
Miris! Bukannya Cuan, 6 Saham Ini Terancam Didepak dari Bursa

Pada 29 Januari 2021, BEI mengingatkan Golden Plantation atau GOLL bahwa saham perusahaan sudah disuspensi atau perhentian sementara perdagangan selama 24 bulan pada 30 Januari lalu. Dengan demikian, GOLL sudah memenuhi kriteria delisting di bursa.
Akan tetapi, saham GOLL belum dihapus dari daftar pencatatan bursa hingga saat ini. Melalui surat kepada BEI pada 28 Januari 2021, Sekretaris Perusahaan GOLL Felicia Lukman menjelaskan, emiten sawit ini tidak memiliki intensi untuk delisting dari BEI.
Menurut penjelasan Felicia di dalam suratnya, pailitnya dua anak perusahaan GOLL yakni PT Bumiraya Investindo dan PT Airlangga Sawit Jaya, sangat berdampak pada keuangan perseroan. Ini karena keduanya merupakan salah satu kontributor terbesar dari pendapatan GOLL.
"Perseroan dalam upaya memperbaiki kinerja keuangan dan operasional serta untuk mempertahankan going concern Perseroan Perseroan masih berupaya untuk mendapatkan investor untuk mendukung rencana bisnis Perseroan ke depannya.
Hal ini juga didukung oleh pemegang saham Perseroan yang terlibat langsung dalam usaha untuk mencari investor yang tepat untuk mengatasi kondisi Perseroan saat ini dan mempertahankan going concern Perseroan," demikian tulis Felicia.
Selain GOLL, Bakrie Telecom atau BTEL juga berpotensi keluar dari bursa pada 27 Mei 2021.
Tercatat emiten Grup Bakrie ini sudah disuspensi selama 20 bulan sehingga tersisa 4 bulan lagi untuk mencapai periode delisting.
Sebagai informasi, dalam laporan keuangan perseroan per 30 September 2020, BTEL hanya memiliki total aset sekitar Rp 4,54 miliar. Angka ini mengalami penurunan dari periode akhir tahun 2019 yang saat itu masih sekitar Rp 11,23 miliar.
Ironisnya, utang yang dimiliki perseroan per 30 September 2020 masih terbilang besar, yakni Rp 9,67 triliun. Walaupun sudah mengalami penurunan, namun tingkat utang masih lebih besar dibandingkan dengan aset yang dimilikinya.
Hal tersebut menunjukkan aset yang dimiliki perusahaan terbilang rendah dibandingkan dengan tingkat utangnya.
Utang tersebut terdiri atas Rp 1,1 triliun utang jangka pendek dan Rp 8,57 triliun utang jangka Panjang. Adapun utang jangka panjang tengah diselesaikan melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Hal ini tentunya menyebabkan perusahaan mengalami defisiensi modal, karena tingkat kewajibannya yang lebih besar dibandingkan dengan aset yang dimilikinya.
Dari posisi laba (rugi) perusahaan, per 30 September 2020, BTEL mencatatkan rugi bersih sebesar Rp 60,17 miliar. Padahal pada periode yang sama tahun 2019, BTEL masih mencatatkan laba bersih sebesar Rp 7,17 miliar.
Sedangkan pendapatan usaha perseroan juga menyusut 25% menjadi Rp 3,04 miliar per 30 September 2020. Perseroan juga mencatatkan rugi usaha sebesar Rp 7,68 miliar per 30 September 2020.
NEXT: Simak emiten berikutnya, AirAsia hingga Sugih
(tas/tas)