Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Seperti biasa, investor masih cenderung melepas aset-aset berisiko di negara berkembang untuk memburu obligasi pemerintah AS.
Pada Jumat (19/3/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.390 kala pembukaan perdagangan pasar spot. Sama persis dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya atau stagnan.
Namun beberapa menit kemudian rupiah masuk jalur merah. Pada pukul 09:05 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.400 di mana rupiah melemah 0,07%.
Kemarin, rupiah berhasil menguat 0,24% di hadapan dolar AS. Ini menjadi penguatan pertama setelah depresiasi selama tiga hari beruntun.
Namun ternyata keperkasaan rupiah hanya sementara, fana belaka. Hari ini, rupiah kembali terpeleset ke zona merah.
Depresiasi rupiah adalah tema tahun ini. Sejak akhir tahun lalu (year-to-date), rupiah sudah melemah 2,49% secara point-to-point.
Namun depresiasi nilai tukar mata uang tidak unik terjadi terhadap rupiah. Berbagai mata uang utama Asia pun tidak berdaya di hadapan greenback.
Halaman Selanjutnya --> Ekonomi AS Bakal Kinclong
Well, apa mau dikata. Dolar AS memang sedang berjaya, tidak hanya di Asia tetapi di level dunia.
Pada pukul 07:47 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,02%.
Dalam sebulan terakhir, indeks ini terangkat 1,02%. Secara year-to-date, penguatannya mencapai 2,19%.
Faktor pendorong penguatan dolar AS lagi-lagi datang dari pasar obligasi. Kemarin, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS sempat menyentuh 1,754%, tertinggi dalam 13 bulan terakhir.
Kenaikan yield disebabkan oleh ekspektasi percepatan laju inflasi. Dalam proyeksi terbaru edisi Maret 2021, bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) memperkirakan inflasi tahun ini berada di 2,4%, lebih cepat ketimbang perkiraan yang dibikin pada Desember 2020 yaitu 1,8%.
Percepatan laju inflasi tidak lepas dari ekonomi AS yang tahun ini diramal kinclong. The Fed memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Adidaya pada 2021 tumbuh 6,5%, terbaik sejak 1984.
Halaman Selanjutnya --> Pasar Kejar-kejaran dengan The Fed
Kemarin, The Fed sudah mewanti-wanti bahwa percepatan laju inflasi masih jauh panggang dari api. Ekonomi Negeri Paman Sam belum pulih benar dari dampak pandemi virus corona (Coronavirus Dosease-2019/Covid-19) sehingga permintaan masih relatif terbatas.
"Kami meyakini bahwa kenaikan inflasi hanya sementara, masih jauh dari target jangka menengah-panjang. Sepertinya kita masih harus bersabar," ujar Jerome 'Jay' Powell, Ketua The Fed, sebagaimana dikutip dari Reuters.
Namun pelaku pasar tidak percaya. Investor tetap meyakini bahwa tekanan inflasi adalah sebuah risiko yang nyata.
"Pasar sedang 'bermain' dengan The Fed. Para traders mencoba membuktikan bahwa Powell salah," kata Karl Schamotta, Chief Market Strategist di Cambridge Global Payment, seperti dikutip dari Reuters.
 Sumber: Refinitiv |
Didorong oleh keyakinan bahwa laju inflasi bakal terakselerasi tidak lama lagi, yield oblligasi pemerintah AS pun bergerak ke utara. Ini membuat surat utang pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden menjadi menarik, menjanjikan cuan gede.
Oleh karena itu, investor masih saja berfokus di pasar obligasi pemerintah AS. Akibatnya, aset-aset lain (apalagi instrumen berisiko di negara berkembang) sepi peminat dan terpapar tekanan jual. Aksi jual ini membuat mata uang negara berkembang melemah, termasuk rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA