
Dolar AS Diramal Perkasa Sebulan ke Depan, Rupiah Siaga Satu!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat 0,07% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.510/US$ pada perdagangan Senin (5/4/2021) setelah mengalami pelemahan dalam 7 pekan beruntun. Meski demikian, risiko rupiah kembali tertekan masih cukup besar, sebab dolar AS diramal masih akan kuat hingga 1 bulan ke depan.
Reuters mengadakan polling terhadap ahli strategi valuta asing (valas), dari 56 yang disurvei sebanyak 48 orang atau 85% memperkirakan dolar AS masih akan kuat setidaknya 1 bulan lagi.
Dari 48 orang tersebut, sebanyak 11 orang memprediksi penguatan dolar AS akan berlangsung dalam 3 hingga 6 bulan ke depan, sementara 16 orang mengatakan akan berlangsung lebih dari 6 bulan lagi.
Namun, untuk jangka panjang, survei yang dilakukan Reuters pada periode 26-31 Maret lalu sebanyak 65 ahli strategi valas memprediksi dolar AS akan melemah dalam 12 bulan ke depan.
"Saya pikir kita tidak akan melihat penguatan dolar AS dalam jangka panjang seperti yang kita lihat beberapa tahun yang lalu. Saya pikir kita akan melihat dolar AS bisa menguat sedikit lagi," kata Jane Foley, kepala strategi valas di Rabobank, sebagaimana dilansir Refinitiv, Kamis (1/4/2021).
Rupiah memang layak waspada, sebab survei tersebut juga menunjukkan sebanyak 58% ahli strategi valas memprediksi mata uang emerging market akan tertekan melawan dolar AS dalam tiga bulan ke depan.
Pasar melihat pemulihan ekonomi AS bisa lebih cepat dari prediksi sebelumnya, yang memicu penguatan dolar AS, serta yield obligasi (Treasury). Yield Treasury AS tenor 10 tahun yang naik ke atas 1,7% dan berada di level tertinggi sejak Januari 2020 menjadi pemicu penguatan dolar AS.
Yield Tresury tersebut berada di level sebelum virus corona menjadi pandemi, dan bank sentral AS (The Fed) belum membabat habis suku bunganya serta mengaktifkan kembali program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan pada Maret 2020.
Alhasil, selisih yield Treasury dengan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi menyempit. Dengan status Indonesia yang merupakan negara emerging market, menyempitnya selisih yield membuat SBN menjadi kurang menarik, sehingga memicu capital outflow yang pada akhirnya menekan rupiah.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan Maret lalu, terjadi capital outflow sebesar Rp 20 triliun di pasar obligasi. Pada periode yang sama, nilai tukar rupiah melemah lebih dari 2%.
Artinya, rupiah dan negara emerging market lainnya mendapat dua pukulan, dari perkasanya dolar AS, serta kenaikan yield Treasury yang memicu capital outflow.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ini Yang Bisa Buat Rupiah Balik Menguat
