
Cuan Emas Kurang Nendang, Dihajar Habis-habisan Oleh Bitcoin

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia perdagangan pekan ini bergerak menguat, setelah pada pekan lalu harga emas anjlok hingga 1% lebih.
Pada perdagangan jumat (12/2/2021) akhir pekan ini, harga logam mulia ini melemah 0,1% ke level US$ 1.823,46/troy ons. Namun Selama sepekan terakhir, harga emas malah menguat 0,65%.
Harga emas dunia memang masih dalam tren penguatan sepanjang pekan ini, sebab indeks dolar Amerika Serikat (AS) masih dalam tekanan. Namun jika dilihat sejak awal tahun, harga emas sebenarnya masih menurun.
Melansir data Refinitiv, harga emas dunia sepanjang tahun ini hingga Kamis (11/2/2021) kemarin membukukan pelemahan 2,9%.
Emas sebenarnya menjadi aset yang digadang-gadang akan bersinar di tahun ini. Sebab, faktor-faktor yang mendukung emas untuk melesat masih ada.
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menegaskan masih akan mempertahankan kebijakan moneter longgar. Suku bunga masih tetap rendah dibawah 0,25% dan akan dipertahankan hingga tahun 2023, sementara program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan masih belum akan dikurangi.
Kemudian, Pemerintah AS di bawah komando Presiden Joseph 'Joe' Biden, akan menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun, dan kemungkinan besar akan cair dalam beberapa pekan ke depan.
Stimulus moneter dan fiskal merupakan bahan bakar utama emas untuk menanjak. Di tahun lalu keduanya membuat emas dunia mencetak rekor tertinggi sepanjang masa US$ 2.072,49/troy ons pada 7 Agustus 2020, dan emas Antam di Rp 1.065.000/batang di waktu yang sama.
Namun, pergerakan sejak awal tahun ini seperti menunjukkan emas kehabisan tenaga untuk menguat. Jika terus demikian, maka investasi di emas tentunya berisiko merugi.
Sebab, emas merupakan aset tanpa imbal hasil, 'cuan' hanya didapat dari kenaikan selisih harga beli dan harga jual. Jika membeli emas di akhir tahun lalu, hingga saat ini tentunya masih merugi.