
Peluang Rupiah Catat Kinerja Positif di 2020 Setipis Tisu!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah 0,5% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.150/US$, sepanjang pekan lalu yang berlangsung singkat, hanya hari perdagangan, sebab Kamis dan Jumat libur dalam rangka Hari Raya Natal.
Meski perdagangan pekan ini juga berlangsung hanya 3 hari, tetapi rupiah masih berpeluang menutup tahun 2020 di bawah level Rp 14.000/US$. Tetapi untuk mencatat kinerja positif peluangnya sangat tipis.
Posisi akhir tahun 2019 di Rp 13.880/US$, artinya rupiah berjarak 1,9% akan bisa mengakhiri tahun 2020 dengan stagnan. Sementara untuk menguat, tentunya perlu lebih dari 1,9%, dalam 3 hari perdagangan.
Sentimen negatif dari virus corona memicu terjadinya capital outflow pada pekan lalu, yang membuat rupiah melemah.
Di pasar saham, investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih (net sell) Rp 3,64 triliun miliar all market. Hal yang sama kemungkinan terjadi di pasar obligasi, sebab yield Surat Berharga Negara (SBN) nyaris naik di semua tenor.
Yield SBN tenor 10 tahun misalnya, naik 12,1 basis poin (bps) menjadi 6,097%.
Untuk diketahui, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Saat yield naik, artinya harga sedang turun.
Saat harga turun, kemungkinan asing melepas kepemilikannya, artinya terjadi capital outflow.
Sementara itu di pekan ini, sentimen positif datang dari Inggris. Sehari sebelum Hari Raya Natal, Inggris dan Uni Eropa (UE) akhirnya membuat sejarah dengan mencapai kesepakatan dagang pasca Brexit. Hal ini tentunya menjadi kabar bagus tidak hanya bagi Inggris dan UE, tetapi bagi seluruh negara, dilihat dari sisi ekonomi.
Inggris dan UE mengumumkan keduanya mencapai kesepakatan "zero tariff-zero quota", artinya tidak akan ada bea impor yang tinggi, atau pembatasan jumlah produk yang dijual kedua belah pihak.
Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengapresiasi kesepakatan yang dicapai tersebut.
"Perdebatan dengan mitra Eropa terkadang sangat sengit, tetapi ini, saya percaya kesepakatan yang baik bagi seluruh Eropa," kata PM Johnson dalam konferensi pers.
Sementara von der Leyen mengatakan kesepakatan tersebut adil dan seimbang serta tepat dan bertanggung jawab bagi kedua belah pihak.
Dengan kesepakatan tersebut, hard Brexit tentunya tidak akan terjadi.
Hard Brexit merupakan sesuatu yang ditakutkan pelaku pasar, sebab bisa membawa ekonomi Inggris merosot tajam, juga menyeret ekonomi negara-negara Eropa lainnya.
Selain itu, Presiden AS, Donald Trump, beberapa saat lalu akhirnya menandatangani rancangan undang-udang (RUU) stimulus fiskal senilai US$ 900 miliar. Hal ini tentunya memberikan sentimen positif ke pasar finansial.
Dengan ditekennya RUU tersebut, maka stimulus US$ 900 miliar akan cair. Jumlah uang tunai yang beredar di perekonomian AS akan bertambah, dan nilai tukar dolar AS melemah.
