Perhatian! Asing Bawa Kabur Dana Rp 20 T dari Obligasi RI

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
25 March 2021 08:30
Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia -Gerak Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) sempat menjadi perhatian investor global. Pasar keuangan dunia sempat mengalami tekanan karena kenaikan yield surat utang Pemerintah AS, termasuk pasar obligasi domestik. 

Pasar sempat khawatir, akan meningginya inflasi di AS yang memicu The Fed melakukan penyesuaian suku bunga yang akhirnya mendorong kenaikan yield obligasi pemerintah AS. 

Sebagai informasi, yield dengan harga berbanding terbalik, sehingga jika yield obligasi mengalami kenaikan, maka harga obligasi tersebut juga akan mengalami penurunan, demikian sebaliknya.

Pada akhir pekan lalu, yield obligasi AS (Treasury) untuk tenor 10 tahun berada di level tertingginya sejak Januari 2020, yakni di level 1,73%. Namun pada awal pekan ini, pergerakan yield Treasury acuan tersebut mulai menurun, di mana pada perdagangan kemarin menurun sebesar 12 basis poin (bp) ke level 1,61% selama kurun tiga hari berturut-turut.

Beralih ke pasar obligasi dalam negeri, pada perdagangan kemarin, yield SBN acuan tenor 1 tahun hingga 30 tahun kompak ditutup turun, di mana yield SBN acuan bertenor 10 tahun turun 3,7 bp ke level 6,736%.

Sementara itu, untuk selisih (spread) antara yield SBN tenor 10 tahun dengan yield Treasury AS berjatuh tempo 10 tahun kemarin sebesar 521,1 bp.

Di saat yield Treasury sedang mengalami kenaikan dibarengi dengan kenaikan yield SBN acuan, kepemilikan asing di SBN tercatat turun.

Melansir data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) pada periode 1 sampai 17 Maret, jumlah asing di SBN sebesar Rp 950,98 triliun atau 23.2% dari total kepemilikan SBN.

Adapun sepanjang Maret (month-to-date/MtD), asing telah keluar (outflow) di SBN sebanyak Rp 20,4 triliun, sedangkan untuk di surat utang negara (SUN), outflow asing sebesar Rp 6,8 triliun.

SBNFoto: DJPPR Kementerian Keuangan RI

Yield Treasury AS yang terus menguat pada pekan lalu dan mulai menurun pada pekan ini karena kekhawatiran pelaku pasar terkait kenaikan ekspektasi inflasi. Bank sentral AS juga memperkirakan tekanan inflasi akan meningkat.

Proyeksi The Fed menunjukkan bahwa Personal Consumption Expenditures Index (PCE) diperkirakan naik 2,4% pada 2021. Angka tersebut naik dari proyeksi Desember sebesar 1,8%.

Tekanan inflasi diperkirakan akan terus tumbuh pada tahun 2022 dengan PCE naik 2,0%, naik dari perkiraan Desember sebesar 1,9%. Pada 2023, Federal Reserve memperkirakan inflasi akan mencapai 2,1%.

Sementara itu untuk ekspektasi inflasi inti yang tidak menghitung komponen volatile food dan harga energi, diperkirakan akan naik 2,2% tahun ini. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya sebesar 1,8%.

Tahun depan, inflasi inti diperkirakan naik 2,0%. Naik 0,1 poin persentase dibandingkan dengan perkiraan Desember sebesar 1,9%. Pada tahun 2023, inflasi diperkirakan akan meningkat menjadi 2,1%.

Outlook kenaikan inflasi tersebut membuat yield obligasi menguat yang berarti harganya terkoreksi. Jika yield obligasi pemerintah AS terus naik, maka hal yang serupa juga akan terjadi pada instrumen pendapatan tetap Tanah Air. Imbal hasil SBN akan ikut naik yang berarti harganya melemah.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Aksi Ambil Untung di SBN Mulai Mereda, Harga SBN Menguat Lagi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular