Trio Nikel Ga Kompak, TINS & ANTM Menguat tapi INCO Melemah

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
09 March 2021 10:07
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Trio saham emiten pertambangan nikel yakni PT Timah Tbk (TINS), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) bergerak beragam pada awal perdagangan sesi I Selasa (9/3/2021) pukul 09:24 WIB.

Saham TINS dan ANTM mampu berbalik arah ke zona hijau setelah sempat bergerak di zona merah pada awal perdagangan sesi I hari ini. Sedangkan untuk saham INCO masih belum beranjak dari zona merah, 24 menit setelah perdagangan hari ini dibuka

Saham TINS berbalik menguat 1,12% ke level Rp 1.810/unit pada pukul 09:24 WIB pagi hari ini. Sebelumnya 11 menit setelah dibuka, saham TINS masih bergerak di zona merah, yakni melemah 1,4%.

Investor asing mulai mengoleksi saham TINS sebanyak Rp 3,9 miliar di pasar reguler pada pagi hari ini. Nilai transaksi saham TINS sudah mencapai Rp 64,5 miliar dengan volume transaksi yang diperdagangkan sebanyak 36,3 juta lembar saham.

Selanjutnya saham ANTM juga berhasil berbalik arah ke zona hijau pada pukul 09:24 WIB, yakni menguat 0,88% ke posisi Rp 2.300/unit. Sebelumnya pada pukul 09:11 WIB, saham ANTM masih bergerak di zona merah, yakni melemah 2,63%.

Senada dengan saham TINS, investor asing mulai mengoleksi saham ANTM sebanyak Rp 13,38 miliar di pasar reguler pada pagi hari ini. Tercatat nilai transaksi saham ANTM telah mencapai Rp 294,6 miliar dengan volume transaksi yang diperdagangkan sebanyak 130,3 juta lembar saham.

Namun untuk saham INCO, 24 menit setelah pasar dibuka masih bergerak di zona merah, di mana saham INCO masih terkoreksi hingga 2,69% ke Rp 4.700/unit.

Tak Seperti saham TINS dan ANTM, investor asing masih melepas saham INCO sebanyak Rp 52,9 miliar di pasar reguler pada pagi hari ini. Adapun nilai transaksi saham INCO pagi ini mencapai Rp 147 miliar dengan volume transaksi yang diperdagangkan sebanyak 31,3 juta lembar saham.

Untuk saham TINS dan ANTM, kemungkinan pendorongnya adalah kabar positif dari Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menyatakan holding perusahaan baterai di Indonesia akan terbentuk paling lambat Juli 2021.

Kementerian BUMN memang tengah membentuk konsorsium sejumlah perusahaan BUMN untuk membangun industri baterai terintegrasi dari hulu sampai hilir, namanya PT Industri Baterai Indonesia (IBI).

Ada empat BUMN yang terlibat dari kepemilikan holding BUMN baterai ini dengan masing-masing kepemilikan saham 25%. Mulai dari PT Pertamina (Persero), PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT PLN (Persero) dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) atau MIND ID.

Sebagai gambaran, PT IBI direncanakan bisa membuat baterai listrik hingga total berdaya 195 giga watt (GW) dengan mengonsumsi 150 ribu ton nikel per tahun. Tapi pada tahapan pertama dipatok hanya 33 GW produksi baterai listrik hingga 2030.

"Nilai investasi kalau 33 GW hingga 2030 itu sekitar US$ 13 miliar. Jika kapasitas naik 70% atau 140 GW pada tahap kedua, nilai investasi bisa mencapai US$ 17 miliar. Ini investasi juga dengan mitra luar negeri," jelas Komisaris Utama MIND ID, Agus Tjahajana Wirakusumah, dalam program 'Zooming With Primus: Prospek Pembentukan Holding Baterai' yang juga ditayangkan dalam kanal YouTube BeritaSatu, dikutip Selasa (9/3/2021).

Perusahaan ini juga akan menggandeng LG Energy Solution dan Contemporary Amperex Technology Co. Limited (CATL). Proyek ini juga akan melibatkan anak usaha MIND ID atau Inalum yakni ANTM dan PT Timah Tbk (TINS).

Adapun MIND ID juga memiliki 20% saham PT Vale Indonesia (INCO) yang bergerak di tambang nikel dan sudah diakuisisi tahun lalu.

Namun di tengah kabar baik tersebut ada kabar yang sedikit kurang baik bagi emiten nikel, di mana komunikasi yang masih berlangsung bukan membicarakan rencana investasi pabrik mobil listrik di Tanah Air.

Investasi yang dibicarakan adalah di Energy Storage System (ESS). Hal tersebut disampaikan oleh Deputi Investasi dan Pertambangan Kemenko Maritim dan Investasi (Marves) Septian Hario Seto.

Dia mengatakan investasi ESS telah dilakukan Tesla di Australia. Ini menjadi solusi untuk mengganti pembangkit listrik dengan sistem peaker, yang biasa digunakan saat permintaan listrik sedang tinggi.

"Dengan Tesla memang mereka juga melihat ESS yang mereka bangun di Australia. Ini solusi namun lebih arahnya untuk pengganti pembangkit yang peaker," paparnya dalam acara Future Energy Tech and Innovation Forum 2021 yang diselenggarakan Katadata secara virtual, Senin, (08/03/2021).

Sebagai informasi ESS ini seperti 'power bank' dengan giga baterai skala besar yang bisa menyimpan tenaga listrik besar hingga ratusan mega watt (MW). Selain itu bisa juga dijadikan sebagai stabilisator atau untuk pengganti pembangkit peaker (penopang beban puncak).

Adapun salah satu bentuknya yakni Battery Energy Storage System (BESS). Menurut definisi ITB, BESS banyak digunakan sebagai sumber penyedia/penyimpan energi baik untuk aplikasi bergerak seperti kendaraan listrik ataupun untuk aplikasi stasioner seperti peralatan telekomunikasi, data center, pembangkit listrik energi terbarukan, dan sistem kompleks seperti smart microgrid.

Sebelumnya, Tesla dikabarkan akan segera membangun pabrik mobil listriknya di Selat India, Karnataka pada tahun 2021. Hal tersebut membuat publik di negara ini menerka-nerka, apakah artinya perusahaan milik Elon Musk ini menghentikan rencana investasinya di Indonesia.

Bila mencermati penjelasan awal dari pihak pemerintah, tim percepatan baterai kendaraan listrik, bahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tergabung dalam pembentukan Indonesia Battery Holding yakni PT Pertamina (Persero), Tesla disebutkan masih berminat untuk berinvestasi di Indonesia, namun di sektor berbeda dari rencana investasinya di India tersebut.

Bila di India disebutkan mereka akan berinvestasi di pabrik mobil listrik, sementara di Indonesia dikabarkan mereka lebih berminat untuk berinvestasi di sistem penyimpanan energi atau ESS) atau seperti 'power bank' raksasa.

Berita Tesla masuk ini sempat menaikkan saham-saham emiten nikel di pasar modal. Namun setelah ada kabar Tesla di India, saham-saham nikel sempat berguguran.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular