Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Kemunculan mata uang kripto mendobrak perilaku investasi dalam beberapa tahun terakhir. Investasi yang biasanya dilakukan di saham hingga emas kini mendapat "pesaing" mata uang kripto, yang harganya melesat ribuan persen dalam 2 tahun terakhir meski masih ada perdebatan apakah cocok dijadikan aset investasi atau tidak mengingat pergerakannya yang ekstrim.
Meski masih banyak yang kontra dengan investasi di mata uang kritpo, tetapi tidak bisa dipungkiri harganya yang meroket menarik minat pelaku pasar. Apalagi sejak terjadi pandemi penyakit virus corona (Covid-19) satu tahun silam yang membuat perekonomian global mengalami resesi, kinerja perusahaan-perusahaan tentunya dipertanyakan, yang berdampak pada harga sahamnya. Para pelaku pasar mencari investasi alternatif, dan mata uang kripto salah satu pilihannya.
Saham-saham di dalam negeri memang mulai pulih dari gejolak Covid-19. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) saat ini berada di kisaran 6.000, setelah sempat mencapai 6.500 pada 21 Januari lalu. Level tersebut merupakan yang tertinggi sejak April 2019, artinya sebelum pandemi terjadi pada Maret 2020 lalu.
Jika melihat kinerja emiten dalam 2 tahun terakhir, atau sejak akhir 2018, masih ada yang membukukan kinerja negatif, bahkan dari saham-saham blue chip. PT Astra International Tbk (ASII) misalnya, harga sama ASII di akhir 2018 Rp 8.225 per saham, sementara pada akhir kuartal I-2021 di Rp 5.275 per saham. Artinya terjadi penurunan lebih dari 35%, melansir data Refinitiv.
Sementara itu emiten dari sektor finansial kinerjanya cukup apik. Pada periode yang sama saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) naik 19,5%, sementara PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI) naik lebih dari 20% dari akhir 2018 hingga 31 Maret lalu.
Baik BBCA maupun BBRI sudah pulih dari kemerosotan pada Maret lalu, saat virus corona dinyatakan sebagai pandemu global. BBCA sempat menyentuh level Rp 21.625 pada 20 Maret, sementara BBRI Rp 2.160 pada 18 Mei 2020.
ASII sempat menyentuh level terendah Rp 3.220 pada 26 Maret 2020, setelahnya perlahan mulai bangkit. Jika melihat posisinya pada akhir kuartal I-2021, dari posisi terendah tahun lalu ASII mampu menguat nyaris 64%.
Kenaikan BBCA dan BBRI sejak akhir 2018 memang lumayan tinggi, tetapi masih kalah dengan aset investasi konvensional lainnya, emas.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Harga Emas Antam Melesat 33%
Emas merupakan salah satu aset yang menjadi primadona saat terjadi pandemi Covid-19. Harga emas batangan produksi PT Aneka Tambang (Antam) melesat tajam, bahkan mencetak rekor tertinggi sepanjang masa US$ 1.065.000/batang untuk satuan 1 gram pada 7 Agustus 2020 lalu.
Namun, setelah mencapai rekor tersebut, harga emas Antam memasuki tren menurun. Di akhir kuartal I-2021, emas Antam berada di Rp 903.000/batang.
Kenaikan harga emas Antam tersebut mengikuti harga emas dunia. Stimulus moneter dan fiskal yang digelontorkan bank sentral dan pemerintah di berbagai negara menjadi pemicu kenaikan harga emas.
Harga emas dunia mencapai rekor tertinggi sepanjang masa US$ 2.072,49/troy ons pada 7 Agustus tahun lalu, setelahnya terus merosot hingga berada di US$ 1.707/troy ons 31 Maret lalu.
Penurunan harga emas dunia tersebut menyeret turun harga emas Antam. Dari rekor tertinggi sepanjang masa mengalami penurunan lebih dari 15%. Tetapi jika dibandingkan posisi akhir 2018 Rp 676.000/batang, artinya emas Antam satuan 1 gram melesat lebih dari 33% hingga akhir kuartal I lalu.
Kenaikan harga emas Antam memang tajam dilihat dari akhir 2018, tetapi kapitalisasi pasar emas kini mulia digerogoti oleh mata uang kripto yang meroket ribuan persen.
Bank investasi JP Morgan, mengatakan investor institusional kini mulai beralih dari emas ke bitcoin. Hal tersebut terlihat dari capital outflow di pasar emas sejak pertengahan Oktober 2020 yang mencapai US$ 20 miliar, dan pada periode yang sama terjadi inflow di bitcoin, mata uang kripto paling populer, sebesar US$ 7 miliar.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Bitcoin Meroket Ribuan Persen, Tapi Masih Kalah dari Dogecoin
Jika membandingkan investasi di saham, emas, dan mata uang kripto sejak akhir 2018, pemenangnya tentu saja mata uang kripto. Cuan yang dihasilkan ribuan persen.
Meroketnya harga mata uang kripto tidak lepas dari pergerakan bitcoin yang meroket. Penerimaan yang semakin luas, mulai dari investor institusional, perusahaan aset manajemen, bank investasi besar, hingga perusahaan-perusahaan raksasa seperti Tesla hingga Visa, menjadi pemicu meroketnya harga bitcoin.
Bahkan bank investasi raksasa kini menyediakan layanan bitcoin bagi para nasabahnya. Morgan Stanley menjadi bank besar pertama di AS yang memberikan layanan bitcoin ke nasabahnya. Meski tidak semua nasabah, bahkan yang kaya, bisa mendapatkan layanan tersebut.
Langkah Morgan Stanley tersebut kini diikuti rivalnya, Goldman Sachs. Mary Rich, head of digital assets Goldman Sachs kepada CNBC International mengatakan pada kuartal II-2021 Goldman Sachs menawarkan investasi bitcoin dalam "spectrum penuh", yakni bisa berupa investasi fisik, produk derivatif, ataupun sarana investasi tradisional.
Di akhir kuartal I-2021, bitcoin berada di level US$ 58.950,02/BTC, sementara di akhir 2018 US$ 3.810,7/BTC. Artinya selama 2 tahun dan 3 bulan, harga bitcoin meroket 1.446%.
Kenaikan tajam bitcoin tersebut membuat mata uang kripto lainnya juga terkerek naik. Ethereum, mata uang kripto dengan kapitalisasi pasar terbesar kedua setelah bitcoin, pada perode yang sama terbang hingga 1.334%.
Bahkan dogecoin, mata uang kripto yang pada awalnya diciptakan hanya sebagai lelucon meroket lebih tinggi ketimbang bitcoin. Dogecoin dibuat oleh programme Jackson Palmer dan Billy Markus pada tahun 2013. Palmer pada tahun 2015 angkat kaki dari dogecoin dan saat itu mengatakan tujuannya hanya untuk lelucon dan tidak mau menghasilkan uang dari produk ciptaannya itu.
Nyatanya, sejak akhir 2018 hingga akhir kuartal I-2021, dogecoin justru meroket 2.190%.
TIM RISET CNBC INDONESIA