Rupiah Lesu, Dolar AS Balik ke Rp 14.000! Ada Apa Gerangan?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 January 2021 09:20
Ilustrasi Rupiah
Ilustrasi Rupiah (REUTERS/Thomas White)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Namun harapan rupiah untuk berbalik menguat belum tertutup.

Pada Jumat (22/1/2021), US$ 1 setara dengan Rp 13.980 kala pembukaan perdagangan pasar spot. Sama persis dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Beberapa menit kemudian, rupiah masuk jalur merah. Pada pukul 09:10 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.000 di mana rupiah melemah 0,14%.

Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan apresiasi 0,39% di hadapan dolar AS. Rupiah berhasil menguat dalam tiga hari beruntun, di mana dalam dua hari tersebut penguatan rupiah tercatat 0,57%.

Nah, mungkin ini yang membuat investor tergoda. Pelaku pasar ingin mengambil untung dengan membeli dolar AS yang sudah 'murah'. Tekanan jual terhadap rupiah membuat mata uang ini melemah.

Akan tetapi, peluang rupiah kembali ke jalur hijau cukup terbuka. Pasalnya, sentimen luar dan dalam negeri sedang mendukung, yang membuat pelaku pasar berani bermain agresif.

Dari sisi eksternal, euforia akibat pelantikan Joseph 'Joe' Biden sebagai Presiden AS sepertinya mulai mereda. Dini hari tadi, bursa saham New York ditutup variatif. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah tipis 0,04% sedangkan S&P 500 dan Nasdaq Composite hanya bisa naik masing-masing 0,03% dan 0,55%.

"Pasar sudah melaju kencang kemarin karena pelantikan presiden di AS. Namun ternyata masih ada kabar baik di pasar sehingga investor belum mau main aman," ujar Shane Oliver, Kepala Ekonom AMP Capital yang berbasis di Sydney (Australia), seperti dikutip dari Reuters.

Kabar baik itu adalah sejumlah rllis data ekonomi terbaru di AS. Pada pekan yang berakhir 16 Januari 2021, jumlah klaim tunjangan pengangguran turun 26.000 menjadi 900.000. Lebih rendah dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan perkiraan 910.000.

Sedikit demi sedikit, ekonomi Negeri Adidaya mulai pulih. Dunia usaha mulai membuka lapangan kerja sehingga mereka yang menganggur bisa tertampung.

Jika pemulihan ini konsisten, maka daya beli rakyat AS tentu akan semakin meningkat. Saat konsumsi masyarakat AS naik, seluruh dunia akan menikmati berkahnya karena AS adalah negara konsumen terbesar di dunia.

Selain itu, data di sektor properti pun menggembirakan. Izin pembangunan perumahan (housing permits) pada Desember 2020 naik 4,5% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi 1,71 juta. Jauh di atas konsensus yang dihimpun Reuters dengan perkiraan 1,6 juta sekaligus menjadi yang tertinggi sejak Agustus 2006.

Sementara pembangunan rumah baru (housing starts) pada Desember 2020 tumbuh 5,8% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi 1,67 juta unit. Lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan proyeksi 1,56 juta dan menyentuh rekor tertinggi sejak September 2006.

Sektor properti kerap menjadi ukuran kesehatan ekonomi. Dari sisi penawaran, properti menggerakkan banyak sektor lain seperti industri manufaktur, industri dasar, hingga keuangan. Sementara dari sisi permintaan, tingginya minat masyarakat membeli properti mencerminkan daya beli yang kuat.

Berbagai data tersebut memberi gambaran bahwa pemulihan ekonomi AS sepertinya berada di jalan yang benar. Apalagi Biden berjanji bakal segera menggelontorkan paket stimulus fiskal senlai US$ 1,9 triliun yang dampaknya bakal dirasakan dunia usaha dan rumah tangga. Ada ekspetasi ekonomi Negeri Adikuasa akan lebih josss lagi.

Sementara dari dalam negeri, sepertinya keputusan Bank Indonesia (BI) yang mempertahankan suku bunga acuan berdampak positif. Kemarin, Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode Januari 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 3,75%.

Tanpa penurunan suku bunga, imbalan berinvestasi di Indonesia (terutama di aset berpendapatan tetap seperti obligasi) akan tetap menarik. Apalagi di tengah iklim suku bunga rendah yang terjadi di negara maju, investor global tentu akan mencari tempat untuk menanamkan modal yang memberikan cuan gede.

"Kami belum lihat tapering, suku bunga will low for longer dan likuiditas longgar akan terus kami cermati. Ini jadi salah satu faktor pasar keuangan global akan kondusif ke portofolio Indonesia dan negara berkembang pada umumnya," jelas Perry Warjiyo, Gubernur BI.

Saat ini, selisih alias spread imbal hasil (yield) surat utang pemerintah Indonesia dan AS yang sama-sama bertenor 10 tahun berada di 506,9 basis poin (bps). Setelah sempat menyempit, selisih yield dua instrumen ini bergerak melebar sejak awal tahun.

Dengan iming-iming imbalan yang menarik, investor sepertinya bakal tetap bernafsu memburu aset-aset di pasar keuangan Ibu Pertiwi. BI memperkirakan aliran modal asing ke pasar keuangan Indonesia pada 2021 bisa mencapai US$ 19,1 miliar, naik tajam dibandingkan tahun lalu yang sebesar US$ 11 miliar. Derasnya arus modal itu menjadi 'doping' yang bisa membuat rupiah perkasa.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular