Jakarta, CNBC Indonesia - Lazim dalam dunia perdagangan saham, ada kalanya suatu emiten memutuskan untuk hengkang dari bursa alias penghapusan pencatatan saham secara sukarela (voluntary delisting).
Alasan delisting sukarela tersebut bisa beragam, mulai dari adanya merger sampai akuisisi oleh perusahaan tertentu sehingga pemegang saham baru ingin menjadikan perusahaan yang diakuisisi itu menjadi tertutup (private). Ini berbeda kondisi dengan forced delisting alias delisting paksa akibat pelanggaran dari ketentuan Bursa Efek Indonesia (BEI).
Terbaru, emiten produsen ban, PT Multistrada Arah Sarana Tbk (MASA), berencana akan hengkang secara sukarela dari bursa alias go private usai dicaplok oleh produsen ban asal Prancis Michelin.
Lantas, apa yang bisa dilakukan investor jika ada suatu emiten yang melakukan delisting sukarela?
BEI sebetulnya sudah melakukan suspensi saham MASA di Semua Pasar mulai sesi I perdagangan Efek 2 Maret 2021 sehingga baik di pasar reguler maupun negosiasi ditutup.
Suspensi ini memang dilakukan oleh BEI ketika satu emiten mengajukan delisting secara sukarela guna tetap menjaga pasar saham tetap wajar, transparan dan efisien.
Dengan suspensi ini, maka investor sebaiknya tetap memperhatikan keterbukaan informasi yang disampaikan oleh perseroan untuk menunggu kabar mengenai tender offer atau tender sukarela.
Apabila mengacu pada sejumlah kasus terdahulu, emiten yang akan delisting akan melakukan pembelian kembali atas saham yang beredar di publik (tender offer) sebelum menghapuskan perdagangan sahamnya (delisting) dari bursa.
Nah, untuk itu mari kita melihat tiga kasus terdahulu, yakni PT Danayasa Arthatama (SCBD), PT Bank Nusantara Parahyangan (BBNP), dan PT Aqua Golden Mississippi Tbk (AQUA) yang sudah lebih dahulu keluar dari BEI dan menjadi perusahaan private.
SCBD
Pada 20 April 2020, perusahaan pengembang dan pengelola kawasan niaga terpadu Sudirman Central Business District, PT Danayasa Arthatama (SCBD), resmi keluar dari bursa setelah otoritas bursa merestui voluntary delisting perusahaan.
Mengikuti aturan BEI, sebelum delisting, SCBD melakukan penawaran tender sukarela untuk saham yang tersebar di publik.
Dalam prospektus yang disampaikan perusahaan waktu itu, jumlah saham perusahaan sasaran yang direncanakan untuk dibeli dalam penawaran tender sukarela tersebut sebanyak-banyaknya 2,12 juta saham atau setara 0,07% saham dari seluruh saham yang dikeluarkan dan disetor penuh.
Harga penawaran yang ditetapkan dalam penawaran tender tersebut sebesar Rp 5.365 per saham.
NEXT: Ada Aqua dari Danone
BBNP
Selain SCBD, voluntary delisting lainnya juga pernah terjadi sebelumnya, yakni oleh PT Bank Nusantara Parahyangan (BNP). BNP melakukan delisting sukarela setelah melakukan penggabungan usaha (merger) dengan PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN).
Penggabungan ini dilakukan setelah Mitsubishi UFJ Financial Group, Inc. (MUFG) menjadi pemegang saham mayoritas atas kedua bank tersebut.
Dalam kasus BBNP, setiap pemegang saham berhak memilih untuk tetap menjadi pemegang saham atau menjual saham yang dimilikinya.
Jika pemegang saham Bank Danamon memutuskan untuk menjual sahamnya, maka saham-saham tersebut dapat dijual kepada MUFG Bank dengan harga Rp9.590,00 per lembar saham.
Kemudian, jika pemegang saham Bank Nusantara Parahyangan memilih untuk menjual sahamnya, maka saham saham-saham tersebut dapat dijual dengan harga Rp4.088,00 per lembar saham.
AQUA
Kembali ke 10 tahun silam, tepatnya April 2011, produsen air minum asli Indonesia, PT Aqua Golden Mississippi Tbk (AQUA) juga tercatat memutuskan untuk go private dengan melakukan delisting sukarela di bursa. AQUA juga tercatat melakukan tender offer sebelum hengkang dari bursa.
Melansir pemberitaan Detik.com pada 23 Desember 2010, PT Tirta Investama, pemegang saham mayoritas AQUA menuntaskan penawaran tender (tender offer) atas sisa saham publik AQUA pada 22 Desember 2010.
Dengan demikian, Tirta Investama membeli 5,44% saham, atau setara dengan 716.387 lembar pada harga tender offer Rp 500.000 per saham. Adapun total dana yang telah dikeluarkan perseroan pun mencapai Rp 358,193 miliar. Saat itu banyak investor publik cuan besar dari tender offer ini.
Sebelum delisting, PT Tirta Investama menjadi pemilik mayoritas atas saham, atau menguasai 12.419.090 lembar (94,35%) saham AQUA. Sementara itu, sisa saham publik sebanyak 743.383 saham atau setara 5,65%.
Terhitung sebelumnya sudah dua kali AQUA ingin melakukan delisting sukarela, yakni pada 2001 dan 2005 usai dicaplok Danone. Akan tetapi, proses tersebut menemukan jalan buntu setelah tidak ada persetujuan dari pihak pemilik saham publik perusahaan.
MASA
Manajemen Multistrada melalui surat No. Ref: 0001/FA/MASA/III/21 tanggal 1 Maret 2021 mengajukan permohonan suspensi saham. "Perseroan menyampaikan rencana melakukan voluntary delisting dari Bursa Efek Indonesia dan go private," tulis pengumuman BEI, Selasa (2/3/2021).
Sebagai informasi, saat ini MASA adalah perusahaan ban dengan merek dagang Achilles. Saat ini saham perusahaan ini dikendalikan oleh Socgen SA Compagnie Generale Des Etablissements Michelin atau Michelin dengan kepemilikan 99,64%.
Dua tahun lalu atau Januari 2019, Compagnie Générale des Établissements Michelin resmi mengakuisisi PT Multistrada Arah Sarana. Perusahaan asal Perancis tersebut mengakuisisi 80% saham senilai US$ 439 juta atau Rp 6,2 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$). Sedangkan, sisanya adalah saham publik sebesar 0,36%.
Wakil Presiden Direktur MASA Eric Pierre Robert Vaillier mengatakan saat ini pangsa pasar Michelin di Asia Tenggara masih rendah. Setelah mencaplok Multistrada, Michelin menargetkan penjualan akan meningkatkan penetrasi di kawasan tersebut dengan menggunakan jaringan bisnis yang telah dimiliki MASA.
Meski sudah tidak menjadi pemegang saham, Pieter Tanuri tetap menjadi komisaris di perusahaan yang pertama kali mencatatkan saham perdana di BEI pada 9 Juni 2005 tersebut. Saat ini harga saham MASA sebelum suspensi berada di level Rp 1.360 per saham dengan nilai kapitalisasi pasar Rp 12,49 triliun.
TIM RISET CNBC INDONESIA