Keperkasaanmu Hanya Sementara! Camkan Itu, Dolar AS

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 February 2021 10:15
dolar-Rupiah
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah pun merah di perdagangan pasar spot.

Pada Kamis (11/2/2021), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.011. Rupiah melemah 0,16% dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Mata uang Tanah Air juga lesu di arena pasar spot. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 13.990 di mana rupiah melemah 0,07%.

Kala pembukaan pasar spot, rupiah masih stagnan di Rp 13.980/US$. Namun dalam hitungan menit, rupiah berbalik masuk zona merah meski depresiasinya tipis saja.

Seperti rupiah, mayoritas mata uang utama Asia pun melemah di hadapan dolar AS. Hanya yuan China, won Korea Selatan, dolar Singapura, dan baht Thailand yang mampu menguat.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning di perdagangan pasar spot pada pukul 10:05 WIB:

Halaman Selanjutnya --> Dolar AS Boleh Menguat, Tapi Itu Fana Belaka!

Setelah beberapa saat tertekan, dolar AS mulai bangkit. Tidak hanya di Asia, tetapi juga di level dunia.

Pada pukul 09:24 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,07%. Penguatan ini terjadi setelah Dollar Index ambles 1,2% dalam sepekan terakhir.

Namun sepertinya apresiasi dolar AS hanya riak-riak kecil di samudera luas. Samudera itu adalah tren pelemahan yang sepertinya membayangi mata uang Negeri Paman Sam beberapa waktu ke depan.

Prospek aset berisiko masih cerah. Penyebabnya adalah tren kebijakan moneter ultra-longgar yang sepertinya masih akan dilakukan oleh bank sentral. Dalam pidato di Economic Club of New York, Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Jerome 'Jay' Powell menegaskan bahwa butuh komitmen bersama untuk mewujudkan penciptaan lapangan kerja yang maksimal (maximum employment).

"Dengan begitu banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan dan mungkin masih akan sulit mendapat pekerjaan selepas pandemi, mencapai maximum employment tidak hanya membutuhkan dukungan kebijakan moneter. Diperlukan komitmen nasional, dengan kontribusi dari pemerintah dan sektor swasta," tegas Powell, sebagaimana diwartakan Reuters.

Apalagi inflasi di AS masih 'jinak'. Pada Januari 2021, inflasi tercatat 0,3% secara bulanan (month-to-month/MtM) dan 1,4% secara tahunan (year-on-year/YoY). Masih cukup jauh dari target The Fed yaitu 2%.

"Seiring dengan mulai dibukanya aktivitas ekonomi, konsumsi masyarakat meningkat. Akan ada tekanan harga, walau perkiraan saya belum akan besar," kata Powell.

Halaman Selanjutnya --> Pasar Negara Berkembang Janjikan Cuan

Inflasi yang rendah, plus kebutuhan untuk mencapai maximum employment, semakin mempertegas bahwa tren suku bunga mendekati 0% masih akan bertahan dalam waktu yang tida sebentar. Dotplot teranyar dari The Fed memperkirakan suku bunga acuan kemungkinan baru naik pada 2023, atau mungkin lebih lama.

"Kebijakan moneter longgar akan menetap dalam waktu lama, dan itu negatif bagi dolar AS. Akan sulit bagi dolar AS untuk menguat saat kebijakan moneter masih akomodatif," kata Imre Speizer, Currency Analyst di Westpac, seperti dikutip dari Reuters.

Suku bunga rendah berarti imbalan investasi di AS juga ikut rendah. Padahal likuiditas sedang membludak karena The Fed masih menggelontorkan stimulus moneter, ditambah bakal ada stimulus fiskal dari pemerintahan Biden.

Investor tentu ingin uang ini 'beranak' dan pasar AS tidak bisa menjanjikan itu. Akibatnya, arus modal akan terus mengalir ke pasar yang memberi iming-iming cuan gede.

Cuan itu ada di pasar negara-negara berkembang, yang suku bunganya relatif lebih tinggi ketimbang AS. Berdasarkan catatan Refinitiv, indeks Morgan Stanley Composite Emerging Markets (MSCI EM) sejak awal tahun ini sudah naik lebih dari 10%. Sementara indeks S&P 500 di Wall Street 'hanya' naik sedikit di bawah 4%.

indeksSumber: Refinitiv

"Pasar negara berkembang sangat menjanjikan. Negara berkembang diuntungkan oleh pemangkasan suku bunga dan injeksi likuidits bank sentral," kata Dara White, Global Head of Emerging Markets Equity di Columbia Threadneedle Investment, seperti dikutip dari Reuters.

Blackrock Investment Institute kini menempatkan aset-aset negara berkembang di posisi overweight. "Kami melihat pasar negara berkembang akan menikmati gelombang pemulihan ekonomi pada 2021 karena vaksinasi anti-virus corona," sebut Blackrock Investment Institute dalam risetnya.

So, ke depan sepertinya arus modal akan cenderung menghindari aset-aset berbasis dolar AS dan masuk ke negara berkembang. Indonesia tentu jadi salah satu tujuan utamanya. Oleh karena itu, prospek rupiah masih akan cerah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular