Curhat Achsanul Qosasi dan Upaya Menjual Sepakbola

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 February 2018 13:15
Hidayat Setiaji
Hidayat Setiaji
Lulusan Kriminologi FISIP UI yang berangan-angan melanjutkan kuliah, meski belum terwujud. Menjadi jurnalis sejak 2007, dari media lokal sampai internasional. Menggeluti jurnalisme ekonomi secara terpaksa, tapi akhirnya malah menjadi profesi tetap hingga k.. Selengkapnya
Ketidakjelasan jadwal, pembagian sponsorship, hak siar, dan berbagai sengkarut lainnya adalah hal yang rutin terdengar setiap tahun.
Foto: Reuters

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Saya bukan kids zaman now yang hidup di sekitaran Instagram. Saya anak Twitter sejati. Menurut saya Twitter yang seperti medan perang itu memberikan informasi-informasi yang kadang menarik, walau kadang bikin hati panas kalau tidak siap mental. 

Tapi saya tidak akan membahas soal media sosial. Again, let's talk about football.  

Beberapa hari yang lalu sebuah kicauan alias twit mampir di lini masa saya. Twit itu berasal dari Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang juga petinggi klub Madura United, Achsanul Qosasi. 

Berikut kicauan dari eks penggawa Komisi XI DPR tersebut:

Curhat Achsanul Qosasi dan Upaya Menjual SepakbolaTwitter
Apa yang dikeluhkan Achsanul sebenarnya merupakan masalah klasik di kompetisi sepakbola nasional. Ketidakjelasan jadwal, pembagian sponsorship, hak siar, dan berbagai sengkarut lainnya adalah hal yang rutin terdengar setiap tahun. Curhat Achsanul membangunkan kita, mengingatkan bahwa masalah belum selesai...

Untuk musim ini, awalnya Liga 1 direncanakan mulai 24 Februari 2018. Jelas tidak terwujud, tanggalnya sudah terlewat. Kemudian jadwal dimundurkan jadi 3 Maret 2018, dan kemudian mundur lagi menjadi 10 Maret 2018 (kalau tidak ada perubahan). 

Pengaturan Liga 1 pun terkesan, bagaimana ya... Saya tidak tega menulisnya. Ketika kompetisi dimulai pada 10 Maret, maka harus rampung Oktober. Hanya tujuh bulan. Tujuh bulan.  

Akibatnya, klub peserta harus main 6-7 kali dalam sebulan. Enam sampai tujuh kali dalam sebulan. Jadwal kompetisi dikebut karena padatnya agenda seperti penyelenggaraan Asian Games dan Piala AFF. 

Operator liga nasional saat ini adalah PT Liga Indonesia Baru (LIB). Sepertinya namanya saja yang baru, tetapi masalah yang dihadapi sama saja. Tidak kunjung selesai. 

Indonesia merupakan negara gila bola. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, dijamin tidak ada yang tidak kenal sepakbola. Ini semestinya menjadi modal yang kuat untuk membangun industri sepakbola nasional. 

Indonesia memiliki fans sepakbola yang terbilang fanatik. Ini juga merupakan modal untuk menapaki kompetisi sepakbola yang lebih prospektif dari segi ekonomi.

Buka-bukaan A la Jepang 

Sepakbola merupakan industri yang menjanjikan, kalau dikelola dengan beres. Untuk Liga 1 musim lalu, di mana dua perusahaan rintisan (start-up) kelas unicorn menjadi sponsor, ada guyuran dana yang disebut hingga Rp 180 miliar.  

Itu baru dari sponsor utama yang namanya diabadikan menjadi nama kompetisi. Masih ada lagi deretan sponsor lain yang menyokong Liga 1. Belum lagi bicara hak siar yang konon nilainya mencapai Rp 260 miliar. 

Masing-masing klub peserta Liga 1 dikabarkan mendapat pembagian sponsorship sekitar Rp 7,5 miliar. Satu klub kira-kira butuh minimal Rp 15 miliar untuk mengarungi semusim kompetisi, sehingga separuh dari kebutuhan tersebut sudah tertalangi dari "subsidi" operator liga. 

Namun, di tengah jalan muncul masalah klasik. Ternyata dari Rp 7,5 miliar jatah yang dijanjikan, klub-klub baru menerima Rp 5 miliar. Masalah tersebut (ditambah hal-hal lain) menyebabkan 15 dari 18 klub peserta sempat mengancam mogok. 

Sepertinya kok wajar kalau klub menuntut lebih, sampai mengancam mogok. Jika Anda perhatikan tulisan di atas, semua yang berbau angka ada embel-embel "disebut", "dikabarkan", atau "konon". Ini menggambarkan ketidakjelasan dan minimnya transparansi keuangan pengelolaan kompetisi. 

Apa yang terjadi di Indonesia bak bumi-langit dibandingkan dengan J-League di Jepang. Di Negeri Matahari Terbit, kompetisi dikelola dengan sangat profesional dan transparan. Laporan keuangan J-League sebagai operator dan klub-klub peserta bisa dengan mudah didapatkan di dunia maya.

jleague.jp
Soal hak siar pun J League buka-bukaan. Mulai 2017 hingga 10 tahun ke depan, J League memberikan hak siar kepada DAZN. Nilai kontrak dengan perusahaan asal Amerika Serikat ini mencapai 210 miliar yen (Rp 26,88 triliun).

Mengenai uang hadiah kepada klub peserta, J League pun tidak menyembukan kartu apapun. Dari pendapatan hak siar yang 210 miliar yen, juara liga mendapatkan 1,55 miliar yen (Rp 198,4 miliar) yang akan dibayarkan bertahap selama tiga tahun. Kemudian runner-up akan menerima 700 juta yen (Rp 89,6 miliar) yang juga diberikan bertahap selama tiga tahun. 

Kemudian juara tiga akan menerima 350 juta yen (Rp 44,8 miliar) yang pembayarannya dicicil dalam dua tahun. Lalu peringkat empat memperoleh hadiah 180 juta yen (Rp 23,04 miliar) yang diberikan dalam sekali pembayaran. 

Sementara tim juara J1 (kompetisi lapis dua di bawah J League) diganjar 300 juta yen (Rp 38,4 miliar), juara kedua dapat hadiah 120 juta yen (Rp 15,36 miliar), dan peringkat tiga dihadiahi 60 juta yen (Rp 7,68 miliar). Seluruh tim di J1 juga berhak atas "subsidi" sebesar 350 juta yen (Rp 44,8 miliar). 

Sedangkan tim yang terdegradasi dari J1 ke J2 diberikan "santunan" sebesar 130 juta yen (Rp 16,64 miliar) dan klub J2 yang turun kasta ke J3 mendapat hiburan berupa 90 juta yen (Rp 11,52 miliar). Lalu untuk tim juara Piala Liga mendapat hadiah 150 juta yen (Rp 19,2 miliar). 

J-League juga dikemas apik sehingga menjadi magnet bagi penonton. Jumlah penonton yang hadir di stadion semakin bertambah, yang menandakan bisnis berjalan lancar. 

Kini, dalam semusim lebih dari 5 juta penonton hadir di stadion untuk menyaksikan J-League. Sementara Liga 1 "hanya" mendatangkan penonton sebanyak 2.664.789 selama musim lalu.

jleague.jp
Galatama 

Padahal, legenda menyebutkan Jepang belajar soal kompetisi sepakbola profesional salah satunya dari Indonesia, khususnya Galatama yang sudah almarhum. Ciri khas Galatama terlihat dari klub-klub J League yang terafiliasi dengan perusahaan tertentu. Misalnya Urawa Red Diamonds (Mitsubishi Motors), Nagoya Gampus (Toyota), Gamba Osaka (Matsushita Electric alias Panasonic), atau Sanfrecce Hiroshima (Mazda). 

Apabila kompetisi sepakbola berjalan lancar, maka dampak ekonominya tidak main-main. Paling gampang dari tiket saja. Katakanlah J-League ditonton 5 juta orang tiap musimnya. Dengan harga tiket yang berkisar 2.000-15.000 yen (Rp 256.000-1,92 juta), maka dalam semusim potensinya mencapai 10-75 miliar yen (Rp 1,28- 9,6 triliun). Wow. 

Itu baru dari tiket. Selain sponsor liga, klub juga tentu menggaet sponsor masing-masing. Ini juga menjadi ladang uang yang menggiurkan. 

Ambil contoh Vegalta Sendai. Di J-League, tim ini hanya kelas medioker. Tapi klub asal Perfektur Miyagi ini masih mampu membukukan laba bersih sebesat 35 juta yen (Rp 4,48 miliar).  

Vegalta Sendai bisa meraih pendapatan dari sponsor sebesar 1,13 miliar yen (Rp 144,64 miliar). Sponsor yang masuk ke klub ini juga bukan sembarangan melainkan perusaaan besar seperti Kirin, Coca Cola, sampai Toyo Tires.
vegalta.co.jp
Itu yang terjadi kala kompetisi sepakbola dijalankan dengan benar. Dukungan, prestasi, dan uang akan datang dengan sendirinya. 

Indonesia masih perlu belajar banyak soal pengelolaan kompetisi agar bisa mendatangkan kebanggaan baik secara prestasi maupun bisnis. Jika dulu (konon kabarnya) Jepang belajar dari Galatama, mungkin ada baiknya sekarang kita belajar dari J-League.

Benar kata Achsanul. Kalau kompetisi Indonesia begini terus, bagaimana mau "dijual"...

(aji/aji)

Tags


Related Opinion
Recommendation