Jakarta, CNBC Indonesia - Menjelang berakhirnya tahun 2020, harga emas dunia masih kesulitan menembus kembali ke atas level US$ 1.900/troy ons. Di awal Pekan ini, Senin (28/12/2020), emas sempat menyentuh level tersebut, tetapi kemudian berbalik melorot.
Sementara pada hari ini, Rabu (30/12/2020), emas diperdagangkan di kisaran US$ 1.878,29/troy ons, nyaris stagnan dibandingkan penutupan perdagangan kemarin.
Emas merupakan salah satu aset dengan kinerja cemerlang di tahun ini. Dibandingkan posisi akhir 2019 hingga hari, ini atau secara year-to-date (YtD) emas melesat lebih dari 23%. Bahkan pada bulan 7 Agustus lalu, emas menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa US$ 2.072,49/troy ons.
Perjalanan emas sebenarnya tidak mulus di tahun ini. Di bulan Maret lalu, saat virus corona pertama kali ditetapkan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), terjadi aksi jual masif di berbagai aset mulai dari saham hingga emas, hingga muncul istilah "cash is the king". Tapi bukan sembarang uang tunai atau cash, hanya dolar Amerika Serikat (AS).
Pada 9 Maret, harga emas menyentuh US$ 1.702.56/troy ons, yang merupakan level tertinggi lebih dari 8 tahun, tepatnya sejak 18 Desember 2012. Level tertinggi tersebut menjadi awal kejatuhan harga emas, aksi jual menggila dalam 5 hari perdagangan berselang. Pada 16 Maret, emas menyentuh level US$ 1.450,98/troy ons, atau ambrol nyaris 15% dari level tertinggi 8 tahun tersebut.
Emas perlahan mulai bangkit kembali bahkan melesat setelah bank sentral di berbagai negara melonggarkan kebijakan moneter guna membantu perekonomian yang merosot ke jurang resesi.
Maklum saja, guna meredam penyebaran virus corona, pemerintah di berbagai negara menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) hingga pembatasan sosial (social distancing). Aktivitas masyarakat dibatasi, roda bisnis melambat signifikan bahkan nyaris mati suri, alhasil perekonomian masuk ke jurang resesi.
Amerika Serikat sang Negeri Adi Kuasa, hingga Indonesia, merasakan yang namanya resesi. Selain bank sentral, pemerintah di berbagai negara juga menggelontorkan stimulus fiskal guna menanggulangi virus corona dan menyelamatkan perekonomian.
Stimulus moneter dan fiskal tersebut membuat perekonomian AS banjir likuiditas, dan emas diuntungkan dari 2 sisi.
Yang pertama, stimulus moneter dan fiskal membuat jumlah uang beredar di AS bertambah, dan nilai dolar AS pun melemah. Emas dunia dibanderol dengan dolar AS, saat mata uang Paman Sam tersebut melemah, maka harganya akan lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya. Alhasil permintaan berpotensi meningkat, harganya melesat.
Yang kedua, emas secara tradisional dianggap sebagai aset lindung nilai terhadap inflasi. Stimulus moneter dan fiskal tersebut berpotensi memicu inflasi yang tinggi, sehingga permintaan emas sebagai aset lindung inflasi meningkat.
Alhasil, harga emas mencetak rekor tertinggi sepanjang masa pada bulan Agustus lalu. Tetapi setelahnya, emas terus melemah, kesulitan kembali ke atas US$ 2.000/troy ons, dan belakangan ini malah kesulitan kembali ke atas US$ 1.900/troy ons.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Dolar AS Tertekan 2 Tahun ke Depan
Seperti disebutkan sebelumnya, pelemahan dolar AS menjadi salah satu pemicu kenaikan emas dunia. Kabar baiknya, the greenback diprediksi masih akan tertekan hingga 2 tahun ke depan.
Hasil survei terbaru dari Reuters terhadap 72 analis menunjukkan, sebanyak 39% memprediksi dolar AS akan melemah hingga 2 tahun ke depan. Persentase tersebut menjadi yang tertinggi dibandingkan prediksi lainnya. Sebanyak 10% bahkan memperkirakan dolar AS masih akan melemah lebih dari 2 tahun ke depan.
Sementara itu, 15% melihat pelemahan dolar AS hanya akan berlangsung kurang dari 3 bulan dan setelahnya mulai bangkit. 14% meramal pelemahan berlangsung kurang dari 6 bulan, dan 22% lainnya kurang dari 1 tahun.
Banjir likuiditas di perekonomian AS menjadi penyebab dolar AS diprediksi masih akan tertekan.
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang mengumumkan kebijakan moneter pertengahan bulan ini berkomitmen untuk menjalankan program pembelian aset (quantitative easing/QE) sampai pasar tenaga kerja AS kembali mencapai full employment dan inflasi konsisten di atas 2%.
Artinya kebijakan moneter ultra longgar masih akan dipertahankan dalam waktu yang lama. The Fed juga menegaskan akan menambah nilai QE jika perekonomian AS kembali melambat.
The Fed memberikan proyeksi inflasi yang dilihat dari belanja konsumsi personal (personal consumption expenditure/PCE) di tahun ini sebesar 1,2%, kemudian di tahun depan 1,8%. Artinya masih belum mencapai target di atas 2%, sehingga pada tahun depan kebijakan moneter yang diterapkan masih ultra longgar.
Besarnya QE yang sudah digelontorkan tercermin dari Balance Sheet The Fed yang menunjukkan nilai surat berharga yang dibeli melalui kebijakan quantitative easing. Semakin banyak jumlah aset yang dibeli, balance sheet The Fed akan membesar.
Di bulan Februari, sebelum virus corona menjadi pandemi, nilai Balance Sheet The Fed sekitar US$ 4,1 triliun, sementara posisi di 9 Desember sebesar US$ 7,2 triliun. Artinya selama pandemi ini, The Fed sudah membanjiri perekonomian AS dengan likuiditas lebih dari US$ 3 triliun.
Kebijakan tersebut terbilang sangat agresif, sebab saat krisis finansial melanda AS di tahun 2008 The Fed juga melakukan hal yang sama. Nilai Balance Sheet juga melonjak US$ 3 triliun, tetapi terjadi dalam tempo 3 tahun hingga 2011.
Dengan agresifnya The Fed membanjiri perekonomian AS dengan duit, maka wajar jika nilai dolar AS terus melemah. Secara teori, semakin banyak uang beredar maka nilai tukarnya akan semakin melemah.
Selain QE, The Fed juga berkomitmen mempertahankan suku bunga acuan <0,25% dalam waktu yang lama.
"Langkah-langkah ini akan memastikan kebijakan moneter akan terus memberikan dukungan yang kuat terhadap perekonomian sampai pemulihan tercapai," kata Ketua The Fed, Jerome Powell, saat konferensi pers, sebagaimana dilansir CNBC International.
Data dari Fed Dot Plot, yang menggambarkan proyeksi suku bunga para pembuat kebijakan (Federal Open Market Committee), menunjukkan suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2023.
Alhasil, dolar AS masih akan tertekan setidaknya 2 tahun ke depan.
Belum lagi stimulus fiskal yang digelontorkan pemerintah AS. Di awal pekan ini, Presiden AS, Donald Trump, sudah menandatangani rancangan undang-udang (RUU) stimulus fiskal senilai US$ 900 miliar.
Presiden Trump sebentar lagi akan lengser dari jabatannya, dan digantikan oleh Joseph 'Joe' Biden, pada 20 Januari mendatang. Biden sebelumnya sudah mengatakan akan menggelontorkan stimulus tambahan guna membantu perekonomian AS. Sehingga ke depannya, tekanan bagi dolar AS akan semakin bertambah.
Dengan dolar AS yang diprediksi melemah hingga 2 tahun ke depan, serta stimulus moneter dan fiskal yang masih ada di tahun depan, maka peluang emas kembali menguat terbuka Lebar.
HALAMAN SELANJUTNYA >>>> Emas Bisa ke Atas US$ 2.000/Troy Ons Lagi?
Kepala riset komoditas di BNP Paribas, Harry Tchilinguirian, memprediksi harga emas memiliki momentum penguatan untuk kembali ke atas US$ 2.000/troy ons di semester I-2020. Tetapi setelahnya emas akan kehabisan tenaga di paruh kedua 2020.
Tchilinguirian melihatk, yield riil yang negatif akibat suku bunga rendah The Fed, menjadi faktor kunci emas akan kembali menguat.
"Yield riil yang negatif akan sangat penting dalam 2 kuartal ke depan. Tetapi setelahnya situasi sedikit berubah karena investor akan melihat perbaikan ekonomi," kata Tchilinguirian sebagaimana dilansir Kitco, Senin (28/12/2020).
Tchilinguirian melihat harga emas akan melewati level US$ 2.000/troy ons di kuartal II-2020, dengan rata-rata di kisaran US$ 2.010/troy ons. Sementara itu, sepanjang tahun 2021, BNP Paribas memberikan outlook netral, dengan rata-rata harga di US$ 1.945/troy ons.
Pandangan bullish (tren naik) diberikan oleh Peter Hug, direktur global trading Kitco Metal. Ia melihat potensi kenaikan inflasi yang akan memicu penguatan harga emas.
"Jika anda optimistis dan membayangkan banyak orang sudah divaksinasi dan sembuh, maka perekonomian akan lepas landas di semester II-2020. Maka skenario kenaikan inflasi akan menjadi nyata, yang tentunya positif untuk emas," kata Hug, sebagaimana dilansir Kitco, Jumat (18/12/2020).
Saat inflasi mulai naik, maka emas diprediksi akan melesat ke US$ 2.500 sampai US$ 3.000/troy ons di semester II-2020.
"Rekor tertinggi sepanjang masa emas yang dicapai tahun ini akan dilewati. Jika inflasi melesat lagi, emas akan menguat ke US$ 2.500 sampai US$3.000/troy ons sangat mungkin terjadi, sampai bank sentral mulai mengetatkan kebijakan moneter. Tetapi, pengetatan tersebut baru akan dilakukan setahun setelahnya, atau mungkin lebih lama," tambah Hug.
TIM RISET CNBC INDONESIA