Rupiah Sudah 3 Minggu Mem-Bully Dolar AS! Belum Puas, Mas?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 May 2021 09:20
rupiah, bi
Ilustrasi Rupiah (REUTERS/Willy Kurniawan)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot pagi ini. Data ketenagakerjaan yang dirilis akhir pekan lalu masih membebani langkah mata uang Negeri Paman Sam sehingga rupiah bisa menyalip.

Pada Senin (10/7/2021), US$ 1 dihargai Rp 14.120 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat tajam 1,12% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.

Sepanjang pekan kemarin, rupiah menguat 1,11% di hadapan dolar AS. Apresiasi rupiah terhadap greenback sudah terjadi selama tiga pekan beruntun. Selama tiga pekan tersebut, penguatan rupiah mencapai 1,92%.

Hari ini, tren itu sepertinya bakal berlanjut. Pasalnya, dolar AS masih belum bisa lepas dari nestapa.

Pada pukul 07:38 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,01%. Dalam sebulan terakhir, indeks ini anjlok 2,11%.

Akhir pekan lalu, data ketenagakerjaan AS memberi kejutan. Pada April 2021, ekonomi AS menciptakan 266.000 lapangan kerja non-pertanian. Jauh lebih sedikit ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 978.000.

Selain itu, angka penciptaan lapangan kerja non-pertanian (non-farm payroll) periode Maret 2021 juga direvisi. Awalnya mencapai 916.000 (tertinggi sejak Agustus 2020) menjadi 777.000.

Penciptaan tenaga kerja yang kurang maksimal membuat angka pengangguran Negeri Stars and Stripes naik. Pada Maret 2021, tingkat pengangguran adalah 6% dan bulan selanjutnya naik menjadi 6,1%.

"Data ini menggarisbawahi betapa pentingnya kebijakan (stimulus fiskal) yang kami ambil. Upaya kita mulai membuahkan hasil, tetapi pendakian masih curam dan jalan kita masih panjang," tegas Joseph 'Joe' Biden, Presiden AS, seperti diberitakan Reuters.

Data ini menggambarkan bahwa masih ada 8.2 juta rakyat AS yang kehilangan mata pencarian gara-gara pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) dan belum mendapat pekerjaan lagi. Janet Yellen, Menteri Keuangan AS, menilai warga masih ragu untuk beraktivitas di luar rumah karena khawatir tertular virus corona.

"Sepertinya yang terlihat adalah masyarakat belum siap untuk kembali ke pasar tenaga kerja. Ini bukan soal tunjangan pengangguran yang ditambah, faktor itu saya rasa tidak membuat perbedaan," kata Yellen, sebagaimana diwartakan Reuters.

Perkembangan ini menegaskan bawah memang betul perekonomian Negeri Adidaya perlahan-lahan sudah mulai bangkit. Namun jalannya masih tertatih-tatih, belum bisa berlari.

Oleh karena itu, ekonomi AS tidak hanya membutuhkan stimulus fiskal tetapi juga moneter. Salah satunya adalah suku bunga rendah. So, kemungkinan besar bank sentral AS (The Federal Reserve.The Fed) tetap akan menahan suku bunga acuan ultra rendah mendekati 0% dalam waktu yang cukup lama, mungkin hingga 2023 seperti yang diperkirakan sebelumnya.

Rilis data ketenagakerjaan terbaru membuat pelaku pasar ciut nyali untuk bertaruh The Fed bakal menurunkan suku bunga acuan tahun ini. Mengutip CME FedWatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 0,25-0,5% pada akhir 2020 adalah 9,8%. Sebelumnya, pasar menilai peluangnya menembus dua digit.

fedSumber: CME FedWatch

Saat suku bunga rendah, imbalan berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS (terutama instrumen berpendatan tetap seperti obligasi) akan ikut rendah. Ini membuat permintaan terhadap US Treasury Bonds/Bills menjadi berkurang, otomatis juga mengurangi permntaan terhadap dolar AS. Minimya peminat akan membuat dolar AS belum bisa lepas dari tren depresiasi.

"Tren depresiasi dolar AS kemungkinan masih berlanjut pekan ini. Pemulihan ekonomi AS yang berjalan lambat akan menegaskan posisi The Fed untuk bersabar terkait perubahan kebijakan moneter," sebut Kim Mundy, Strategist Commonwealth Bank of Australia, dalam risetnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular