Review Emiten

Bulan Puasa Nih, Saham Syariah BTPS Cs Makin Menarik

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
16 April 2021 13:55
Ilustrasi Bank Syariah
Foto: ist

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham nasional belakangan menyaksikan lompatan saham dua bank syariah karena aksi korporasi konsolidasi dan eforia digital. Di luar itu, ternyata ada satu saham bank syariah yang kinerjanya moncer tapi belum tertangkap radar pasar.

Sebagaimana diketahui, saham-saham bank kecil sempat melonjak karena spekulasi konsolidasi industri terkait pembentukan bank digital. Saham bank buku I dan II diburu berbekal harapan bahwa nasibnya akan sama seperti PT Bank Jago Tbk (ARTO) yang meski berstatus bank buku III tetapi kapitalisasi pasarnya menembus Rp 151 triliun atau setara dengan bank buku IV.

Salah satu saham bank yang menguat ditiup sentimen tersebut adalah PT Bank Net Syariah Tbk (BANK), yang baru saja berganti nama menjadi PT Bank Aladin Syariah Tbk. Saham bank buku I yang awalnya bernama PT Bank Maybank Syariah Indonesia Tbk ini meroket 3.395,15% sejak pencatatan perdana (listing) pada 1 Februari 2021.

Sebelum itu ada saham PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) yang harganya meroket sejak tahun lalu setelah Kementerian BUMN mengonsolidasikan bank syariah pelat merah. Harga saham emiten yang semula bernama PT BRI Syariah Tbk ini tercatat terbang 356,9% jika dibandingkan dengan harga pencatatan perdana pada 9 Mei 2018.

Bagaimana prospek saham bank syariah tersebut jika mengacu pada prinsip investasi berbasis nilai (value investing)?

Tim Riset CNBC Indonesia melakukan perbandingan kinerja saham dan fundamental empat bank syariah yang tercatat di bursa. Value investing adalah strategi investasi dengan memburu saham yang harganya murah jika dibandingkan dengan nilai intrinsiknya.

Keempat saham tersebut adalah BANK, BRIS, PNBS (PT Panin Dubai Syariah Tbk), dan BTPS (PT Bank BTPN Syariah Tbk). Jika dilihat dari kinerja sahamnya (dengan basis perhitungan yang disetarakan, yakni per 1 Februari 2021), reli saham BANK memimpin dan tak terkalahkan. Sebaliknya, saham BTPS mengalami koreksi terbesar, yakni mencapai -9,7%.

qSumber: Revinitif

Dari situ, terlihat bahwa pelaku pasar memburu saham-saham bank syariah-dalam hal ini BANK dan BRIS-berbekal ekspektasi bahwa kinerja fundamental perseroan ke depan akan meroket juga, mengikuti aksi korporasi keduanya (merger bank syariah BUMN di BRIS dan penambahan modal serta digitalisasi Bank Aladin).

Namun, lompatan kinerja saham terkadang tidak berkorelasi positif dengan kinerja fundamental. Pada praktiknya, pelaku pasar seringkali memborong saham perusahaan terbuka karena didorong harapan dan/atau ekspektasi terlalu besar bahwa kinerja fundamental perseroan akan melesat.

Tanpa dibarengi dengan kinerja fundamental yang solid, kenaikan harga saham yang terlampau tinggi tersebut bakal kehilangan pondamen valuasinya. Pada akhirnya, koreksi berpeluang terbuka jika ternyata spekulasi yang dibangun tidak bersesuaian dengan realitas, alias tak pasti.

Siapa dari keempat bank tersebut yang mencetak kinerja riil, atau performa fundamental yang "pasti-pasti aja"?

Halaman Selanjutnya >> Berikut ini ulasannya..

Bagi investor pemburu nilai (value investor), nilai intrinsik saham merupakan faktor terpenting dalam memutuskan investasi. Saham yang valuasinya mahal, sementara kinerja fundamentalnya tak linier dengan itu, bakal dijauhi terlebih jika volatilitas pergerakannya di pasar sangat tinggi.

Dalam penentuan valuasi saham, ada dua indikator utama yang sering dipakai, yakni rasio harga terhadap laba bersih per saham (price to earning/PE ratio), dengan membandingkan harga sekarang dengan laba bersih perseroan. Semakin tinggi nilai PE, maka semakin mahal pula harga saham tersebut. Ibaratnya, untuk apa beli mobil seharga Ferrari tetapi performanya sekelas bajaj?

Di samping itu, ada indikator rasio harga terhadap nilai buku per saham (price to book value/PBV). Semakin tinggi nilai PBV, semakin tak menarik pula saham tersebut karena perlu merogoh kocek lebih dalam untuk memegang kekayaan perusahaan lewat kepemilikan saham.

Jika menggunakan pendekatan valuasi berbasis rasio PBV, keempat bank syariah di Indonesia terhitung premium (di atas batas ideal 1 kali) mengingat posisi mereka sebagai emiten pemain utama di industri keuangan syariah yang belum sepenuhnya digarap.

PBV yang tinggi di industri perbankan juga bisa dimaklumi karena mayoritas aset mereka adalah pembiayaan yang besarannya tak boleh melebihi dana pihak ketiga (DPK) sebagai liabilitas terbesar bank. Dus, nilai buku mereka (sebagai pembagi PBV) pun cenderung kecil.

Oleh karenanya, perlu diperhatikan posisi pengembalian ekuitas (return on equity/ROE) dan pengembalian aset (return on asset/ROE) yang mengukur kelihaian manajemen bank dalam memutar tiap rupiah modal dan dana yang dikelola menjadi keuntungan. Semakin besar keduanya, makin bagus kinerja profitabilitas sebuah bank.

Dari situ, terlihat bahwa ROE bank BTPN Syariah menjadi yang tertinggi, yakni sebesar 16,2%. ROA perseroan juga unggul, dan hanya kalah dari Bank Aladin. Namun harap dicatat, 92% aset Bank Aladin (senilai Rp 728,15 miliar per September 2020) tak diputar ke sektor riil, melainkan dibelanjakan obligasi (Rp 411,5 miliar) dan dititipkan ke Bank Indonesia (Rp 255,3 miliar).

Di sisi lain, jika rasio PE keempat bank syariah dibandingkan, terlihat bahwa lompatan harga saham yang menimpa saham BANK sudah terlalu tinggi dan tak masuk akal, sehingga valuasinya terlalu mahal jika dibandingkan dengan perusahaan sejenis (peer).

Rasio PE saham PNBS juga "overhanged" karena harga sahamnya sudah naik jauh melampaui pertumbuhan value intrinsik sahamnya. Di sisi lain, pandemi memukul kinerja keuangan perseroan, sehingga laba bersihnya tahun lalu ambles hingga tersisa Rp 128 juta saja.

Sebaliknya, BTPS terhitung paling murah. Rasio PE saham anak usaha PT Bank BTPN Tbk tersebut tercatat sebesar 22,85 kali, atau masih lebih rendah dari rasio PE rerata saham bursa nasional, yakni Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang sebesar 24 kali.

Khusus BRIS, jika rasio PE dihitung menggunakan laba bersih 2020 hasil merger tiga bank, yang nilainya sebesar Rp 2,2 triliun, maka rasio PE-nya berada di angka 24,16 kali, atau masih lebih mahal dari BTPS. Laba bersih konsolidasi pasca-merger tersebut setara dengan laba bersih per saham (earning per share/EPS) sebesar Rp 53,8/unit atau lonjakan sebesar 124,16%.

Halaman Selanjutnya >>

Kinerja fundamental, yang tercermin dari laba bersih, menjadi berkah dalam perhitungan valuasi saham perusahaan terbuka. Sebagaimana diketahui, laba bersih merupakan denominator atau pembagi rasio PE. Semakin tinggi pertumbuhan laba bersih bank, makin rendah pula rasio PE.

Jika rasio profitabilitas keempat bank itu dibandingkan, BTPN Syariah menjadi yang terbaik pada tahun lalu, dengan perolehan laba bersih sebesar Rp 854,6 miliar. Hebatnya, rasio pembiayaan bermasalah (non-performing financing/NPF) menjadi yang terendah, di level 1,91%.

Sebagai perbandingan, laba bersih BRI Syariah hanya sebesar Rp 248 miliar pada periode yang sama sementara laba bersih Bank Aladin cuma Rp 58,5 miliar. NPF keduanya sudah melampaui angka 3%. Sementara itu, NPF Bank Aladin tercatat nol, karena tahun lalu (per September 2020) tak menyalurkan pembiayaan baru selain piutang murabahah sebesar Rp 66 juta.

Kuatnya laba bersih BTPN Syariah dicapai bahkan setelah perseroan mengantisipasi risiko di masa pandemi Covid-19, dengan memperkuat pencadangan (provision) sepanjang 2020 menjadi Rp 850 miliar, atau nyaris 3 kali lebih besar dari pencadangan tahun 2019. Padahal, beberapa bank justru nekad mengurangi provisi demi mendongkrak laba bersih.

Kinerja yang solid tersebut membuat perseroan diganjar kenaikan peringkat (rating) korporasi. Pada 18 November 2020, PT Fitch Ratings Indonesia menaikkan peringkat jangka panjang nasional BTPN Syariah dari AA+ (stabil) menjadi AAA (stabil). Menurut Fitch, rating AAA merupakan kasta tertinggi peringkat layak investasi (investment grade).

Kenaikan peringkat tersebut terjadi selang 4 bulan setelah bank yang terafiliasi dengan Sumitomo Mitsui Financial group (melalui Sumitomo Mitsui Banking Corporation) ini resmi menjadi bank buku III (pada 7 Juli 2020), dengan mencatatkan modal inti sebesar Rp 5,53 triliun.

Dari sisi laba bersih, terlihat juga tetap terjaga berkat pertumbuhan pembiayaan sebesar 6% menjadi Rp 9,5 triliun. Berbeda dari bank besar yang DPK-nya naik lebih tinggi dari pertumbuhan pembiayaan, DPK di BTPN Syariah hanya naik 4% ke Rp 9,8 triliun. Ini menjadi blessing in disguise di tengah likuiditas yang berlebih. Bagi bank, DPK adalah liabilitas.

Dengan demikian, berdasarkan analisis terhadapdata pasar dan neraca keuangan empat bank syariah yang melantai di bursa, terlihat bahwa BTPN Syariah (BTPS) membukukan kinerja paling solid secara fundamental dan terukur, alias paling pasti dengan risk factor yang rendah.

Per 31 Desember 2020, profil risiko Bank BTPN Syariah berada pada peringkat 2 (low to moderate) dengan tingkat kesehatan di peringkat 2 (Sehat). Peringkat ini merupakan gabungan dari penilaian berbasis Profil Risiko, Good Corporate Governance, Rentabilitas, dan Permodalan.

Namun, rasio harga sahamnya justru paling murah sehingga membuka peluang bagi value investor untuk mengoleksi saham tersebut. Pada harga sekarang di level Rp 3.030/unit, saham BTPS memiliki potential upside sekitar 40% dibandingkan dengan harga normal sebelum pandemi yang sempat menyentuh level tertingginya pada Rp 5.050 pada 27 Januari 2020.

Potensi tersebut terbuka sangat lebar mengingat kinerja positif BTPN Syariah sepanjang 2021 terus terjaga. Per Februari, bank yang dipimpin oleh Hadi Wibowo ini mencetak laba bersih tahun berjalan sebesar Rp 242 miliar. Insya Allah, masih berkah..



TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular