Saham-saham Bank Berguguran, IHSG Anjlok 2% Pekan Ini!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 March 2021 06:23
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok pada perdagangan pekan ini. IHSG senasib dengan sejumlah indeks saham Asia lainnya yang melemah cukup dalam.

Sepanjang pekan ini (22-26 Maret), IHSG melemah 2,53% secara point-to-point. Mengawal pekan di posisi 6.300-an, IHSG finis di kisaran 6.100.

Namun IHSG tidak sendiri. Berbagai indeks saham utama Asia pun mengalami koreksi yang lumayan parah. Meski begitu, koreksi 2,53% membuat IHSG jadi yang terlemah di Asia.

Berikut perkembangan indeks saham Asia pada pekan ini:

Indeks sektor keuangan menjadi pemberat langkah IHSG, dengan koreksi mingguan mencapai 4,01%. Bobot indeks sektor keuangan adalah yang terbesar di antara sektor lainnya. Jadi ketika sektor ini melemah, maka niscaya IHSG bakal terseret ke bawah.

Harga saham sejumlah emiten perbankan besar melemah. Secara mingguan, harga saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 5,1%, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) terkoreksi 5,17%, dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk minus 1,63%. Namun saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk masih bisa menguat 1,07%.

Pekan ini, pasar keuangan Asia (dan seluruh dunia) masih tertekan karena investor fokus ke pasar obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS). Imbal hasil (yield) surat utang pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden memang masih relatif tinggi.

Pada pukul 05:43 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 1,6742%. Naik 6,02 basis poin (bps) dibandingkan hari sebelumnya. Sepanjang 2021, yield instrumen ini melonjak 76,22 bps.

Halaman Selanjutnya --> Ekonomi AS Membaik

Karena terus naik, yield obligasi pemerintah AS menawarkan keuntungan yang bersaing dengan aset berisiko. Saat ini dividend yield indeks S&P 500 di AS adalah 1,92%.

Ingat, obligasi adalah aset yang nyaris tanpa risiko. Obligasi pemerintah dijamin oleh negara, sehingga kemungkinan gagal bayar alias default sangat kecil (kalau tidak mau dibilang mustahil).

Apalagi kita bicara obligasi pemerintah AS, Negara Adikuasa, perekonomian terbesar di dunia. Risiko default sangat minim, peringkat utang (rating) AS adalah AAA dari Fitch dan S&P, serta Aaa dari Moody's. Ini adalah peringkat paling tinggi, paling aman.

Plus, obligsi tidak seperti saham yang uang investor bisa 'hangus' kapan saja. Obligasi memberi imbalan tetap berupa kupon dan uang pasti kembali 100% saat jatuh tempo.

Bayangkan, instrumen seperti ini sekarang memberi cuan yang kompetitif dengan aset berisiko. Tidak heran pelaku pasar begitu meminatinya.

Kenaikan yield obligasi pemerintah AS tidak lepas dari ekspektasi inflasi. Ekonomi Negeri Paman Sam sepertinya pulih lebih cepat setelah terpukul hebat oleh pandemi virus corona (Coronavirus Disease 2019/Covid-19).

Bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) memperkirakan ekonomi Negeri Adidaya pada 2021 tumbuh 6,5%. Jauh lebih baik dari perkiraan sebelumnya yaitu 4,2%.

"(Pertumbuhan ekonomi) akan sangat-sangat kuat pada tahun ini. Kemungkinan besar seperti itu," tegas Jerome 'Jay' Powell, Ketua The Fed, dalam Rapat Kerja denga Kongres baru-baru ini.

Apalagi pemerintahan Biden akan segera menggelontorkan stimulus fiskal, kemungkinan bisa dimulai pekan depan. Salah satu program dalam stimulus ini adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi warga negara AS berpenghasilan kurang dari US$ 75.000/tahun atau pasangan dengan gabungan pendapatan di bawah US$ 150.000/tahun.

Pemulihan ekonomi akan menciptakan permintaan sehingga mendorong laju inflasi. The Fed memperkirakan inflasi pada akhir 2021 adalah 2,4%, lebih tinggi ketimbang perkiraan sebelumnya yaitu 1,8%.

fedSumber: FOMC

Halaman Selanjutnya --> Inflasi Meninggi, Suku Bunga Naik?

Ketika laju inflasi semakin cepat, maka kemungkinan The Fed akan merespons dengan mulai mengetatkan kebijakan moneter. Ada potensi suku bunga acuan naik lebih cepat, bukan 2023 seperti perkiraan semula.

Berasarkan dotplot terbaru, semakin banyak anggota Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) yang memperkirakan Federal Funds Rate akan naik tahun depan. Kini ada empat orang yang memperkirakan seperti itu, sebelumnya hanya satu.

fedSumber: FOMC

Pelaku pasar bahkan mulai berani memperkirakan suku bunga acuan naik tahun ini. Mengutip CME Fedwatch, kemungkinan Federal Funds Rate naik 25 bps menjadi 0,25-0,5% pada Desember 2021 adalah 6,5%.

fedSumber: CME FedWatch

Pergerakan yield sangat sensitif terhadap suku bunga. Ketika ada ekspektasi suku bunga akan naik, maka yield akan mengikuti. Inilah yang sedang terjadi.

"Kami tidak yakin ini adalah garis finis untuk obligasi pemerintah AS, masih bisa lanjut terus," sebut riset Citi.

So, ke depan risiko terhadap IHSG masih akan tinggi. Investor sebaiknya mengencangkan sabuk pengaman, atau kalau perlu mulai menyiapkan sekoci untuk jaga-jaga kalau kapal karam.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular