
Dolar Australia ke Bawah Rp 11.100 Lagi, Ini Penyebabnya!

Jakarta, CNBC Indonesia -Â Dolar Australia kemarin berhasil menguat melawan rupiah ke atas Rp 11.100/AU$ untuk pertama kalinya dalam nyaris 3 pekan terakhir. Tetapi pada perdagangan hari ini, Jumat (9/4/2021), dolar Australia kembali turun akibat terhentinya laju kenaikan harga bijih besi.
Pada pukul 10:24 WIB, AU$ 1 setara Rp 11.096,56, dolar Australia melemah 0,2% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Kamis kemarin, Mata Uang Negeri Kanguru ini melesat 0,78%.
Dolar Australia merupakan salah satu mata uang yang pergerakannya memiliki korelasi positif yang kuat dengan harga komoditas. Sebab pendapatan negara Australia sangat besar dari ekspor komoditas.
Selain itu, sektor pertambangan juga berkontribusi 10,4% terhadap produk domestik bruto (PDB) Australia, menjadi yang paling besar dibandingkan sektor lainnya.
Ekspor utama Australia yakni bijih besi, berkontribusi sekitar 15% dari total ekspor, sehingga ketika harganya yang melesat tentunya akan meningkatkan pendapatan ekspor.
Harga bijih besi pada perdagangan kemarin turun 0,3% ke US$ 173,1 per ton di Qingdao. Sementara di Bursa Komoditas Dalian China, turun 0,6% melansir mining.com.
China merupakan mitra dagang utama Australia, dan permintaan bijih besinya menjadi yang terbesar. Sehingga pergerakan harga bijih besi sangat dipengaruhi situasi dan perekonomian Negeri Tiongkok.
Bijih besi menjadi salah satu komoditas dengan kinerja terbaik pada tahun lalu, yang menopang penguatan dolar Australia. Sepanjang 2020, dolar Australia mampu menguat nyaris 11% melawan rupiah.
Kenaikan harga bijih besi masih berlanjut di awal tahun ini, pada pertengahan Januari lalu menyentuh level US$ 174,07 per ton, yang merupakan level tertinggi sejak September 2011. Rekor tertinggi harga bijih besi berada di US$ 191,7 per ton yang dicapai pada Februari 2021. Dolar Australia sepanjang tahun ini masih menguat 2,8% melawan rupiah.
Meski demikian, melansir mining.com, harga bijih besi diperkirakan akan terpangkas nyaris setengahnya di akhir tahun nanti, dan perlahan akan terus menurun hingga mencapai US$ 72 per ton pada tahun 2026.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dolar Australia Tak Mampu Tembus Rp 10.700/AU$, Ada Apa?
