Nanjak Berhari-Hari, Dolar Singapura & Australia Akhirnya KO

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
24 February 2021 14:40
Australian dollars are seen in an illustration photo February 8, 2018. REUTERS/Daniel Munoz
Foto: dollar Australia (REUTERS/Daniel Munoz)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Singapura dan Australia terkoreksi melawan rupiah dalam 2 hari terakhir, meski masih tipis-tipis saja. Meski terkoreksi, bukan berarti rupiah sedang kuat, pergerakan tersebut lebih akibat koreksi teknikal setelah naik tajam sebelumnya.

Pada perdagangan Rabu (24/2/2021) pukul 13:40 WIB, SG$ 1 setara Rp 10.666,41, dolar Singapura melemah tipis 0,04% di pasar spot. Di waktu yang sama, dolar Australia melemah 0,01% saja ke 11.144,05/AU$.

Sebelumnya kedua mata uang ini sudah menguat 4 hari beruntun hingga Senin lalu. Selama periode tersebut dolar Singapura menguat 2,26% dan berada di level tertinggi lebih dari 3 bulan terakhir.

Sementara dolar Australia menguat lebih tinggi lagi, 3,44%, dan mencapai level tertinggi sejak pertengahan 2014.

Dolar Australia menjadi mata uang yang menguat paling tajam melawan rupiah sepanjang tahun ini. Kenaikan harga komoditas atau yang disebut commodity boom, menjadi penopang penguatan dolar Australia.

Harga komoditas ekspor utama Australia, bijih besi, juga masih di dekat rekor tertinggi sepanjang masa, saat perekonomian terus membaik, bukan tidak mungkin harga bijih besi kembali mencatat rekor baru.

Selain bijih besi, harga tembaga juga meroket ke US$ 9.000/ton untuk pertama kalinya sejak tahun 2011 Senin kemarin. Kemudian nikel diperdagangkan di atas US$ 20.000/ton, pertama kalinya sejak 2014.

Di tahun ini diperkirakan menjadi awal dari supercycle komoditas, atau periode panjang kenaikan harga komoditas.

Kenaikan harga-harga komoditas di tahun ini dikatakan sebagai awal dari siklus tersebut, dan akan masuk ke dalamnya mulai tahun depan.

Profesor ekonomi terapan di John Hopkins University, Steve Hanke, dalam wawancara dengan Kitco, Selasa (22/12/2020), mengatakan komoditas akan memasuki fase supercycle tersebut pada tahun 2021 mendatang.

"Supply sangat terbatas, stok rendah, dan ekonomi mulai bangkit dan maju ke depan, harga komoditas akan naik dan memulai supercycle. Saya pikir saat ini kita sudah melihat tanda awalnya," kata Hanke, sebagaimana dilansir Kitco.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Belum Lepas Resesi, Kurs Dolar Singapura-Australia Bangkit

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular