Rupiah Menguat Sih, Tapi Kok Rawan Ya...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 February 2021 09:35
Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Pelemahan rupiah yang sudah lumayan dalam membuatnya punya ruang untuk bangkit.

Pada Selasa (23/2/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.100 kala pembukaan perdagangan pasar spot. Rupiah menguat 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,36% di hadapan dolar AS. Mata uang Tanah Air tidak pernah finis di zona hijau sejak 16 Februari 2021. Mulai saat itu hingga kemarin, depresiasi rupiah mencapai 1,44%.

Oleh karena itu, rupiah kini sudah 'murah'. Rupiah yang 'murah' ini menjadi menarik di mata investor sehingga permintaan pun meningkat.

Halaman Selanjutnya --> Lagi-lagi Obligasi...

Akan tetapi, rupiah tetap perlu waspada. Sebab, situasi di luar sedang kurang kondusif.

Dini hari tadi waktu Indonesia, bursa saham New York ditutup merah. Indeks Dow Jonws Industrial Average (DJIA) memang naik tipis 0,09% tetapi S&P 500 terkroeksi 0,77% sementara Nasdaq Composite ambles 2,46%. Kali terakhir DJIA ditutup menguat sedangkan Nasdaq rontok lebih dari 2,4% adalah pada 29 Mei 2001.

Lagi-lagi penyebab gonjang -ganjing di Wall Street adalah imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Pada pukul 07:47 WIB, yield US Treasury Bond tenor 10 tahun berada di 1,3687%. Sejak awal bulan ini, yield melesat 26 basis poin (bps) dan kemungkinan bisa mencatat kenaikan bulanan tertinggi dalamtiga tahun terakhir.

"Investor punya pandangan bahwa kenaikan yield obligasi berarti mulai ada risiko tekanan inflasi. Saat ini sedang terjadi keresahan di pasar," kata Lindsey Bell, Chief Investment Strategist di Ally Invest yang berbasis di North Carolina (AS), seperti dikutip dari Reuters.

Sejauh ini laju inflasi memang masih lambat. Inflasi yang diukur dari Personal Consumption Expenditure (PCE) ini pada Januari 2021 berada di 1,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Melambat dibandingkan Desember 2020 yang sebesar 1,61% dan masih jauh di bawah target bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) yakni 2%.

Halaman Selanjutnya --> Ekonomi AS Kian Menggeliat

Namun ada sinyal laju inflasi bakal terakselerasi. Soalnya, aktivitas ekonomi di Negeri Paman Sam semakin pulih dan membaik.

The Fed cabang Texas merilis data indeks manufaktur yang pada Februari 2021 adalah 17,2. Melonjak 10,2 poin dibandingkan bulan lalu dan menyentuh titik tertinggi sejak Oktober 2020.

Kemudian The Fed cabang Chicago melaporkan National Activity Index pada Januari 2021 sebesar 0,66. Naik dari bulan sebelumnya yang sebesar 0,41 dan menjadi yang tertinggi dalam tiga bulan terakhir.

Ada lagi. Pada Januari 2021, penjualan rumah bekas (existing) tercatat 6,69 juta unit. Naik 0,6% dibandingkan bulan sebelumnya dan di atas konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan perkiraan 6,61 juta unit.

Secara YoY, penjualan rumah pre-loved ini melejit 23,7%. Penjualan terus naik dalam 107 bulan tanpa henti.

"Penjualan rumah terus memainkan perannya dalam memulihkan ekonomi. Suku bunga rendah plus rencana stimulus fiskal dan vaksin anti-virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang sudah tersedia membuat outlook sektor properti tahun ini sepertinya solid," tegas Lawrence Yun, Kepala Ekonom US National Association of Realtor (NAR), seperti dikutip dari keterangan tertulis.

Berbagai data itu membuktinya ekonomi Negeri Adidaya semakin menggeliat dan siap bangkit. Pemulihan ekonomi akan ditandai oleh kenaikan permintaan sehingga menimbulkan tekanan inflasi.

Apabila ternyata laju inflasi terakselerasi lebih cepat dari perkiraan, maka bukan tidak mungkin The Fed akan mempertimbangkan untuk mengurangi 'dosis' stimulus moneter. Diawali dengan mengurangi pembelian surat berharga, kemudian disusul oleh kenaikan suku bunga acuan.

Ketua The Fed Jerome 'Jay' Powell dijadwalkan akan memberikan paparan di hadapan Komite Perbankan Senat dan Komite Jasa Keuangan House of Representitives. Dalam paparan ini mungkin akan ditemukan jawaban bagaimana kira-kira arah kebijakan moneter ke depan. Apakah Powell menjadi kurang dovish lagi, kita bisa lihat di paparan nanti.

Sembari menunggu 'kode' dari Powell, sepertinya pelaku pasar sedikit menahan diri, lebih baik wait and see dulu. Sikap ini bisa mengurangi aliran modal asing ke pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Jika ini terjadi, maka nasib rupiah menjadi penuh tanda tanya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular