Analisis

Diam-diam, Deretan Investor Ini Cuan Gede dari Bank-bank Mini

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
05 March 2021 06:40
Dok. Nojorono

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham-saham bank mini alias bank umum dengan modal inti antara Rp 1-5 triliun (BUKU II) terus menunjukkan tajinya akhir-akhir ini. Aksi beli yang ramai dilakukan investor membuat saham-saham bank bermodal mini cepat meroket.

Pelaku pasar tampaknya masih memanfaatkan momentum 'naik daun' saham-saham tersebut. Penguatan saham bank kecil ini terjadi lantaran ada spekulasi masuknya investor luar untuk mencaplok bank-bank tersebut, terutama dari induk Shopee, Sea Group, dan investor Grab.

Pasalnya, bank-bank ini wajib menambah modal inti minimal menjadi Rp 2 triliun tahun ini dan Rp 3 triliun tahun depan sesuai ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sebab itu, sentimen ini membuat bank-bank ini terus merajai daftar top gainers di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Terbaru, Rabu lalu (3/3), tiga bank mini kembali berhasil menjadi top gainers yakni, PT Bank MNC Internasional (BABP), PT Bank Artha Graha Internasional (INPC) dan PT Bank Bumi Arta (BNBA).

Terbaru, BEI menghentikan perdagangan saham tujuh bank mini yakni PT Bank Harda Internasional Tbk (BBHI), PT Bank QNB Indonesia Tbk (BKSW), PT Bank IBK Indonesia Tbk (AGRS), dan PT Bank Maspion Indonesia Tbk (BMAS).

Lalu, ada juga BNBA, INPC, dan PT Bank Capital Tbk. (BACA).

Dengan melihat kenaikan luar biasa saham-saham bank mini tersebut, pertanyaannya adalah berapa banyak cuan atau potential gain yang didapatkan para pemegang sahamnya?

Untuk itu, Tim Riset CNBC Indonesia menggunakan 5 saham bank mini yang berhasil mencetak kenaikan tertinggi selama sebulan terakhir, berdasarkan perhitungan harga saham penutupan pasar Rabu (3/4), sehari sebelum suspensi besar-besaran saham bank mini di Kamis.

Kelima saham tersebut, yakni Bank Net Indonesia Syariah (BANK), Bank Bumi Arta (BNBA), Bank Artha Graha Internasional (INPC), Bank Ganesha (BGTG) dan Bank Maspion Indonesia (BMAS).

Dalam melakukan perhitungan, Tim Riset CNBC Indonesia menggunakan daftar pemegang saham baik publik maupun non publik, berdasarkan laporan keuangan perusahaan terakhir dan prospektus emiten yang tersedia di situs BEI.

NEXT: Investor Bank Net hingga Artha Graha

Bank Net Syariah (BANK)

Pertama, kita akan membahas cuan pemegang saham BANK, yang sudah meroket to the moon sampai 1.022.99%.

Berdasarkan prospektus perusahaan, tercatat ada tiga pemegang saham BANK. Ketiganya, PT NTI Global Indonesia sebagai pemegang saham mayoritas, PT Alphaplus Adhigana Asia, dan masyarakat.

NTI Global memegang 60,55% (7.988.245.746) saham. Sementara, PT Alphalus Adhigana Asia memiliki 204.826.814. Sisanya, investor publik 5.000.000.000 saham atau 37,90%.

Pada awal 2 Februari, harga saham BANK Rp 187/saham sehingga valuasi saham NTI global mencapai Rp 1,49 triliun. Tapi pada 3 Maret lalu saham BANK melesat jadi Rp 2.100/saham sehingga valuasi saham NTI menjadi Rp 16,78 triliun atau potensi cuan Rp 15,28 triliun.

Sementara itu, dengan perhitungan yang sama Alphalus berpotensi cuan Rp 391,83 miliar dalam sebulan terakhir.

Investor publik juga punya potensi gain mencapai Rp 9,56 triliun.

Dalam prospektus IPO disebutkan bahwa di balik nama NTI Global, ada pemegang saham pengendali terakhir (PSPT) alias beneficial ownership yakni pengusaha bernama John Dharma J Kusuma. Nama John Dharma J Kusuma terkait dengan salah satu raksasa rokok Tanah Air asal Kudus, Jawa Tengah.

Pemegang saham NTI Global/Prospektus Bank Net SyariahFoto: Pemegang saham NTI Global/Prospektus Bank Net Syariah
Pemegang saham NTI Global/Prospektus Bank Net Syariah

Dari beberapa literatur artikel dan situs resmi terkait, John adalah salah satu petinggi dari PT Nojorono Tobacco International (Nojorono), pabrik rokok dengan merek Minak Djinggo dan Class Mild. Saat ini perusahaan menduduki posisi kelima dalam industri rokok terbesar di Indonesia.

Situs resminya mencatat, Nojorono Kudus, merupakan salah satu perusahaan pelopor rokok kretek di Indonesia. Nojorono (baca: No-Yo-Ro-No) didirikan pada 14 Oktober 1932 oleh Ko Djee Siong dan Tan Djing Thay dan berpusat di Kudus, Jawa Tengah.

Secara berkala dimulai pada 1990, tongkat estafet dipercayakan kepada generasi ketiga keluarga Nojorono, yakni Stefanus JJ Batihalim, Harsono Djuhadi, John D Kusuma, Arifin Pamudji, dan L Surya Djuhadi.

Kini, John adalah pemegang saham terakhir NTI Global dan pengendali Bank Net Syariah, kendati tidak disebutkan bahwa NTI adalah bagian dari Nojorono, tapi besar kemungkinan berasal dari singkatan Nojorono Tobacco International.

Adapun Alphaplus adalah perusahaan jasa dengan pemegang saham yakni PT Sinergi Optima Solusindo 60%, Simon Subrata 35% (mantan partner di EY) dan Andi Gunawan 5% (mantan partner di Kendall Court ESG Capital Asia, dan Cambridge Fund).

Ternyata beneficial ownership dari Alphaplus adalah anak muda bernama Anthony Pradiptya.

Antnohy merupakan partner dari Kaesang, putra bungsu Presiden Jokowi, di bisnis GK Hebat, perusahaan induk yang berkantor di Generali Tower, Jakarta Selatan, yang membawahi sejumlah bisnis di antaranya Sang Pisang, Yang Ayam, Ternakopi, Siap Mas, Let's Toast, dan Enigma Camp.

Anak muda yang baru 34 tahun ini adalah putra Gandi Sulistiyanto, Managing Director Sinarmas Grup.

"Ya benar [putra saya]," kata Gandi, dalam pesan WhatsApp-nya kepada CNBC Indonesia, Sabtu (16/1/2021).

"Mohon doanya, mereka independen menentukan bisnisnya, tidak ada kaitan dengan posisi saya di Sinarmas. Saya orangtua hanya mendukung. Mereka startup, dan masih kecil. UMKM," kata Gandi.

Anthony masuk ke Bank Net Syariah lewat 'kendaraan' PT Gan Kapital. Mayoritas saham Alphaplus dipegang PT Sinergi Optima Solusindo, dan mayoritas saham Sinergi Optima dimiliki Gan Kapital, sementara Anthony punya 45% saham Gan Kapital.

Di jajaran direksi Gan Kapital, situs resmi mencatat, nama Anthony Pradiptya Gan sebagai CEO, Edwin Prasetya Gan sebagai Chief Operation Officer (COO), dan Wesley Harjono sebagai Chief Financial Officer (CFO).

Wesley juga menantu Gandi. Wesley, kepada CNBC Indonesia, mengatakan masuknya Gan Kapital di Bank Net Syariah dengan tujuan investasi di tengah tren digitalisasi.

Bank Bumi Arta (BNBA)

Berdasarkan laporan keuangan kuartal III 2020, pemegang saham pengendali BNBA adalah PT Surya Husada Investment yang menguasai 1.050.000.000 saham (45,45%). Sementara, PT Dana Graha Agung sebesar 27,27% (630.000.000 saham).

Lalu da PT Budiman Kencana Lestari yang memiliki 420.000.000 (18,18%) dan investor publik 9,10% (210.000.000).

Sebagai informasi, harga BNBA pada Rabu (3/3) adalah Rp 3.320/saham. Sementara, harga pada 2 Februari 2021 Rp 428/saham.

Dengan demikian, Surya Husada mencatatkan potential gain Rp Rp 3,03 triliun, Dana Graha cuan Rp 1,82 triliun, Budiman Kencana meraup keuntungan sebesar Rp 1,21 triliun. Terakhir, masyarakat menggondol keuntungan Rp 607, 32 miliar.

Bank Artha Graha Internasional (INPC)

INPC menjadi bank mini ketiga yang membukukan kenaikan tertinggi. Sebagai informasi, Wakil Komisaris INPC ialah pengusaha ternama Tomy Winata.

Lalu, siapa saja pemegang saham perusahaan?

Laporan keuangan per 30 September 2020 mencatat, investornya adalah PT Cakra Inti Utama mencatatkan kepemilikan 2.467.990.263 saham atau 15,62%.

Lalu secara berturut-turut, ada PT Cerana Artha Putra 1.322.157.253 saham atau 8,37%, PT Arthamulia Sentosajaya 830.745.581 saham atau 5,26%, PT Pirus Platinum Murni 825.529.475 saham atau 5,23%, dan PT Puspita Bisnispuri 825.529.472 saham atau 5,23%.

Kemudian, PT Karya Nusantara Permai memegang 712.647.774 saham atau 4,51% dan masyarakat 8.811.595.379 saham atau setara 55,78%.

Harga INPC pada Rabu (3/3) sebesar Rp 320/saham. Nah, oleh karena pada 2 Februari 2021 saham ini disuspensi, maka kita gunakan harga saham pada 1 Februari 2021, yakni Rp 67/saham.

Dengan demikian Cerata Artha mengantongi potensi cuan Rp 334,51 miliar, Arthamulia meraup Rp 210,18 miliar, Pirus Platinum Rp 208,86 miliar, dan Puspita Bisnispuri mencatatkan cuan Rp 208,86 miliar.

Dua terakhir, Karya Nusantara menggondol potential gain Rp 180,30 miliar dan pemegang saham publik mendapatkan Rp 2,23 triliun.

NEXT: Ada Alim Markus hingga Bank Asal Thailand

Bank Ganesha (BGTG)

Mari kita lanjut ke saham keempat, BGTG. Dengan merujuk ke laporan keuangan kuartal III 2020, pemegang saham pengendali BGTG adalah PT Equity Development Investment Tbk, yang menguasai 3.336.410.000 saham atau setara dengan 29,86%.

Kemudian, UOB Kay Hian Pte Ltd memiliki 1.388.305.300 saham atau 12,42%. Sisanya, saham BGTG dimiliki masyarakat sebesar 6.450.344.700 saham atau 57,72%.

Selanjutnya, oleh karena BGTG digembok alias suspensi pada Rabu (3/3), Tim Riset CNBC Indonesia menggunakan harga saham sebelum suspensi, pada 2 Maret 2021, yakni Rp 264/saham. Sementara, harga saham pada 2 Februari 2021, yakni Rp 68/saham.

Lalu, berapa keuntungannya?

Pertama, Equity Development sebagai pemegang saham mayoritas berpotensi mengantongi Rp 653,94 miliar. Kedua, UOB Kay Hian meraup Rp 272,11 miliar. Terakhir, masyarakat mencatatkan cuan Rp 1,26 triliun.

Bank Maspion (BMAS)

Saham bank milik pengusaha Alim Markus BMAS menempati peringkat kelima sebagai bank mini dengan lonjakan harga tertinggi selama sebulan.

Untuk menghitung cuan, Tim Riset CNBC Indonesia menggunakan pemegang saham BMAS di atas 5%, plus saham dengan sertifikat kolektif milik Alim Markus.

Merujuk ke laporan keuangan BMAS per 30 September 2020, PT Alim Investindo, yang merupakan entitas induk terakhir perusahaan, menguasai 2.755.359.197 saham atau 62,01%.

Kemudian, PT Maspion memiliki 553.537.980 saham atau 12,46%. Ketiga, Kasikornbank PublicCompany Limited mencatatkan kepemilikan 443.901.808 saham atau 9,99%.

Selanjutnya PT Guna Investindo memiliki 260.675.000 saham atau 5,87%. Kemudian, masyarakat porsinya 247.494.933 saham atau 5,56%.

Sementara, Alim Markus tercatat memiliki porsi saham di bawah 5%, yakni 54.315.807 saham atau 1,22%.

Harga saham BMAS pada Rabu lalu Rp 980/saham, sementara per 2 Februari sebesar Rp 340/saham.

Lantas, siapa yang paling cuan?

Tentu saja, Alim Investindo yang menguasai 2.755.359.197 saham menjadi yang paling cuan, senilai Rp 1,76 triliun. Di tempat kedua dibuntui oleh Maspion yang meraup Rp 354,26 miliar.

Selanjutnya, bank asal Thailand yang sejak tahun lalu dikabarkan akan membeli BMAS, Kasikornbank, berpotensi untung Rp 284,09 miliar.

Keempat, dari hitung-hitungan di atas, Guna Investindo mencetak untung Rp Rp104,53 miliar.

Nah, investor publik mencatatkan potential gain sebesar Rp91,62 miliar. Terakhir, sang big boss sendiri, Alim Markus, menggondol cuan Rp 34,76 miliar dalam sebulan terakhir.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular