Dolar AS Diramal Perkasa Sebulan ke Depan, Rupiah Siaga Satu!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
05 April 2021 18:17
Dollar
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat 0,07% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.510/US$ pada perdagangan Senin (5/4/2021) setelah mengalami pelemahan dalam 7 pekan beruntun. Meski demikian, risiko rupiah kembali tertekan masih cukup besar, sebab dolar AS diramal masih akan kuat hingga 1 bulan ke depan.

Reuters mengadakan polling terhadap ahli strategi valuta asing (valas), dari 56 yang disurvei sebanyak 48 orang atau 85% memperkirakan dolar AS masih akan kuat setidaknya 1 bulan lagi.

Dari 48 orang tersebut, sebanyak 11 orang memprediksi penguatan dolar AS akan berlangsung dalam 3 hingga 6 bulan ke depan, sementara 16 orang mengatakan akan berlangsung lebih dari 6 bulan lagi.

Namun, untuk jangka panjang, survei yang dilakukan Reuters pada periode 26-31 Maret lalu sebanyak 65 ahli strategi valas memprediksi dolar AS akan melemah dalam 12 bulan ke depan.

"Saya pikir kita tidak akan melihat penguatan dolar AS dalam jangka panjang seperti yang kita lihat beberapa tahun yang lalu. Saya pikir kita akan melihat dolar AS bisa menguat sedikit lagi," kata Jane Foley, kepala strategi valas di Rabobank, sebagaimana dilansir Refinitiv, Kamis (1/4/2021).

Rupiah memang layak waspada, sebab survei tersebut juga menunjukkan sebanyak 58% ahli strategi valas memprediksi mata uang emerging market akan tertekan melawan dolar AS dalam tiga bulan ke depan.

Pasar melihat pemulihan ekonomi AS bisa lebih cepat dari prediksi sebelumnya, yang memicu penguatan dolar AS, serta yield obligasi (Treasury). Yield Treasury AS tenor 10 tahun yang naik ke atas 1,7% dan berada di level tertinggi sejak Januari 2020 menjadi pemicu penguatan dolar AS.

Yield Tresury tersebut berada di level sebelum virus corona menjadi pandemi, dan bank sentral AS (The Fed) belum membabat habis suku bunganya serta mengaktifkan kembali program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan pada Maret 2020.

Alhasil, selisih yield Treasury dengan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi menyempit. Dengan status Indonesia yang merupakan negara emerging market, menyempitnya selisih yield membuat SBN menjadi kurang menarik, sehingga memicu capital outflow yang pada akhirnya menekan rupiah.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan Maret lalu, terjadi capital outflow sebesar Rp 20 triliun di pasar obligasi. Pada periode yang sama, nilai tukar rupiah melemah lebih dari 2%.

Artinya, rupiah dan negara emerging market lainnya mendapat dua pukulan, dari perkasanya dolar AS, serta kenaikan yield Treasury yang memicu capital outflow.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ini Yang Bisa Buat Rupiah Balik Menguat

Dolar AS hari ini tertekan pasca rilis data tenaga kerja AS pekan lalu. Departemen Tenaga Kerja AS pada pekan lalu melaporkan tingkat pengangguran di bulan Maret memang turun menjadi 6% dari bulan sebelumnya 6,2%, kemudian penyerapan tenaga kerja diluar sektor pertanian (non-farm payroll) tercatat sebanyak 916.000 orang, terbanyak sejak Agustus 2020 lalu.

Tetapi ada satu yang mengganjal, rata-rata upah per jam turun 0,1% pada bulan lalu, setelah naik 0,3% di bulan sebelumnya. Padahal, upah merupakan komponen penting dalam pemulihan ekonomi AS, serta kenaikan inflasi.

Dengan penurunan rata-rata upah per jam tersebut, laju kenaikan inflasi kemungkinan akan terhambat. Apalagi pada bulan Februari lalu, inflasi AS (yang dicerminkan oleh Personal Consumption Expenditure/PCE inti) tumbuh di 1,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year). Pertumbuhan tersebut lebih lambat dibandingkan laju Januari 2021 yang sebesar 1,5%.

Inflasi PCE merupakan salah satu acuan bank sentral AS (The Fed) untuk merubah kebijakan moneternya, ketika inflasi masih lemah, maka kebijakan moneter ultralonggar masih akan dipertahankan.

Artinya, ketika data-data ekonomi AS menunjukkan inflasi belum akan melesat naik, maka dolar AS perlahan akan kehilangan tenaganya.

Sementara itu dari sisi kenaikan yield Treasury, yang juga membuat rupiah tertekan, Ekonom senior Chatib Basri, mengatakan hal tersebut terhenti atau tidak sangat bergantung pada kekuatan The Fed menjaga pergerakan pasar.

The Fed, kata Chatib mungkin akan mengambil langkah dengan intervensi pada yield Treasury. Caranya Bank Sentral membeli surat utang jangka panjang dari pasar. Tujuannya agar yield tidak terlalu tinggi.

"Kalau dilakukan maka ekspektasi inflasi bisa dikendalikan, itu berarti The Fed harus beli bond jangka panjang, harus stabilisasi," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (24/3/2021).

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular