Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (29/1/2021), di saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jeblok.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,14% di Rp 14.030/US$. Rupiah sempa berbalik melemah 0,18% ke Rp 14.075/US$, sebelum kembali ke Rp 14.030/US$ dan tertahan di level tersebut nyaris sepanjang perdagangan. Beberapa menit sebelum perdagangan ditutup, apresiasi rupiah bertambah dan berakhir di Rp 14.020/US$.
Mayoritas mata uang utama Asia melemah melawan dolar AS hari ini, sehingga rupiah dengan penguatan 0,21% menjadi juara alias yang terbaik di Asia. Hingga pukul 15:03 WIB, selain rupiah hanya peso Filipina yang menguat, itu pun tipis 0,05%.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.
IHSG pada perdagangan hari ini kembali jeblok hingga nyaris 2% ke 5.862,352. Artinya sudah 7 hari beruntun bursa kebanggaan Tanah Air ini merosot.
Jatuhnya IHSG juga sedikit berbeda dibandingkan sepanjang pekan ini. Dalam 4 hari sebelumnya, meski IHSG merosot investor asing masih melakukan beli bersih (net buy) lebih dari Rp 500 miliar. Sementara hari ini justru jual bersih (net sell) nyaris 1 triliun.
Ambrolnnya IHSG serta capital outflow yang terjadi seharusnya memberikan tekanan bagi rupiah. Selain itu fakta melemahnya mata uang utama Asia lainnya menunjukkan dolar AS cukup kuat pada hari ini.
Sehingga ada kemungkinan Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi guna menstabilkan nilai tukar rupiah hari ini.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Dolar AS Sedang Naik Turun
Pada Rabu lalu, indeks dolar AS melesat 0,53%, tetapi kemarin kemarin mengalami koreksi 0,21% ke 90,455 setelah produk domestik bruto (PDB) kuartal IV-2020 yang tumbuh 4% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized), lebih rendah dari prediksi para ekonom yang disurvei Dow Jones sebesar 4,3%.
Namun pada hari ini, indeks dolar AS kembali naik 0,34% ke 90,764 akibat rontoknya bursa saham global yang menjadi indikasi memburuknya sentimen pelaku pasar.
Rilis data PDB AS sebenarnya mengkonfirmasi pernyataan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) jika pemulihan ekonomi AS mengalami pelambatan. Dengan demikian The Fed kemungkinan akan mempertahankan kebijakan ultra longgar dalam waktu yang lama, bahkan ada kemungkinan program pembelian aset (quantitative easing/QE) akan ditambah jika pemulihan ekonomi terus memburuk.
Hal tersebut tentunya akan menekan dolar AS ke depannya.
Pada Kamis dini hari kemarin The Fed di bawah komando Jerome Powell mengumumkan mempertahankan suku bunga di rekor terendah <0,25% dan QE senilai US$ 120 miliar per bulan.
"Perekonomian masih jauh dari target inflasi dalam kebijakan moneter kami, dan kemungkinan membutuhkan waktu beberapa lama untuk mencapai kemajuan yang substansial. Kebijakan masih akan "sangat akomodatif saat pemulihan sedang berlangsung," kata ketua The Fed, Jerome Powell, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (28/1/2021).
Selain itu, dalam konferensi pers usai mengumumkan kebijakan moneter. Powell mengatakan laju pemulihan ekonomi dan pasar tenaga kerja dalam beberapa bulan terakhir berjalan secara moderat, dengan pelemahan terjadi di sektor yang paling terdampak pandemi.
Sementara itu, "bisik-bisik" pengurangan nilai QE atau yang dikenal dengan tapering di akhir tahun ini, yang selama ini beredar di pasar, dibantah oleh Powell.
"Mengenai tapering, itu masih prematur. Kamu baru saja membuat panduan. Kami mengatakan kami ingin melihat kemajuan yang substansial menuju target kami sebelum kami memodifikasi panduan QE. Dan itu masih terlalu prematur untuk membahas kapan waktunya, kami harus fokus dalam kemajuan yang ingin kami lihat," kata Powell.
Pernyataan Powell tersebut membuat "bisik-bisik" tapering di akhir tahun ini meredup. Jika tapering tidak dilakukan, artinya likuiditas di pasar masih akan besar dan secara teori dolar AS masih akan tertekan.
Selain itu, pernyataan Powell yang harus diperhatikan juga yakni kebijakan akan "sangat akomodatif saat pemulihan sedang berlangsung." Artinya, ketika laju pemulihan ekonomi AS terus memburuk, maka The Fed akan bertindak lebih jauh dengan menambah nilai QE.
TIM RISET CNBC INDONESIA