Rupiah Lemas di Kurs Tengah BI dan Spot, Ini Penyebabnya

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 April 2021 15:33
valas
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Mata uang Tanah Air juga lesu di perdagangan pasar spot.

Pada Kamis (8/4/2021), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.580. Rupiah melemah 0,46% dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Sementara di pasar spot, rupiah pun merah. Kala penutupan pasar, US$ 1 setara dengan Rp 14.530 di mana rupiah terdepresiasi 0,28%.

Saat pembukaan pasar spot, rupiah sudah melemah tetapi tipis saja di 0,07%. Sempat menguat tipis, rupiah kemudian melemah lagi dan semakin dalam seiring perjalanan pasar.

Halaman Selanjutnya --> Vaksinasi Covid-19 Mendapat Cobaan

Pelemahan rupiah tidak lepas dari keluarnya arus modal asing di pasar keuangan Ibu Pertiwi. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp miliar di pasar reguler.

Kemungkinan pelau pasar merespons negatif perkembangan vaksin anti-virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Dalam Rapat Kerja di DPR, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan bahwa kedatangan vaksin buatan AstraZeneca-Universitas Oxford mungkin tidak sebanyak yang disepakati.

Budi menyebutkan semestinya Indonesia bisa menerima 50 juta dosis pada 2021. Namun sepertinya yang akan tiba hanya 20 juta dosis, sisanya dikirim tahun depan.

Indonesia sebenarnya juga berhak menerima 54 juta dosis vaksin AstraZeneca melalui skena COVAX. Namun Budi mengatakan mungkin pengirimannya akan tertunda karena larangan ekspor di India.

Vaksin AstraZeneca banyak diproduksi di India. Saat ini Negeri Bollywood sedang menghadapi lonjakan jumlah kasus sehingga vaksin diprioritaskan untuk penggunaan dalam negeri.

Perkembangan ini tentu bukan kabar baik. Sebab Indonesia berkejaran dengan waktu untuk segera mewujudkan kekebalan kolektif (herd immunity).

Herd immunity akan tercipta saat sebagian besar populasi sudah mendapatkan imunisasi dan membentuk antibodi yang mampu melawan serangan virus corona. Berdasarkan catatan Our World in Data, baru 1,6% penduduk Indonesia yang sudah mendapatkan vaksinasi penuh (dua dosis) per 6 April 2021.

coronaSumber: Our World in Data

Sepanjang herd immunity belum tercipta, maka aktivitas dan mobilitas masyarakat masih akan dibatasi. Hidup belum bisa normal, sehingga 'roda' ekonomi tidak mampu berputar kencang.

Prospek ekonomi Indonesia yang tidak pasti membuat investor (terutama asing) agak menjaga jarak. Arus modal menjadi seret sehingga rupiah sulit menguat.

Halaman Selanjutnya --> Kebangkitan Ekonomi AS KIan Nyata

Selain itu, depresiasi rupiah juga disebabkan faktor eksternal. Kalau rupiah melemah, maka pasti dolar AS menguat dong.

Dini hari tadi waktu Indonesia, bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) merilis notula rapat atau minutes of meeting edisi Maret 2021. Dalam notula rapat, tergambar 'suasana kebatinan' dari Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega. Seluruh peserta rapat sepakat bahwa ekonomi AS memang semakin membaik, tetapi masih jauh dari target The Fed yaitu inflasi 2% secara berkelanjutan dan penciptaan lapangan kerja yang maksimal (maximum employment).

"Para peserta rapat menggarisbawahi bahwa sepertinya perlu waktu untuk mencapai kemajuan yang signifikan dalam mencapai target-target tersebut. Ke depan, jalan masih penuh ketidakpastian dengan pandemi virus corona tetap menjadi risiko," tulis notula itu.

Dengan ketidakpastian dan risiko itu, para pengambil keputusan di The Fed sepakat bahwa posisi (stance) kebijakan moneter saat ini masih layak (appropriate) untuk mengawal pemulihan ekonomi. Posisi (stance) kebijakan moneter The Fed sekarang boleh dibilang ultra-longgar dengan suku bunga acuan mendekati 0%.

Akan tetapi, pelaku pasar tidak sepenuhnya yakin bahwa The Fed bisa kuat menahan suku bunga tetap rendah. Pasalnya, perekonomian AS terus menunjukkan tanda kebangkitan.

Teranyar, Kementerian Perdagangan AS melaporkan neraca perdagangan Negeri Paman Sam pada Februari 2021 membukukan defisit US$ 71,1 miliar. Ini adalah rekor terdalam sepanjang sejarah modern AS.

"Defsiit perdagangan akan tetap lebar sepanjang tahun ini dan tahun depan. Seiring ekonomi yang semakin kuat, defisit neraca perdagangan akan tetap lebar," kata Ryan Sweet, Ekonom Senior Moody's Analytics, seperti diberitakan Reuters.

Pemulihan ekonomi berarti permintaan akan meningkat. Saat permintaan naik, demikian pula laju inflasi.

Oleh karena itu, pelaku pasar yakin akan datang saatnya The Fed harus merespons peningkatan ekspektasi inflasi dengan menaikkan suku bunga acuan. Mengutip CME FedWatch, probabilitas Federal Funds Rate naik 25 basis poin (bps) pada akhir 2021 adalah 10,4%. Semakin lama peluangnya semakin besar.

fedSumber: CME FedWatch

Jika suku bunga acuan benar-benar naik, maka berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS (terutama di instrumen berpendapatan tetap) akan semakin menguntungkan. Jadi tidak heran investor bergitu getol memburu obligasi pemerintah AS karena ekspektasi kenaikan cuan.

Perburuan investor terhadap aset berbasis dolar AS membuat mata uang itu begitu perkasa. Akibatnya, ruang penguatan rupiah menjadi terbatas.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular