'Kebakaran' Makin Luas, Giliran Bursa Eropa Merah Membara!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 May 2021 15:34
Bursa Eropa jerman Frankfurt
Foto: Bursa Eropa (AP Photo/Michael Probst)

Jakarta, CNBC Indonesia - Diawali di Wall Street, 'kebakaran' di bursa saham dunia terus menjalar. Bursa saham Asia sudah, kini giliran Eropa yang merah membara.

Pada Kamis (13/5/2021) pukul 15:13 WIB, berikut perkembangan indeks saham utama Benua Biru:

Semua berawal di New York. Dini hari tadi waktu Indonesia, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup merosot 1,99%. Sementara S&P 500 ambles 2,14% dan Nasdaq Composite ambrol 2,67%.

Penyebabnya adalah laju inflasi di Amerika Serikat (AS) yang semakin terakselerasi. Pada April 2021, Kementerian Perdagangan AS melaporkan laju inflasi secara bulanan (month-to-month/mtm) adalah 0,8%. Ini adalah yang tertinggi sejak Juni 2009.

Sementara secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi Negeri Paman Sam berada di 4,2%. Ini adalah yang tertinggi sejak September 2008.

Inflasi disebabkan oleh permintaan konsumen yang membludak seiring Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden dan masifnya vaksinasi anti-virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Namun di sisi lain, dunia usaha belum siap sehingga produksi masih terbatas. Akibatnya ya harga pasti naik, inflasi namanya,

"Ini adalah tanda bahwa kita punya masalah inflasi. Dunia usaha punya kemampuan untuk meningkatkan kapastias, hanya butuh waktu untuk membuatnya kembali normal," kata Robert Barbera, Direktur di Johns Hopkins University Center for Financial Economics, seperti dikutip dari Reuters.

Ketika laju inflasi terus terakselerasi secara stabil, maka bank sentral tidak bisa tinggal diam, termasuk The Federal Reserve/The Fed. Oleh karena itu, pelaku pasar kembali berani bertaruh bahwa The Fed bakal menaikkan suku bunga acuan lebih cepat, tidak 2023 seperti yang diperkirakan sebelumnya.

Mengutip CME FedWatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 0,25-0,5% pada akhir tahun ini adalah 8,8%. Lebih tinggi ketimbang posisi sebulan lalu yakni 6%.

fedSumber: CME FedWatch

"Ditambah dengan kenaikan gaji per jam, inflasi tinggi mungkin akan lebih awet dari perkiraan The Fed," ujar David Kelly, Chief Global Strategist di JPMorgan Asset Management yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.

Kenaikan suku bunga tidak bersahabat bagi bursa saham. Sebab saat suku bunga naik, emiten harus membayar biaya lebih banyak untuk melakukan ekspansi. Laba emiten bakal tergerus, sehingga sahamnya kurang menarik untuk dikoleksi.

Sebaliknya, kenaikan suku bunga akan membuat aset lain lebih 'seksi' yaitu yang berpendapatan tetap seperti obligasi. Sebab, investor tentu akan mencari kompensasi dari imbalan yang tergerus inflasi sehingga akan mendorong yield ke atas.

So, tidak heran bursa saham New York 'karam'. Merahnya Wall Street kemudian menular ke Asia, dan kini ke Eropa. Sungguh bukan hari yang nyaman bagi investor di pasar saham.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular