Yakin Mau Caplok Bali United, Mas Kaesang?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 March 2021 12:30
Kaesang Pangarep saat berada di acara peresmian Sang Pisang cabang ke 56 di kawangan Kemang, Jakarta Selatan (CNBC Indonesia/Fitriyah Said)
Kaesang Pangarep (CNBC Indonesia/Fitriyah Said)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bali United jadi pembicaraan belakangan ini. Bukan karena performa di lapangan, tetapi kasak-kusuk soal kepemilikan saham.

Beberapa hari lalu, Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), mengunggah foto dirinya di depan kantor Bali United. "Deal ya @BaliUtd?" demikian isi unggahan di Twitter itu.

Apakah Kaesang jadi pemilik baru Bali United? Seberapa besar kepemilikan saham Kaesang di sana? Apakah Kaesang jadi pemilik mayoritas?

Pertanyaan itu belum terjawab. Dalam cuitan-cuitan terbarunya di Twitter, Kaesang malah terkesan menyangkal bahwa dirinya memborong saham Laskar Tridatu.

Akan tetapi, mengutip catatan Refinitiv, ada perubahan komposisi kepemlikan saham Bali United. Seorang pemilik saham bernama Miranda (investor perseorangan) menjual 300.000 unit sahamnya. Kini saham Bali United milik Miranda tersisa 14,84 juta unit (0,25%).

Apakah saham milik Miranda itu beralih ke Kaesang? Belum ada yang tahu. Apalagi kemudian Kaesang malah menyatakan dukungannya ke sebuah klub yang berlaga di Liga 2. Kemungkinan besar Persis Solo, tim kebanggaan masyarakat Surakarta.

Halaman Selanjutnya --> Apakah Sepakbola Sudah Jadi 'Industri' di Indonesia?

Well, apapun itu 'ketertarikan' Kaesang terhadap Bali United adalah sesuatu yang menarik. Apalagi dengan statusnya sebagai investor saham ritel yang patut diperhitungkan.

Namun apakah saham PT Bali Bintang Sejahtera Tbk (BOLA) semenarik itu? Bagaimana prospek industri sepakbola nasional?

Bali United masih menjadi satu-satunya klub sepakbola di Tanah Air yang menjual saham di Bursa Efek Indonesia. Persib Bandung (PT Persib Bandung Bermartabat) sudah lama menggulirkan wacana serupa, tetapi zonder eksekusi sampai detik ini.

Di luar negeri, apalagi Eropa, klub sepakbola yang 'melantai' di pasar saham bukan hal aneh. Di Inggris ada Manchester United, di Italia ada Juventus dan AS Roma, di Jerman ada Borussia Dortmund.

Ini bisa dimaklumi karena sepakbola di Benua Biru sudah menjadi industri. Sepakbola bukan sekadar olahraga supaya sehat atau hiburan rakyat. Sepakbola adalah bisnis dan nilainya luar biasa.

Mengutip laporan firma keuangan Deloitte, 20 klub terkaya di Eropa meraup pendapatan EUR 8,2 miliar pada musim kompetisi 2019/2020. Berdasarkan data kurs tengah transaksi Bank Indonesia tertanggal 2 Maret 2021, EUR 1 setara dengan Rp 17.217,76. Jadi EUR 8,2 triliun setara dengan Rp 141,18 triliun. Luar biasa...

Oleh karena itu, singgungan antara sepakbola dan pasar keuangan menjadi mungkin. Sepakbola sudah menjadi industri yang bisa dikuantifikasi dengan uang.

Bagaimana dengan Indonesia? Well, sepertinya menyebut sepakbola sebagai industri saja belum layak...

Halaman Selanjutnya --> Liga Saja Tidak Ada

Bagi yang mengalami atau besar di dekade 1990-an, nama Padhyangan Project tentu tidak asing. Pada 1998, bertepatan dengan Piala Dunia 1998, Denny Chandra dan kolega merilis tembang berjudul Lagunya Lagu Bola (plesetan The Cup of Life yang dinyanyikan Ricky Martin).

Lagu itu sudah berumur lebih dari 20 tahun. Ironisnya, kok masih relevan dengan kondisi sekarang...

Rencananya Indonesia
'Kan menuju pentas dunia
Bagaimana itu bisa
Liga saja tidak ada...

Miris, kondisi 20 tahun lalu bisa masih kejadian. Memang ada pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang membuat seluruh dunia berhenti, termasuk sepakbola. Bahkan di Eropa, kompetisi sepakbola sempat mandek selama berbulan-bulan, malah ada yang membatalkan musim 2019/2020 seperti Prancis dan Belanda.

Namun kita tentu tidak bisa terlalu lama tenggelam dalam cemas dan duka. Hidup harus berjalan, tidak boleh berhenti. Sepakbola pun demikian, kompetisi kembali digulirkan meski dengan berbagai keterbatasan (yang paling mencolok laga tanpa penonton di stadion).

Tidak cuma di Eropa, sepakbola di Asia pun sudah melanjutkan hidupnya. Malaysia Premier League, Singapore Premier League, Thai League 1, semua sudah bergulir.

Liga 1 dkk? Hmmm...

Seperti di berbagai negara, kompetisi sepakbola berhenti total sejak Maret tahun lalu. Namun saat negara-negara lain sudah restart, Indonesia masih gelap.

Kini PT Liga Indonesia Baru (LIB) berencana kembali menggulirkan kompetisi pada 11 Juni 2021. Artinya, kompetisi baru dimulai lagi setelah lebih dari setahun berhenti. Itu pun dengan catatan tidak ada penundaan lagi.

Kalau gara-gara pandemi dan pertimbangan protokol kesehatan oke lah, bisa dimaklumi kalau kompetisi sepakbola terus tertunda karena nyawa adalah pertimbangan pertama dan paling utama. Masalahnya, jadwal kompetisi di mana hanya Tuhan yang tahu seperti ini terjadi hampir setiap tahun. Tidak ada yang tahu kapan kompetisi dimulai setiap musimnya, tidak ada jadwal yang pasti.

Ini membuat klub kesulitan membuat perencanaan. Kontrak pemain, sponsor, dan sebagainya menjadi penuh ketidakpastian. Sungguh bukan sebuah iklim yang sehat.

Kalau mau menjadi sepakbola menjadi industri seperti tambang, perbankan, dan lain-lain, maka pasarnya harus ada. Pelaku usaha tambang, perbankan, dan sebagainya dihargai oleh pelaku pasar kala menjadi yang terbaik di pasar, menjadi yang unggul dalam persaingan di antara perusahaan sejenis.

Untuk industri sepakbola, pasar itu adalah kompetisi atau liga. Di liga, setiap klub bersaing menjadi yang terbaik sehingga mendapat prestasi dan pengakuan. Namun, seperti lagu Padhyangan Project, liga saja tidak ada...

Mana pasarnya? Kalau tidak ada pasar, mau jualan apa?

Oleh karena itu, sepakbola di Ibu Pertiwi masih sangat jauh dari kata industri. Sepakbola masih cukup jadi hobi saja, jangan jadikan sepakbola sebagai ladang cari nafkah. Setidaknya untuk saat ini, semoga besok ada perbaikan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular