Review Emiten

Bulan Puasa Nih, Saham Syariah BTPS Cs Makin Menarik

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
16 April 2021 13:55
Infografis/ #bankirpemberdaya Wujudkan Niat Baik Keluarga Prasejahtera / Aristya Rahadian
Foto: Ilustrasi

Bagi investor pemburu nilai (value investor), nilai intrinsik saham merupakan faktor terpenting dalam memutuskan investasi. Saham yang valuasinya mahal, sementara kinerja fundamentalnya tak linier dengan itu, bakal dijauhi terlebih jika volatilitas pergerakannya di pasar sangat tinggi.

Dalam penentuan valuasi saham, ada dua indikator utama yang sering dipakai, yakni rasio harga terhadap laba bersih per saham (price to earning/PE ratio), dengan membandingkan harga sekarang dengan laba bersih perseroan. Semakin tinggi nilai PE, maka semakin mahal pula harga saham tersebut. Ibaratnya, untuk apa beli mobil seharga Ferrari tetapi performanya sekelas bajaj?

Di samping itu, ada indikator rasio harga terhadap nilai buku per saham (price to book value/PBV). Semakin tinggi nilai PBV, semakin tak menarik pula saham tersebut karena perlu merogoh kocek lebih dalam untuk memegang kekayaan perusahaan lewat kepemilikan saham.

Jika menggunakan pendekatan valuasi berbasis rasio PBV, keempat bank syariah di Indonesia terhitung premium (di atas batas ideal 1 kali) mengingat posisi mereka sebagai emiten pemain utama di industri keuangan syariah yang belum sepenuhnya digarap.

PBV yang tinggi di industri perbankan juga bisa dimaklumi karena mayoritas aset mereka adalah pembiayaan yang besarannya tak boleh melebihi dana pihak ketiga (DPK) sebagai liabilitas terbesar bank. Dus, nilai buku mereka (sebagai pembagi PBV) pun cenderung kecil.

Oleh karenanya, perlu diperhatikan posisi pengembalian ekuitas (return on equity/ROE) dan pengembalian aset (return on asset/ROE) yang mengukur kelihaian manajemen bank dalam memutar tiap rupiah modal dan dana yang dikelola menjadi keuntungan. Semakin besar keduanya, makin bagus kinerja profitabilitas sebuah bank.

Dari situ, terlihat bahwa ROE bank BTPN Syariah menjadi yang tertinggi, yakni sebesar 16,2%. ROA perseroan juga unggul, dan hanya kalah dari Bank Aladin. Namun harap dicatat, 92% aset Bank Aladin (senilai Rp 728,15 miliar per September 2020) tak diputar ke sektor riil, melainkan dibelanjakan obligasi (Rp 411,5 miliar) dan dititipkan ke Bank Indonesia (Rp 255,3 miliar).

Di sisi lain, jika rasio PE keempat bank syariah dibandingkan, terlihat bahwa lompatan harga saham yang menimpa saham BANK sudah terlalu tinggi dan tak masuk akal, sehingga valuasinya terlalu mahal jika dibandingkan dengan perusahaan sejenis (peer).

Rasio PE saham PNBS juga "overhanged" karena harga sahamnya sudah naik jauh melampaui pertumbuhan value intrinsik sahamnya. Di sisi lain, pandemi memukul kinerja keuangan perseroan, sehingga laba bersihnya tahun lalu ambles hingga tersisa Rp 128 juta saja.

Sebaliknya, BTPS terhitung paling murah. Rasio PE saham anak usaha PT Bank BTPN Tbk tersebut tercatat sebesar 22,85 kali, atau masih lebih rendah dari rasio PE rerata saham bursa nasional, yakni Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang sebesar 24 kali.

Khusus BRIS, jika rasio PE dihitung menggunakan laba bersih 2020 hasil merger tiga bank, yang nilainya sebesar Rp 2,2 triliun, maka rasio PE-nya berada di angka 24,16 kali, atau masih lebih mahal dari BTPS. Laba bersih konsolidasi pasca-merger tersebut setara dengan laba bersih per saham (earning per share/EPS) sebesar Rp 53,8/unit atau lonjakan sebesar 124,16%.

Halaman Selanjutnya >>

(ags/dru)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular