
Jadi Biang Kerok Pasar Drop, Ini Cerita Lengkap Margin Call

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham global dikejutkan dengan fenomena margin call (permintaan penambahan kekurangan dana transaksi margin) yang terjadi di bursa Wall Street AS.
Sentimen negatif ini memicu pasar saham AS ditutup variasi cenderung merah pada perdagangan awal pekan. Pada perdagangan Selasa waktu AS, atau Rabu waktu Indonesia, bursa AS lagi-lagi melanjutkan koreksi.
Penyebab Wall Street kembali lesu adalah aksi jual (profit taking) saham perbankan AS, akibat terkena margin call. Beberapa saham perbankan pun ada yang mengakui terkena forced sell (jual paksa) atas posisinya di short selling (jual kosong).
Selain sentimen margin call, tekanan Wall Street juga datang setelah imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS acuan tenor 10 tahun kembali naik dan menyentuh level tertinggi sejak Januari 2020.
Selasa waktu AS (Rabu pagi waktu Indonesia), Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melemah 0,31% ke level 33.066,96, S&P 500 terkoreksi 0,31% ke 3.958,79, dan Nasdaq Composite turun 0,11% ke 13.045,39.
Dari dalam negeri, sentimen penutupan Wall Street dan margin call memicu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup ambles di zona merah bahkan jatuh di bawah level psikologis 6.100. IHSG anjlok dalam hingga 1,55% ke posisi 6.071, pada penutupan sesi II perdagangan, Selasa kemarin (30/3/2021).
IHSG terjungkal ketika bursa saham Asia justru ditutup hijau kemarin. Indeks Shanghai naik 0,62%, Nikkei Jepang juga naik 0,16%, sementara Hang Seng Hong Kong juga menguat 0,84% dan STI Singapura (Straits Times) pun positif 0,48%.
Memburuknya sentimen pelaku pasar terjadi akibat Archegos Capital, perusahaan aset managemen, yang disebut-sebut terkena margin call. Dilansir Reuters dan CNBC International, Archegos tidak mampu menyediakan tambahan jaminan saat broker memintanya.
Nilai kerugian diperkirakan mencapai US$ 6 miliar atau setara Rp 86,9 triliun.
Ada kekhawatiran situasi di Archegos bakal berdampak sistemik ke pasar saham global.
Nomura dan Credit Suisse disebut-sebut sebagai kreditur Archegos dalam perdagangan di pasar derivatif, sehingga dua bank kelas 'paus' itu tentu akan kena getahnya.
"Terjadi kenaikan imbal hasil (yield) Treasury Amerika Serikat lebih tinggi. Selain itu pasar saham AS ini juga dibebani oleh adanya forced block sales di Wall Street," tulis Reliance Sekuritas, dikutip Rabu 031/3/2021).
NEXT: Lantas Bagaimana Awal Mulanya?
Pada Senin pekan ini, dua bank raksasa dunia, Nomura dan Credit Suisse, melaporkan potensi kerugian pada kuartal pertama 2021 ini. Hal itu menyusul laporan adanya margin call satu perusahaan aset manajemen yang meminjam dana ke dua bank investasi global itu.
Kedua bank tak menyebut nama. Namun CNBC International menyebut banyak laporan mengaitkan hal ini dengan perusahaan investasi Archegos Capital Management.
Dalam update perdagangan sebelum bursa AS dibuka Senin, Credit Suisse bahkan mengatakan sejumlah bank lain juga terkena dampak dan keluar dari perusahaan investasi yang tak disebutkan namanya itu.
"Meskipun saat ini terlalu dini untuk menghitung ukuran pasti kerugian yang diakibatkan dari ini, hal itu bisa menjadi sangat signifikan dan material untuk hasil kuartal pertama kami, terlepas dari tren positif yang diumumkan dalam pernyataan perdagangan kami awal bulan ini," kata Credit Suisse.
Bank itu menambahkan akan memberikan pembaruan lebih lanjut tentang masalah ini pada waktunya.
Nomura juga memberikan update perdagangan pada Senin yang memperingatkan "kerugian signifikan" di salah satu anak perusahaannya di AS. Itu akibat transaksi dengan klien di Negeri Pama Sam.
Bank investasi terbesar Jepang mengatakan sedang mengevaluasi potensi kerugian, yang diperkirakan mencapai US$ 2 miliar.
"Perkiraan ini dapat berubah tergantung pada pembatalan transaksi dan fluktuasi harga pasar ... Nomura akan terus mengambil langkah yang sesuai untuk mengatasi masalah ini dan melakukan pengungkapan lebih lanjut setelah dampak dari potensi kerugian ditentukan," kata bank itu.
Nilai kerugian Archegos Capital memang diperkirakan mencapai US$ 6 miliar atau setara Rp 86,9 triliun.
Kasus Archegos Capital ini terjadi setelah perseroan tidak bisa memenuhi kewajibanya. Archegos Capital disebutkan memegang posisi sebesar US$ 50 miliar padahal hanya memiliki aset sebesar US$ 10 miliar. Sisa US$ 40 miliar biasanya didapatkan melalui pinjaman (leverage) lewat transaksi margin (transaksi yang dibiayai broker).
Pinjaman dilakukan dengan menjaminkan aset sebesar US$ 10 miliar tersebut. Masalah akan muncul apabila aset tersebut nilainya anjlok sehingga tidak bisa memenuhi ketentuan jaminan minimum.
Biasanya apabila hal ini terjadi broker akan memberitahukan pemegang posisi untuk melakukan penambahan modal, hal ini disebut dengan margin call.
Hal yang mengerikan akan terjadi apabila sang pemegang posisi tidak mampu membayar margin call tersebut. Apabila tidak mampu menyetorkan dana dalam kurun waktu tertentu, sang broker akan melakukan penutupan terhadap seluruh posisi yang dimiliki oleh perseroan baik melakukan penjualan pada posisi long (forced sell) ataupun pembelian pada posisi short.
Secara sederhananya, dalam beberapa literatur pasar modal dijelaskan bahwa berinvestasi pada margin berarti melakukan penyetoran di rekening sekuritas dan meminjam sisa uang dari sekuritas atau broker untuk investasi.
Hanya saja, ketika pasar bergerak melawan posisi (alias investor kehilangan uang dalam posisi saat ini), investor harus menambah deposit jika tidak maka akan ada penjualan paksa aset atau efek.
Margin call terjadi ketika broker meminta investor untuk meningkatkan margin akibat kehilangan posisi.
NEXT: Siapa Archegos?
Archegos Capital Management adalah sebuah family office yang menangani kebutuhan keuangan dan investasi "keluarga". Perusahaan investasi dan aset manahemen ini didirikan mantan eksekutif hedge fund New York, Bill Hwang.
Perusahaan ini merujuk ke entitas yang didirikan untuk keluarga kaya untuk mengelola uang mereka. Termasuk memberikan layanan terkait kepada anggota keluarga, seperti perencanaan pajak dan harta benda, serta mengelola usaha filantropi.
Family office cukup berkembang pesat beberapa tahun terakhir. Secara global di 2019, family office bisa mengelola hampir US$ 6 triliun aset, menurut firma riset pasar Campden Research.
Saat ini, setidaknya ada 10.000 family office secara global. Kebanyakan melayani satu keluarga.
Namun seiring berkembangnya jaman, family offiice tidak hanya mengacu ke sebuah tim khusus yang didedikasi ke keluarga super kaya saja. Tapi berkembang ke multi-family office (MFO).
Dalam MFO ini biasanya bank-bank besar masuk. Mereka memberikan jasa private banking dan investment banking.
Perusahaan jenis ini umumnya tidak diatur di AS. Sebagian besar secara historis tidak harus mendaftar ke Komisi Sekuritas dan Bursa AS.
Ini karena Undang-Undang Penasihat Investasi tahun 1940. Aturan itu mengecualikan perusahaan yang memberi saran kepada 15 klien atau kurang.
Namun, sebenarnya AS memiliki Undang-undang Dodd-Frank 2010, yang disahkan setelah krisis keuangan 2007-2009, yang mencabut pengecualian itu dan memaksa pendaftaran. Tetapi aturan gagal menjamah family office.
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500
