Rupiah Keok ke Rp 14.110/US$, tapi Bukan yang Terburuk Asia

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah cukup tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (22/2/2021), dan semakin menjauhi level psikologis Rp 14.000/US$.
Bank Indonesia (BI) yang menurunkan suku bunga dan yield obligasi (Treasury) AS yang terus menanjak membuat rupiah terpukul.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di level Rp 14.060/US$. Setelahnya rupiah terus melemah hingga menyentuh Rp 14.120/US$ atau 0,43%.
Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.110/US$, melemah 0,36%.
Meski pelemahan tersebut cukup tajam, tetapi masih ada yang lebih buruk lagi di Asia. Mayoritas mata uang utama Asia memang melemah melawan dolar AS hari ini, hingga pukul 15:07 WIB, won Korea Selatan menjadi yang terburuk dengan pelemahan 0,79%.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.
Tren kenaikan yield Treasury AS terus menekan rupiah. Yield Treasury AS tenor 10 tahun sepanjang pekan lalu naik 14,5 basis poin (bp) menjadi 1,345%. Level tersebut merupakan yang tertinggi sejak Februari tahun lalu, atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi. Sementara hari ini kembali naik 4,07 bp ke 1,3857%.
Kenaikan yield Treasury tersebut tentunya membuat obligasi (Surat Berharga Negara/SBN) kurang menarik, sebab selisihnya semakin menyempit, apalagi dengan BI yang kembali memangkas suku bunga tentunya yield SBN akan terus menurun. Sebagai aset negara emerging market, SBN perlu yield yang tinggi untuk menarik investor.
Ketika selisih yield semakin menyempit, maka risiko capital outflow semakin meningkat dari pasar obligasi dalam negeri, yang dapat menekan rupiah.
BI kenaikan yield obligasi (Treasury AS), yang mencapai level tertinggi dalam 1 tahun terakhir.
Yield Treasury AS tenor 10 tahun sepanjang pekan ini naik 14,5 bp menjadi 1,345%. Level tersebut merupakan yang tertinggi sejak Februari tahun lalu, atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi.
Kenaikan yield Treasury tersebut tentunya membuat obligasi (Surat Berharga Negara/SBN) kurang menarik, sebab selisihnya semakin menyempit, apalagi dengan BI yang kembali memangkas suku bunga tentunya yield SBN akan terus menurun. Sebagai aset negara emerging market, SBN perlu yield yang tinggi untuk menarik investor.
Ketika selisih yield semakin menyempit, maka risiko capital outflow semakin meningkat dari pasar obligasi dalam negeri, yang dapat menekan rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article The Fed Tetap Tegas, Rupiah Tetap Liar!
