Mahal tapi Diborong, PBV Tak Cocok Buat Valuasi Bank Digital?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
20 February 2021 18:40
Ilustrasi IHSG
Foto: Layar monitor menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan saham. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Setelah akusisi tersebut, harga saham bank-bank mini tersebut meroket, valuasinya naik berlipat-lipat hingga menjadi sangat mahal. Bank Jago menjadi yang paling mencolok. Jika dilihat dari price to book value (PBV), ARTO kini mencapai 76,70 kali. Sementara Bank Harda 9,88 kali, dan Bank Bumi Arta 1,78 kali.

PBV merupakan penilaian harga saham dengan nilai buku perusahaan. Saham yang memiliki rasio PBV besar, artinya valuasi tinggi (overvalue). Sementara saham dengan PBV di bawah 1 kali, punya valuasi murah.

Dibandingkan dengan bank-bank raksasa Tanah Air, rasio PBV calon bank digital tersebut jauh lebih tinggi, kecuali BNBA.

PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI) misalnya, bank dengan nilai aset terbesar di Indonesia ini memiliki rasio PBV 2,9 kali, jauh di bawah BBHI dan ARTO.

Kemudian PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), bank dengan kapitalisasi pasar terbesar ini memiliki rasio PBV 4,5 kali, juga di bawah BBHI dan ARTO.

Salah satu pemicu meroketnya saham-saham calon bank digital tersebut adalah para raksasa yang ada dibaliknya. Meroketnya saham ARTO terjadi setelah Gojek mengakusisi 22% sahamnya pada Desember 2020 lalu.

Gojek resmi mengakusisi ARTO pada 18 Desember lalu, tetapi isunya sudah muncul sejak lama. Saham ARTO mulai menunjukkan tanda-tanda melesat sejak awal Desember.

Pada akhir November, harga saham Rp 2.980 per saham, setelahnya terus meroket hingga menyentuh Rp 9.375 per saham Jumat kemarin, artinya meroket nyaris 215%.

Dengan akusisi tersebut, bisnis ARTO tentunya akan meluas secara signifikan, sebab Gojek memiliki jutaan pelanggan.

Manajemen Gojek juga menegaskan tujuan utama dari kolaborasi strategis ini adalah menyediakan layanan perbankan digital melalui platform Gojek, sehingga jutaan pelanggan Gojek dapat membuka rekening Bank Jago dan mengelola keuangan lebih mudah lewat aplikasi Gojek.

Sama dengan ARTO, ada e-commerce Shopee, dibalik meroketnya harga saham BNBA. Padahal kabar akusisi tersebut masih sebatas bisik-bisik di pasar.

Jika dilihat dari rasio PBV, saham ARTO tentunya sudah sangat mahal, apalagi secara kinerja masih membukukan kerugian sebesar Rp 130 miliar pada periode Januari-September 2020 lalu.

Lantas, kenapa saham ARTO masih terus menanjak, bahkan mencapai rekor tertinggi sepanjang masa pada Jumat kemarin. Apakah rasio PBV yang biasa digunakan untuk mengukur valuasi bank konvensional sudah tidak seusai digunakan pada bank digital?

Para investor sepertinya menggunakan pendekatan Gross Merchant Value (GMV) dalam menentukan valuasi ARTO. Sebab, ada Gojek di belakangnya yang merupakan starup raksasa Indonesia.

Melansir Investopedia, GMV merupakan akumulasi nilai pembelian dari pengguna melalui situs atau aplikasi dalam periode tertentu. GMV ini digunakan untuk mengukur pertumbunhan bisnis.

Pengamat pasar modal dan Dosen Sekolah Bisnis Manajemen Institut Teknologi Bandung (ITB), Erman Sumirat, mengatakan saat ini perhitungan valuasi saham-saham menggunakan teknologi sebagai backbone bisnis banyak divaluasi dengan GMV.

Padahal, menurutnya investor publik yang mau berinvestasi di saham teknologi sebaiknya tidak hanya melihat GMV sebagai patokan, melainkan fundamental keuangan secara lebih mendalam beserta analisis model bisnis yang berkelanjutan.

"Investor publik retail harus melihat prospektus secara mendetail seperti neraca, laporan arus kas, rugi laba walaupun prospek dan pertumbuhan gross merchant value (GMV) dari perusahaan ini sangat besar. Di situ kuncinya," tukas Erman.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular