saham ritel paling sukses di Tanah Air yakni Lo Kheng Hong. Dia bahkan menyebutkan dirinya tidak tertarik untuk membeli saham-saham dari perusahaan teknologi yang akan melantai di bursa saham RI, termasuk sejumlah perusahaan teknologi semacam GoTo, Traveloka, Bukalapak, dan sebagainya.
Pemilik saham PT Petrosea Tbk (PTRO), PT Mitrabahtera Segara Sejati Tbk (MBSS), PT Global Mediacom Tbk (BMTR), dan PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL) ini mengatakan alasannya karena valuasi perusahaan teknologi dinilai sangat tinggi.
Valuasi itu tidak sejalan dengan kinerja perusahaan yang masih merugi. Valuasi itu tergambar dari price to book value (PBV) dan price to earnings ratio (PER).
PBV adalah metode valuasi yang membandingkan nilai buku suatu emiten dengan harga pasarnya. Semakin rendah PBV biasanya perusahaan akan dinilai semakin murah. Secara Rule of Thumb, PBV akan dianggap murah apabila rasionya berada di bawah angka 1 kali.
Sedangkan PER juga merupakan metode valuasi yang membandingkan laba bersih per saham dengan harga pasarnya.
Pria yang dijuluki Warren Buffett Indonesia ini bahkan memberi contoh dua emiten saham teknologi yang sedang naik daun, yaitu PT Bank Jago Tbk. (ARTO) milik Grup Northstar, Gojek, dan kelompok bisnis Jerry Ng, serta saham Tesla Inc. milik salah satu orang terkaya di dunia. Elon Musk.
Dalam video yang diunggah dalam akun Instagram @lukas_setiaatmaja, Lo Kheng Hong memaparkan bahwa dia adalah seorang investor yang konservatif dan masih melihat kinerja fundamental perusahaan sebagai landasannya untuk berinvestasi.
"Mana mungkin saya beli perusahaan teknologi yang valuasinya bisa 10 kali nilai buku, perusahaan masih rugi, untungnya masih negatif. Seperti Bank Jago [saham ARTO], perusahaan digital, mungkin PBV (price to book value) 90 kali. Saya ga ngikutin, masih rugi, aset juga masih Rp 1 triliun lebih ya ga mungkin saya membeli," kata dia dalam video tersebut.
Mengacu data Bursa Efek Indonesia, saham ARTO memang tengah diburu investor lantaran diprediksi bakal meraup keuntungan lewat ekosistem yang terbangun hasil merger Gojek dan Tokopedia dengan nama entitas induk yakni GoTo Group.
Gojek melalui PT Dompet Karya Anak Bangsa atau GoPay memiliki 21,04% saham ARTO per 30 April 2021. Selain itu, Gojek melalui PT Pradipa Darpa Bangsa memiliki 4,76 persen saham PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) atau emiten pengelola Hypermart.
Bank Jago sebetulnya masih membukukan rugi sampai dengan kuartal I/2021 yakni sebesar Rp 38,13 miliar, rugi yang dialami perseroan sejak 2015. Namun pada tahun ini, manajemen menargetkan perseroan dapat mencetak laba bersih sebesar Rp 50 miliar.
Saat ini rasio PBV Bank Jago memang sudah mencapai 17,31 kali, melebihi PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) 4,38 kali dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), 2,41 kali.
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article GOTO Pede Mau Buyback Saham, Ternyata Ini Alasannya!
