Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka stagnan di perdagangan pasar spot pagi ini. Derasnya sentimen positif, terutama dari luar negeri, semestinya mampu menjadi penopang penguatan mata uang Tanah Air.
Pada Jumat (16/4/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.600 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan stagnasi di Rp 14.600/US$. Rupiah juga berakhir stagnan pada hari sebelumnya.
Mata uang Ibu Pertiwi memang sulit menguat belakangan ini. Kali terakhir rupiah finis di jalur hijau adalah pada 7 April 2021. Artinya, rupiah belum pernah merasakan penguatan dalam enam hari perdagangan terakhir.
Oleh karena itu, rupiah sangat mendambakan yang hijau-hijau. Sudah terlalu lama rupiah terjebak di 'api' zona merah. Hari ini adalah saatnya untuk bangkit.
Halaman Selanjutnya --> Yield Obligasi AS Turun, Data Ekonomi Ciamik
Kebetulan 'cuaca' di luar sedang bagus. Dini hari tadi, bursa saham New York ditutup menguat di mana indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,9%, S&P 500 melesat 1,11%, dan Nasdaq Composite melejit 1,31%. DJIA dan S&P 500 mencatat rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Investor kembali ke pasar saham karena imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS dalam tren menurun. Sejak menyentuh kisaran 1,73% pada minggu ketiga Maret, kini yield surat utang pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden berada di 1,5671%.
US Treasury Bonds yang beberapa waktu lalu sempat menjadi primadona kini mulai ditinggalkan. Pelaku pasar sepertinya sudah lebih percaya diri bahwa ekonomi Negeri Paman Sam bakal pulih dengan cepat dari dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Akibatnya, aset aman seperti obligasi dilepas dan investor mulai berani masuk ke instrumen berisiko.
Keyakinan akan pemulihan ekonomi AS terkonfirmasi dengan rilis data ketenagakerjaan terbaru. Pada pekan yang berakhir 10 April 2021, klaim tunjangan pengangguran turun drastis 193.000 menjadi 576.000. Ini adalah yang terendah sejak pertengahan Maret tahun lalu atau sebelum masa pandemi.
Selain data ketenagakerjaan, ada lagi yang menambah optimisme. Pada Maret 2021, penjualan ritel di Negeri Stars and Stripes naik 9,8% dibandingkan bulan sebelumnya. Ini adalah laju tercepat sejak Mei 2020.
Dibandingkan dengan Maret 2020 (year-on-year/yoy), kenaikan penjulan ritel lebih sangar lagi yaitu mencapai 19,36%. Ini adalah rekor tertinggi sepanjang sejarah pencatatan.
"Buat aset-aset berisiko, ini adalah kondisi terbaik. Yield obligasi turun dan data ekonomi sangat impresif. Ini yang kita semua ingin lihat," tegas Tim Murray, Capital Markets Strategist di T. Rowe Prive Associates, seperti dikutip dari Reuters.
Halaman Selanjutnya --> Ekonomi China To the Moon
Tidak hanya AS, China pun memberi kabar gembira. Pada kuartal I-2021, Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Tirai Bambu tumbuh 18,3% yoy. Meski lebih rendah dari perkiraan pasar (konsensus Reuters memperkirakan di angka 19% yoy), tetapi ini adalah rekor tertinggi sepanjang sejarah modern China.
China adalah perekonomian terbesar kedua di dunia, nomor satu AS. Dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi terus menunjukkan kebangkitan. Keduanya akan menjadi 'lokomotif' yang menarik perekonomian negara-negara lain.
Ya, saat AS dan China bangkit maka permintaan di sana tentu akan naik. Hasilnya, negara-negara lain akan menikmati peningkatan kinerja ekspor.
Indonesia sudah mulai merasakannya. Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan nilai ekspor Indonesia bulan lalu adalah US$ 18,35 miliar, meroket 30,47% yoy.
Nilai ekspor US$ 18,35 adalah yang tertinggi sejak Juni 2011. Sedangkan pertumbuhan 30,47% adalah yang terbaik sejak Juli 2017.
Dengan banyaknya 'doping' ini, keterlaluan kalau rupiah masih belum bisa menguat. Ini adalah peluang yang sangat terbuka untuk membalas dendam.
TIM RISET CNBC INDONESIA