Impor RI Akhinya Naik, Kurs Dolar Singapura & Australia KO

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 March 2021 14:17
An Australia Dollar note is seen in this illustration photo June 1, 2017. REUTERS/Thomas White/Illustration
Foto: Dolar Australia (REUTERS/Thomas White)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Singapura dan Australia melemah melawan rupiah pada perdagangan Senin (15/3/2021). Impor Indonesia yang akhirnya tumbuh lagi memberikan sentimen positif ke rupiah.

Melansir data Refinitiv, dolar Singapura melemah 0,13% ke Rp 10.676,37/SG$, sementara dolar Australia turun 0,36% ke Rp 11.125,81/AU$ di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan data ekspor-impor Indonesia bulan Februari hari ini.

Pada periode tersebut, total ekspor tercatat US$ 15,27 miliar atau mengalami kenaikan 8,56% dibandingkan pada Februari 2020 (year-on-year/YoY) yang mencapai US$ 14,06 miliar.

Sementara impor Indonesia pada Februari 2021 tercatat sebesar US$ 13,26 miliar, naik 14,86% dibanding Februari 2020.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 6,75% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara impor diperkirakan tumbuh 11,85% YoY.

Artinya, realisasi ekspor maupun impor lebih tinggi dari konsensus pasar. Kenaikan impor menjadi yang paling menggembirakan, sebab sudah 19 bulan beruntun mengalami kontraksi.

Kenaikan menjadi indikasi perekonomian Indonesia mulai menggeliat.

Data tersebut mampu membuat rupiah perkasa melawan dolar Singapura dan Australia, tetapi beda ceritanya melawan dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah melemah 0,1% ke Rp 14.395/US$.

Dolar AS sulit ditaklukkan sebab yield obligasi (Treasury) AS masih tinggi. Pada pekan lalu, yield Treasury tenor 10 tahun naik 8,1 basis poin ke 1,635%, level tersebut merupakan yang tertinggi sejak Februari 2020 lalu, sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi, dan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) belum membabat habis suku bunganya menjadi 0.25%.

Melesatnya yield Treasury ke level pra pandemi tersebut terjadi akibat ekspektasi pemulihan ekonomi AS serta kenaikan inflasi. Alhasil, para pelaku pasar melepas kepemilikan Treasury yang membuat yield-nya menjadi naik.

Selain itu, ekspektasi pemulihan ekonomi AS yang lebih cepat dari prediksi serta kenaikan inflasi membuat pelaku pasar melihat ada peluang The Fed akan mengurangi program pembelian aset (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan istilah tapering, yang bisa memicu taper tantrum.

Taper tantrum pernah terjadi pada 2013 hingga 2015, saat itu kurs rupiah melemah hingga lebih dari 50%.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Tak Berharga di Hadapan Dolar Singapura & Australia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular