Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai transaksi saham di Bursa Efek Indonesia sepanjang Mei diproyeksikan masih cenderung terbatas. Kondisi ini disebabkan pelaku pasar masih cenderung wait and see terhadap publikasi laporan keuangan emiten dan momen libur Hari Raya Idul Fitri.
Senior Information Mirae Asset Sekuritas, Martha Christina, memprediksi laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Mei ini akan melaju pada rentang 5.883-6.115. Proyeksi IHSG itu didasari oleh prediksi secara teknikal yaitu batas bawah (support) 5.883/5.735 serta batas atas (resistant ) 6.115/6.281.
"IHSG akan bergerak konsolidasi dalam tren downtrend. Mei, adanya Lebaran menyebabkan volume transaksi lebih turun dari bulan sebelumnya," kata Martha, Kamis (6/5/2021).
Menurut Martha, nilai transaksi saham yang diprediksi turun itu sejalan dengan tren penurunan rata-rata transaksi harian. Sebagai gambaran, rerata nilai transaksi April berada pada Rp 9,42 triliun dan sudah turun menjadi Rp 9,14 triliun sejak awal bulan ini. Angka itu turun dari rata-rata Januari-Maret Rp 15,69 triliun per hari.
Meski demikian, ada sejumlah katalis yang berpotensi menggerakkan laju IHSG pada Mei ini, antara lain, angka pertumbuhan ekonomi, data manufaktur dari manufacturing PMI yang menunjukkan perbaikan masih menjadi penunjang prospek ekonomi.
Selain itu, katalis positif lainnya juga datang dari membaiknya sejumlah harga komoditas seiring ekspektasi pemulihan ekonomi AS dan China. Namun, investor masih akan tetap memperhatikan kasus penyebaran Covid-19 dan sudah berjalannya program vaksinasi di tanah air.
Di sisi lain, lanjutnya, faktor kasus baru Covid-19 domestik setelah libur panjang Lebaran berpotensi menjadi katalis negatif. Namun, jika angka Covid-19 masih stabil dan tidak mengalami kenaikan berarti karena pembatasan mudik yang berhasil oleh pemerintah, maka faktor itu dapat beralih menjadi faktor positif bagi pergerakan pasar saham.
Untuk sektor pilihan bulan ini, Martha dan Tim Investment Information Mirae Asset Sekuritas memilih sektor barang konsumsi primer seperti PT Japfa Comfeed Tbk (JPFA) dan PT Malindo Feddmill Tbk (MAIN).
Di sektor properti ada PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), PT Ciputra Development Tbk (CTRA) dan PT Pakuwon Jati Tbk (PWON).
Sektor bahan baku, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Timah Tbk (TINS), dan beberapa pilihan lainnya, yakni PT AKR Corporindo Tbk (AKRA), PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN), PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) dan PT Mitra Pinashtika Mustika Tbk (MPMX).
Pada kesempatan yang sama, Dhian Karyantono, Fixed Income Analyst Mirae Asset Sekuritas, juga memprediksi faktor makroekonomi yang positif tadi dapat mengangkat harga obligasi pemerintah (surat berharga negara/SBN) sekaligus menurunkan tingkat imbal hasilnya (yield) di pasar.
Dia memprediksi hingga Juni, harga SBN tenor acuan 10 tahun dapat naik dan menurunkan yield-nya hingga di bawah 6% pada kuartal III/2021. Saat ini, lanjutnya, harga SBN acuan 10 tahun sudah turun sejak awal tahun dan membuat yield-nya naik hingga di kisaran 6,5%.
Pergerakan harga dan yield obligasi di pasar sekunder saling bertolak belakang, dan yield juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
Dhian juga memprediksi kondisi makroekonomi global khususnya yang dipicu kekhawatiran inflasi di AS sempat memicu kenaikan yield obligasi pemerintah AS (US Treasury), menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dan menaikkan indikator risiko Indonesia (CDS).
"Namun, Bank Indonesia masih memiliki ruang untuk melonggarkan kebijakan moneter mengingat dua hal utama yaitu inflasi domestik yang masih rendah serta terkendalinya defisit neraca berjalan (CAD)," ujar Dhian.
Sebelumnya, harga US Treasury tenor acuan 10 tahun turun dan sempat membuat yield-nya naik hingga menembus 1,76% pada akhir Maret dan saat ini sudah mereda dan berada pada kisaran 1,6%.
Menueurnya, saat ini harga SBN acuan 10 tahun sudah turun sejak awal tahun dan membuat yield-nya naik sekitar 63 basis poin (bps) sejak awal tahun hingga sekarang di kisaran 6,5%. Meski yield SBN naik, penerbitan obligasi korporasi di dalam negeri relatif meningkat sejak awal tahun.
Kenaikan yield SBN tersebut masih lebih kecil daripada rerata kenaikan yield obligasi pemerintah kategori layak investasi (investment grade) dunia yang naik sebesar 82 bps dan kategori non-investment grade yang rata-rata kenaikannya mencapai 352 bps. Hitungan 100 basis poin (bps) setara dengan 1%.