Rupiah Ngos-ngosan Lawan Dolar AS, Ini Penyebabnya!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
08 April 2021 16:34
rupiah melemah terhadap Dollar
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah setelah membukukan penguatan 3 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) akhirnya kembali melemah.

Tidak sekadar melemah, penguatan dalam 3 hari terakhir juga habis, dan kini malah berisiko membukukan pelemahan 8 pekan beruntun. Capital outflow yang terjadi dari dalam negeri serta ekspektasi kenaikan suku bunga di AS membuat rupiah sulit menguat dalam beberapa pekan terakhir.

Dalam tiga hari terakhir, rupiah "malu-malu" menguat. Melansir data Refintiv, rupiah membukukan penguatan 0,07% berturut-turut selama 3 hari, sehingga totalnya 0,21%. Sementara pada perdagangan hari ini, justru melemah 0,28%.

Artinya, jika pada perdagangan Jumat besok gagal menguat, maka rupiah akan membukukan pelemahan 8 pekan beruntun, dan saat ini berada di level terlemah dalam 5 bulan terakhir. Sepanjang tahun ini rupiah sudah membukukan pelemahan 3,5%.

Awal mula buruknya kinerja rupiah terjadi akibat kenaikan yield obligasi (Treasury) AS hingga ke atas 1,7% untuk tenor 10 tahun, yang merupakan level tertinggi sejak Januari 2020. Kenaikan tersebut terjadi akibat ekspektasi pemulihan ekonomi AS serta kenaikan inflasi yang lebih cepat dari prediksi.

Kenaikan tersebut membuat selisihnya dengan yield Surat Berharga Negara (SBN) menyempit, yang memicu capital outflow dari pasar obligasi dalam negeri.

Data dari Direktorat Jendral Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) menunjukkan sepanjang bulan Maret terjadi capital outflow sebesar Rp 20 triliun di pasar obligasi.

Tidak hanya itu, obligasi Indonesia juga kurang menarik, hal tersebut tercermin dari lelang yang dilakukan pemerintah, dimana yang dimenangkan selalu lebih rendah dari target indikatif.

Lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara yang dilakukan Selasa (6/4/2021) kembali tidak mencapai target. Pemerintah melalui DJPPR Kementerian Keuangan dalam lelang Sukuk kemarin yang dimenangkan sebesar 7,34 triliun dari target indikatif yang ditetapkan sebesar Rp 10 triliun.

Nilai penawaran yang masuk sebesar Rp 14,6 triliun, menurun ketimbang lelang 23 Maret sebesar Rp 17,2 triliun. Pemerintah kemudian menetapkan lelang tambahan (greenshoe option) pada hari ini.

Lelang Surat Utang Negara (SUN) juga bernasib sama, pada 30 Maret lalu, DJPPR menetapkan target indikatif sebesar Rp 30 triliun, yang dimenangkan hanya Rp 4,75 triliun. Sehingga sehari setelahnya diadakan lelang tambahan.

Penawaran yang masuk pada lelang 30 Maret tersebut sebesar Rp 33,95 triliun, turun ketimbang lelang sebelumnya pada 16 Maret sebesar Rp 40,1 triliun. Sementara pada 2 Maret lalu, penawaran yang masuk saat lelang SUN sebesar 49,7 triliun.

Penurunan nilai penawaran yang masuk tersebut mencerminkan kurang menariknya obligasi Indonesia, yang pada akhirnya membuat rupiah lesu.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ekspektasi Kenaikan Suku Bunga Buat Dolar AS Perkasa

Rupiah semakin sulit menguat akibat pelaku pasar kini melihat kemungkinan bank sentral AS (The Fed) akan menaikkan suku bunga di akhir tahun ini.

Ekspektasi tersebut muncul meski The Fed berulang kali menegaskan tidak akan menaikkan suku bunga hingga tahun 2023.

The Fed merilis notula rapat kebijakan moneter edisi Maret pada Kamis (8/4/2021) dini hari waktu Indonesia. Dalam notula tersebut, ketua The Fed, Jerome Powell, dan kolega sepakat untuk tidak mengubah kebijakan moneternya dalam waktu dekat. Hal tersebut sebenarnya sudah berulang kali diungkapkan oleh Powell. 

The Fed mengindikasikan suku bunga rendah 0,25% akan terus dipertahankan hingga pasar tenaga kerja lebih kuat serta tingkat inflasi mencapai target rata-rata 2%.

Para pembuat kebijakan (FOMC) di bank sentral paling powerful di dunia tersebut juga mengakui perekonomian AS sudah mulai membaik secara substansial, tetapi perlu kemajuan lebih banyak lagi untuk mulai mempertimbangkan merubah kebijakan moneternya.

Selain itu, stimulus moneter dengan program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan, disebut memberikan dukungan yang substansial terhadap perekonomian. Artinyal, tapering atau pengurangan nilai QE juga belum akan dilakukan.

"Para peserta rapat menggarisbawahi bahwa sepertinya perlu waktu untuk mencapai kemajuan yang signifikan dalam mencapai target-target tersebut. Ke depan, jalan masih penuh ketidakpastian dengan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) tetap menjadi risiko," tulis notula itu.

Meski demikian, pelaku pasar masih belum percaya The Fed tidak akan merubah kebijakannya dalam waktu dekat. Hal tersebut tercermin dari perangkat FedWatch milik CME Group yang menunjukkan mulai munculnya "suara-suara" kenaikan suku bunga di akhir tahun ini.

Berdasarkan perangkat FedWatch tersebut, pelaku pasar melihat ada probabilitas sebesar 10,4% The Fed akan menaikkan suku bunga menjadi 0,5% pada bulan Desember 2021. Meski probabilitas tersebut kecil, tetapi mengalami kenaikan nyaris 2 kali lipat dibandingkan sepekan lalu 5,4%.

idrFoto: CME Group

Jika data ekonomi AS terus menunjukkan perbaikan, tidak menutup kemungkinan probabilitas tersebut akan semakin meningkat. Apalagi, The Fed sendiri merubah proyeksi pertumbuhan ekonomi AS tahun ini menjadi 6,5% dari prediksi sebelumnya 4,2%.

Besarnya revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut tidak diikuti dengan pembaharuan panduan kebijakan yang akan diambil, sehingga menimbulkan tanda-tanya di pasar.
Selain itu, The Fed juga memproyeksikan tingkat pengangguran di akhir tahun nanti sebesar 4,5% dan inflasi berada di 2,2%.

"Kebijakan moneter saat ini diterapkan untuk menghadapi ketidakpastian yang ditimbulkan dari krisis Covid-19. Tetapi, dengan perekonomian yang terus menunjukkan perbaikan serta kemajuan dalam vaksinasi membuat sulit untuk memahami bagaimana kebijakan dikalibrasi dengan benar sekarang," kata Bob Miller, head of Americas fundamental fixed income di BlackRock, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (8/4/2021).

"Stance moneter yang darurat masih sama, meski saat ini tidak ada kondisi darurat" tambahnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular