Senja Kala Ritel: Matahari Mau Tutup 13 Gerai, Centro Cabut!

Monica Wareza, CNBC Indonesia
27 April 2021 14:20
Matahari Department Store
Foto: Matahari Department Store (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sektor gerai ritel tengah tertekan di tengah pandemi Covid-19. Kali ini menimpa emiten ritel milik Grup Lippo, PT Matahari Departement Store Tbk (LPPF) yang berencana menutup 13 gerainya pada tahun ini.

Berdasarkan keterangan kepada CNBC Indonesia, Sekretaris Perusahaan Matahari Department Store, Miranti Hadisusilo, menjelaskan bahwa 13 gerai yang dimaksud saat ini memang belum ditutup, kendati memang direncanakan ditutup.

"Bahwa 13 gerai yang ditutup, sampai saat ini belum ditutup, tapi memang rencana akan ditutup di 2021," kata Miranti kepada CNBC Indonesia, Selasa ini (27/4/2021).

Mengacu pada laporan kuartalan, hingga Q1-2021, perusahaan mengoperasikan 147 gerai, jumlahnya sama dengan posisi 31 Desember 2020. Jumlah itu terbagi di Sumatera 28, Jawa 86, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku 28 dan wilayah lainnya 5 gerai.

Dari 147 gerai tersebut terdapat 124 gerai reguler dan 23 gerai dalam pengawasan. Sementara itu selama Q1, Matahari dijadwalkan menutup 13 gerai tahun ini, dan masih ada 10 gerai yang dalam pengawasan untuk kemungkinan ditutup.

Paparan Publik LPPF Q1-2021Foto: Paparan Publik LPPF Q1-2021
Paparan Publik LPPF Q1-2021

Meski demikian, ada satu gerai baru dibuka pada April ini yakni di Balikpapan Ocean Square.

Dari sisi kinerja, Matahari juga masih membukukan rugi bersih mencapai Rp 95,35 miliar pada kuartal I-2021, bengkak 1,49% dari periode yang sama tahun lalu yang juga rugi bersih Rp 93,95 miliar.

Berdasarkan laporan keuangan LPPF, rugi bersih itu terjadi di tengah penurunan pendapatan pengelola gerai Matahari Departement Store ini. Total pendapatan bersih turun 25,16% menjadi Rp 1,16 triliun pada 3 bulan pertama tahun ini, dari periode yang sama tahun lalu Rp 1,55 triliun.

Secara rinci, pendapatan itu terdiri dari penjualan eceran turun 24% jadi Rp 741,40 miliar dari sebelumnya Rp 976,77 miliar, penjualan konsinyasi bersih turun menjadi Rp 416,01 miliar dari Rp 535,36 miliar, dan pendapatan jasa juga anjlok jadi Rp 4,83 miliar dari sebelumnya Rp 37,04 miliar.

Selanjutnya, manajemen LPPF, dalam penjelasan di lapkeu Q1, menjelaskan selama tahun 2021 dan 2020, Grup menerima konsesi sewa akibat dampak pandemi Covid-19 dalam bentuk potongan biaya sewa dan pembayaran variabel sementara tanpa pembayaran minimum.

"Di 2021, Covid-19 masih membawa dampak bagi seluruh sektor di dunia termasuk bagi Grup. Di tengah program vaksinasi yang sedang berjalan, kegiatan masyarakat mulai meningkat meski masih diliputi ketidakpastian," tulis manajemen LPPF.

"Meskipun aktivitas masyarakat meningkat, namun berlanjutnya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) oleh pemerintah berdampak pada jumlah kunjungan pelanggan dan jam operasional yang belum kembali seperti pada masa pra-pandemi," tulis Matahari.

Sebab itu, kondisi tersebut berdampak pada SSSG (pertumbuhan penjualan toko yang sama) sebesar negatif 22,3% dan kerugian bersih sebesar Rp 95,35 miliar untuk periode 3 bulan yang berakhir pada 31 Maret 2021.

Pada kuartal pertama tahun 2021, Grup telah mengambil sejumlah langkah sebagai antisipasi atas dampak situasi tersebut antara lain mempersiapkan persediaan untuk penjualan momen Ramadan dan Lebaran secara berhati-hati, menggulirkan program pemasaran Ramadan dan Lebaran lebih awal, dan memastikan kecukupan likuiditas dengan pinjaman bank sebesar Rp 480 miliar pada akhir Maret 2021, dan mendapatkan tambahan lokasi bazar baru.

Adapun tantangan-tantangan berikut ini di luar kendali Grup dan dapat memberikan dampak buruk terhadap kinerja keuangan dan kemampuan Grup dalam mempertahankan kelangsungan usahanya.

Beberapa tantangan itu yakni pandemi Covid yang terus berlangsung mengakibatkan pertumbuhan ekonomi negatif dan menurunkan daya beli pelanggan, kebijakan pemerintah tentang pembatasan aktivitas sosial untuk menurunkan kasus Covid yang berakibat rendahnya kunjungan pelanggan ke toko-toko Grup.

"Grup telah membuat beberapa skenario stress test dengan berbagai asumsi tingkat penjualan di tahun 2021. Dampak dari skenario-skenario tersebut telah ditinjau dengan membandingkan terhadap posisi proyeksi arus kas," tulis Matahari.

"Dari analisis di atas, terdapat ketidakpastian sehubungan dengan kejadian atau kondisi yang dapat menyebabkan keraguan signifikan atas kemampuan Grup untuk mempertahankan kelangsungan usahanya, sehingga ada kemungkinan terdapat ketidakmampuan dalam merealisasikan asetnya dan melunasi kewajibannya dalam kegiatan bisnis normal," tulis Matahari.

NEXT: Centro Angkat Kaki

Selain Matahari yang mengalami tekanan, dampak pandemi juga dirasakan emiten toko ritel lainnya yakni pengelola jaringan ritel Centro, PT Tozy Sentosa.

Gerai ritel Centro Department Store di Plaza Ambarrukmo, Yogyakarta, resmi tutup mulai Rabu (17/3/2021). Centro termasuk jaringan ritel milik Parkson Retail Asia Limited (Ltd) yang tercatat di Bursa Singapura (SGX), yang dikelola oleh Tozy Sentosa. Sementara di negeri jiran Malaysia, terafiliasi dengan Parkson Holdings Berhad yang tercatat di Bursa Malaysia.

Parkson Retail Asia Ltd didirikan pada 1987 silam. Dilansir dari laporan keuangan perusahaan per Juni 2020, Parkson adalah salah perusahaan bisnis ritel department store di kawasan Asia. Perusahaan ini pertama kali melantai di Bursa Singapura pada 3 November 2011.

Secara total, sampai 30 Juni tahun lalu perusahaan ini memiliki 61 gerai department stores, terdiri dari 42 gerai di Malaysia, 4 di Vietnam dan 15 di Indonesia.

Selain berfokus pada bisnis fashion, Parkson juga memperkenalkan outlet makanan dan minuman untuk melengkapi department stores mereka.

Per Juni 2020, UOB Kay Hian PTE LTD tercatat menjadi pemegang saham pengendali Parkson dengan jumlah saham 479.800.600 saham atau 71,21% dari porsi total saham perusahaan.

Kemudian, HSBC (Singapore) Nominees PTE LTD menguasai 4,95% saham atau 33.337.700 saham, Phillip Securities PTE LTD memegang 1,03% saham atau setara dengan 6.963.300 saham. Sisanya, saham Parkson dipegang oleh pemegang saham di bawah 1%.

Menurut laporan keuangan Juni 2020, Parkson membukukan pendapatan SG$ 269,33 juta atau setara Rp 2,88 triliun (kurs Rp 10.700/S$), turun dari SG$ 398,54 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Setali tiga uang, perusahaan masih membukukan rugi bersih SG$ 84,93 juta sampai Juni tahun lalu atau setara Rp 909 miliar. Angka tersebut lebih anjlok dari periode yang sama 2019, yakni rugi bersih sebesar SG$ 34,60 juta.

Kembali ke Tozy, setelah sebelumnya Centro di Plaza Ambarrukmo Yogyakarta, ditutup, kini toko dari grup yang sama juga dikabarkan terkena imbasnya, yakni Centro di Bintaro Xchange, Tangerang Selatan, Banten.

Tak hanya itu, tekanan datang berupa gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atas Tozy Sentosa yang diajukan sejumlah perusahaan yang diwakili oleh firma hukum milik Hotman Paris Hutapea, Law Firm Hotman Paris & Partners. Pengajuan PKPU ini telah diajukan sejak 3 Maret 2021.

Perkara ini terdaftar dengan nomor 106/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Jkt.Pst dan diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Penutupan gerai Centro di Plaza Ambarrukmo Yogyakarta dan Centro di Bintaro Xchange, Tangsel, Banten, ini pun menimbulkan kekhawatiran sektor ini kian tertekan.

"Ada kabar demikian [tutup], tapi masih menunggu informasi resminya [dari Centro]" kata Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonsus Widjaja kepada CNBC Indonesia.

Di sisi lain, Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah pun mengatakan peritel besar memang kesusahan untuk bertahan di masa pandemi, sehingga banyak yang menutup gerai karena mahalnya biaya operasional.

"Tadi yang disebutkan Centro dan Giant itu adalah big format. Kalau big format memang makin besar retail makin sulit karena kondisi tahun lalu belum bisa berproduksi maksimal sehingga tingkat traffic menurun, cost sewa mahal," jelasnya di program Closing Bell CNBC Indonesia.

Budi menjelaskan cash flow pelaku ritel tidak lagi seperti sebelum pandemi. Pemasukan tidak bisa didapat setiap hari, hanya hari-hari tertentu ada pembelian, sehingga pendapatannya menurun 50%-80% itu membuat strategi jangka pendek berantakan. Makanya masih dibutuhkan bantuan likuiditas dari pemerintah.

Sebab itu, momentum puasa dan lebaran diharapkan dapat meningkatkan konsumsi masyarakat, sehingga pendapatan dari ritel bisa terangkat sedikit di masa pandemi ini.

"Lebaran dan Puasa itu setiap tahun momentum besar bagi pedagang ritel untuk berjualan. Mau dari pedagang makanan, baju, sepatu elektronik, momen puasa lebaran harus dijaga untuk pemulihan ekonomi," katanya.

"Kalau ada pesanan barang takutnya tidak bisa terpenuhi, karena serba salah cash flow terganggu untuk melakukan penyetokan," jelas Budi.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular