Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Indonesia selama April tampak seperti lesu darah. Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada di rentang sempit dan belakangan sudah tiga hari mengalami koreksi.
Spekulasi awal yang diduga menjadi penyebab penurunan transaksi saham, adalah berpindahnya investor ritel ke aset kripto. Namun dugaan tersebut tampaknya kurang kuat, karena Badan Pengawas Perdagangan Komoditi (Bappebti) mencatat, nilai transaksi kripto hanya sebesar Rp 1,5 triliun per hari.
Sementara, ada pengurangan nilai transaksi yang cukup signifikan di bursa tanah air. Dari nilai transaksi Rp 20 triliun hingga Rp 25 triliun, saat ini tercatat pada kisaran Rp 8 triliun hingga Rp 10 triliun.
Salah satu sumber CNBC Indonesia mengatakan, salah satu penyebab nilai transaksi turun adalah masalah BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek yang saat ini sedanga ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Sumber tersebut menyebutkan, masalah ini membuat manajer investasi menahan diri untuk melakukan transaksi di saham.
"Kasus ini membuat investor MI-MI lokal takut untuk bertransaksi," kata sumber tersebut kepada CNBC Indonesia.
Apalagi setelah dana asing kabur, dana lokal seperti dana pensiun juga mulai takut berinvestasi di saham akibat kasus Jamsostek dimana floating loss dianggap sudah menyebabkan kerugian. Tak adanya dana institusi raksasa yang siap memborong saham menyebabkan indeks acuan terus terkoreksi akhir-akhir ini.
Seperti diketahui, Kejagung saat ini sudah melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi terkait dugaan tindak pidana korupsi pada pengelolaan keuangan dan dana investasi di BPJS Ketenagakerjaan. Pemeriksaan saksi dilakukan guna mencari fakta hukum dan mengumpulkan alat bukti tentang perkara dugaan tindak pidana korupsi pada pengelolaan keuangan dan dana investasi di BP Jamsostek.
Pihak BP Jamsostek juga sudah menjelaskan soal kebijakan pengeleloan investasi tersebut. Hingga saat ini, kasus ini masih dalam pemeriksaan Kejagung.
Selain itu, BP Jamsostek juga menyampaikan kebijakan akan mengurangi investasi di saham. Kebijakan ini diambil dalam rangka Asset Matching Liabilities (ALMA) Jaminan Hari Tua (JHT).
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo mengatakan nantinya porsi investasi tersebut akan dialihkan ke investasi obligasi atau investasi langsung. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir risiko pasar seperti yang terjadi belakangan ini.
"Kami lihat strateginya bisa melakukan perubahan dari saham dan reksa dana ke obligasi atau investasi langsung. Sehingga secara perlahan nanti kami akan rekomposisi aset yang ada untuk meminimalisir risiko pasar yang terjadi seperti saat ini," kata Anggoro dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR, Selasa (30/3/2021).
Hingga akhir Februari 2021, total dana kelolaan (asset under management/AUM) mencapai BP Jamsostek mencapai Rp 489,89 triliun. Dana tersebut ditempatkan oleh BP Jamsostek pada instrumen investasi yang beragam. Penjabarannya, 65% diinvestasikan pada instrumen obligasi, 14% pada saham dan 12% di deposito.
Selain kasus BP Jamsostek, sejumlah sentimen pasar lainnya juga ikut mempengaruhi perdagangan saham di BEI.
BERSAMBUNG KE HALAMAN BERIKUTNYA >>>>
Tren keluarnya institusi finansial asing dari Indonesia terus berlanjut. Terbaru Raksasa keuangan asal Amerika Serikat (AS) Citigroup memutuskan untuk mencabut layanan bisnis retail bankingnya dari 13 negara, termasuk Indonesia.
Bank tersebut sebaliknya akan mengoperasikan jasa perbankan konsumen di empat pusat keuangan dunia yaitu Singapura, Hong Kong, Uni Emirat Arab (UEA) dan London.
Langkah ini dianggap sebagai bagian dari tinjauan berkelanjutan atas strategi perusahaan oleh Chief Executive Officer Jane Fraser, yang mengambil alih bulan lalu.
"Ini memposisikan kami untuk menangkap pertumbuhan yang kuat dan pengembalian menarik yang ditawarkan bisnis manajemen kekayaan melalui pusat-pusat penting ini," kata Fraser dalam pernyataannya dikutip Jumat (16/4/2021).
Keluarnya Citi terjadi setelah sebelumnya Manajer Investasi asal Skotlandia, PT Aberdeen Standard Investments Indonesia bakal hengkang dari pasar keuangan Indonesia. Hal ini merupakan keputusan dari Standard Life Aberdeen (SLA) selaku ultimate beneficial shareholder perusahaan.
Berdasarkan pengumuman yang disampaikan perusahaan, dengan diputuskan untuk keluar dari Indonesia, maka perusahaan juga memutuskan untuk membubarkan reksa dana Aberdeen Standard Indonesia Bond Fund.
"Bahwa SLA sebagai penerima manfaat utama (ultimate beneficial shareholder) dari Manajer Investasi telah memutuskan rencana strategis untuk menutup kegiatan bisnis manajer investasi di Indonesia," tulis pengumuman yang dipublikasikan di media tersebut, dikutip Jumat (29/1/2021).
"Keputusan untuk keluar dari pasar Indonesia adalah bagian dari rencana perusahaan yang lebih luas untuk mengkonfigurasi ulang operasi global kami seputar strategi pertumbuhan kami," kata juru bicara Standard Life Aberdeen dalam email, dilansir Reuters.
"Ini akan memungkinkan kami untuk fokus pada prioritas strategis dan pasar inti kami," katanya
Dalam penutupan ini, Aberdeen Standard Investments Indonesia bermaksud untuk menutup tujuh reksa dana terbuka yang berdomisili lokal dan melikuidasi atau mentransfer tiga reksa dana terproteksi yang saat ini dikelola.
BERSAMBUNG KE HALAMAN BERIKUTNYA >>>>
Tren kaburnya institusi finansial asing ini tentu saja tak terlepas dari kinerja ekonomi dalam negeri yang kurang ciamik.
Bahkan terbaru Gubernur BI Perry Warjiyo bersama Deputi Gubernur Senior dan Anggota Dewan Gubernur lain dalam RDG BI edisi April 2021 merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dalam negeri pada 2021 menjadi 4,1-5,1%. Perkiraan tersebut lebih rendah dari yang sebelumnya yaitu 4,3-5,3%.
"Pertumbuhan ekonomi diperkirakan 4,1-5,1%," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers virtual, Selasa (20/4/2021).
Angka ini saja sejatinya sudah tergolong kurang oke, apalagi mengingat bahwa IMF baru saja merevisi pertumbuhan ekonomi global menjadi 6% dibandingkan dengan proyeksi bulan Januari silam di angka 5,5%. Di kala pertumbuhan ekonomi global direvisi membaik, pertumbuhan ekonomi Ibu Pertiwi malah direvisi turun.
Amerika Serikat (AS) memimpin pemulihan ekonomi. Pada bulan Januari lalu IMF memproyeksikan produk domestik bruto (PDB) tumbuh 5,1%, tetapi kini direvisi menjadi 6,4%.
Negara-negara lainnya juga banyak yang PDBnya direvisi naik, Inggris misalnya sebesar 5,3% naik 0,8 poin persentase dibandingkan proyeksi Januari lalu. Kemudian Jepang yang naik 0,2 poin persentase menjadi 3,3%.
PDB China juga diprediksi naik menjadi 8,4% sepanjang tahun ini, dari sebelumnya 8,1%. Negeri Tirai Bambu merupakan negara konsumen minyak mentah terbesar kedua di dunia setelah AS.
Di kuartal I-2021, pertumbuhan PDB yang impresif. Biro Statistik China melaporkan PDB tumbuh 18,3% periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) di 3 bulan pertama tahun ini.
Ini tentunya bukan menjadi kabar yang baik bagi Emerging Market semacam Indonesia yang biasanya menjagokan pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan tetapi saat ini malah pertumbuhan ekonominya kalah dibanding negara maju lain.
Maka dari itu tidak heran apabila dana asing yang keluar dari bursa lokal semakin deras. Tercatat selama sebulan terakhir dana asing yang kabur sudah mencapai Rp 5,1 triliun.
Bahkan apabila ditarik dari 3 bulan terakhir, asing sudah melarikan dana sebesar Rp 6,6 triliun dari bursa lokal. Tentu saja dengan kondisi perekonomian yang kurang mendukung angka ini nantinya berpotensi bertambah.
Apalagi di tengah negara-negara tetangga yang beramai-ramai keluar dari resesi seperti Vietnam dan Singapura yang sudah lolos dari resesi,sepertinya Indonesia masih akan terjebak di 'jurang' resesi pada kuartal I-2021. Proyeksi Kementerian Keuangan untuk pertumbuhan ekonomi kuartal I-2021 adalah -0,1% hingga -1%.
"Untuk kuartal I-2021, kami di Kementerian Keuangan memperkirakan dalam kisaran -1% yang terdalam hingga -0,1%. Kita berharap di zona netral, mendekati -0,1%," kata Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, dalam konferensi pers APBN Kita edisi Maret 2021, Selasa (23/3/2021).
TIM RISET CNBC INDONESIA