Analisis

Siap Suplai Nikel ke Tesla, Ini Bedanya BHP vs ANTM-TINS-INCO

Ferry Sandria, CNBC Indonesia
05 March 2021 09:20
Dok BHP Nickel West
Foto: Dok BHP Nickel West

Jakarta, CNBC IndonesiaKabar Tesla Inc. kembali ramai. Kali ini giliran bos salah satu raksasa nikel dunia yang sesumbar akan memasok stok nikel untuk pabrikan mobil listrik besutan miliarder dunia Elon Musk tersebut. Musk memang sempat mencuit di Twitter kekhawatirannya soal stok nikel bagi suplai baterai mobil listriknya.

Adalah Edward Haegel, Presiden Aset BHP Nickel West, yang mengatakan bahwa pihaknya akan sangat terbuka terhadap peluang Tesla untuk menggunakan suplai nikel dari perusahaannya. Apalagi katanya, dilansir dari Kitco, saat ini sekitar 70% nikel yang BHP hasilkan sudah digunakan untuk mengembangkan baterai listrik di seluruh dunia.

BHP Nickel West adalah anak perusahaan yang keseluruhan sahamnya dipegang oleh BHP atau dulu bernama BHP Billiton. Ini adalah perusahaan perdagangan bagian dari BHP Group, perusahaan publik (emiten) yang juga memproduksi minyak bumi, tembaga, bijih besi dan batu bara.

BHP Group tercatat di banyak bursa efek dunia di antaranya London Stock Exchange (LSE), New York Stock Exchange (NYSE alias Wall Street), Bursa Efek Australia (Australian Securities Exchange/ASX), dan Johannesburg Stock Exchange (JSE).

Sebelumnya sempat berembus juga kabar bahwa Tesla akan memilih ke India untuk membangun pabrik perakitan mobil elektrik milik mereka, meskipun kabar ini sendiri masih belum pasti.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan sempat meluruskan isu ini pada gelaran Economic Outlook 2021 yang diselenggarakan oleh CNBC Indonesia.

Luhut memastikan hingga saat ini pihaknya masih bernegosiasi dengan pabrikan mobil listrik Tesla Inc. Kendati demikian, menurutnya, dirinya tidak pernah menyebut bahwa minat investasi Tesla di Indonesia terkait pembangunan pabrik mobil listrik.

Luhut menambahkan pemerintah sudah punya NDA (Non-Disclosure Agreement) dengan mereka, terkait enam bidang utama yakni Starlink, launching pad, hypersonic, battery lithium pack, stabilizer energi.

Terus bagaimana dengan sesumbar bos perusahaan pertambangan Inggris-Australia ini?

Bagaimana sebetulnya perbandingan kinerja BHP dengan BUMN-BUMN produsen nikel Tanah Air?

Berdasarkan laporan tahunan BHP, pada tahun 2020, perusahaan tersebut memiliki pendapatan sebesar US$ 42,931 milyar atau setara dengan 621,7 triliun rupiah, dengan EBITDA (laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi) US$ 22 milyar setara dengan Rp. 319,6 triliun.

Pendapatan dari pertambangan bijih besi adalah kontributor terbesar, yang mana hampir setengah dari total pendapatan BHP diperoleh dari komoditas ini.

Bagaimana untuk tambang nikel milik BHP?

Menurut laporan yang sama, tambang Nickel West mengalami kerugian pada tahun fiskal 2020 (periode 1 Juli 2019 - 30 Juni 2020), ambles 224% dari periode sebelumnya yang awalnya untung US$ 91 juta atau setara Rp 1,3 triliun (kurs Rp. 14482) menjadi rugi US$ 113 juta atau setara Rp 1,6 triliun.

Meskipun merugi, pendapatan tahun lalu malah naik 9% menjadi US$ 1,297 miliar atau setara Rp 18,7 triliun dari tahun sebelumnya US$ 1,193 miliar atau Rp 17,2 triliun.

Sedangkan untuk produksi nikel BHP Nickel West, turun 8% pada tahun 2020 akibat penutupan sementara smelter nikel di Kwinana untuk proses pemeliharaan.

Meskipun pendapatannya dari tambang nikelnya bisa dianggap setara dengan entitas tambang nasional, perlu dicatat bahwa Nickel West Australia disokong oleh BHP, konglomerasi tambang terbesar nomor 2 di dunia berdasarkan pendapatan tahunan.

Pendapatan BHP tahun 2019 mencapai US$ 43,6 miliar atau setara dengan Rp 610 triliun, lebih kecil dari raksasa tambang nomor 1 dunia, Glencore (US$ 220,1 miliar atau Rp 3.081 triliun) dan sedikit lebih besar dari perusahaan Inggris-Australian lain, Rio Tinto (US$ 40,7 miliar atau Rp 570 triliun).

Kinerja BHP 2018-2020/Ferry SandriaFoto: Kinerja BHP 2018-2020/Ferry Sandria
Kinerja BHP 2018-2020/Ferry Sandria

NEXT: Bedanya dengan ANTM-INCO-TINS

Lantas bagaimana dengan kinerja emiten mineral logam nasional?

Apakah perusahaan penambang logam dalam negeri sanggup untuk menyaingi perusahaan raksasa pertambangan dunia ini, tentu saja untuk nikelnya.

Pada tahun 2020 total penjualan BHP Nickel West mencapai US$ 1,297 miliar atau setara Rp 18,7 triliun, naik 9% dari tahun sebelumnya US$ 1,193 miliar atau Rp 17,2 triliun.

Jumlah pendapatan ini sebetulnya hampir sama dengan total penjualan PT Timah Tbk (TINS) tahun 2019 sebesar Rp 19,3 triliun.

Pada 2019, penjualan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) sedikit lebih kecil, yaitu Rp 11,3 triliun. Sedangkan untuk penjualan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) pada tahun yang sama hampir dua kali lipat BHP Nickel West yakni di angka Rp 32,7 triliun.

Baik ANTM maupun TINS masuk di bawah Holding BUMN MIND ID atau PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). ANTM dan TINS masuk anak usaha MIND ID bersama PT Bukit Asam Tbk (PTBA), sementara sebesar 20% saham INCO dimiliki oleh Inalum setelah pemegang saham terbesar INCO melakukan kewajiban divestasi.

Mengacu data kinerja per September 2020 atau Q3, satu dari tiga emiten raksasa tambang mineral itu mencatat penurunan penjualan year on year (YOY) yakni TINS.

Emiten yang berbasis di Pulau Bangka ini mengalami penurunan penjualan sebesar 18%. Adapun Aneka Tambang yang lini bisnisnya termasuk emas, bauksit dan juga timah mengalami kenaikan pendapatan 13% dan pendapatan Vale Indonesia yang utamanya menambang nikel juga naik 29%.

Tabel Kinerja TINS, INCO dan ANTM/Ferry SandriaFoto: Tabel Kinerja TINS, INCO dan ANTM/Ferry Sandria
Tabel Kinerja TINS, INCO dan ANTM/Ferry Sandria

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular